Kenyataan yang dijumpai dalam melagukan nyanyian gereja dipengaruhi oleh nyanyian rakyat Simalungun, khususnya bagi orang-orang Simalungun di
pedesaan tidaklah dapat dipungkiri. Namun tidak perlu menyalahkan atau mengatakan bahwa nyanyian yang mereka lagukan tidak benar.
67
Sering terdengar isu, kebanyakan dari beberapa kalangan Pendeta yang pernah bertugas di daerah pedesaan, bahwa melagukan nyanyian gereja banyak
salahnya. Terkadang, para Pendeta itu tidak dapat mengikuti nyanyian jemaatnya. Suatu ketika tahun 1988 ketika mengikuti kebaktian bagi para anggota
partarompet peniup trumpet GKPS, seorang penginjil, P.P. Luther Purba
68
, membuat suatu ilustrasi dalam khotbahnya mengenai cara bernyanyi anggota
jemaat GKPS Marbun Lokkung dan sekitarnya yang tidak bersungguh-sungguh. Temponya tidak sesuai dengan jiwa lagunya. Misalnya lagu-lagu puji-pujian
dinyanyikan lambat tidak gembira, seharusnya cepat dan gembira. Melodinya banyak yang diubah. Singkat kata ia menghendaki kalau melagukan nyanyian
gereja haruslah benar sesuai dengan tuntutan lagu itu sendiri.
69
b. Organ
Menjelang akhir abad 18 mutu musik organ dalam ibadat tidak lagi seperti tahun 1750-an. Jabatan organis merupakan suatu tugas sampingan dan sering
dipegang oleh orang pensiunan. Maka komposisi organ pun menurun. Dalam
67
Op.Cit. Martasudjita, hal., 68-69.
68
Seorang Penginjil dari Gereja GKPS yang juga ditugaskan dari utusan RMG demi melanjutkan tugas dan pelayanan di tanah batak. Dengan demikian beliau juga diperbekali dengan
berbagai jenis pelayanan seperti halnya untuk pengembangan musik selama masa pelayanan.
69
Band. Martasudjita, Musik Gereja Zaman Sekarang, hal., 90-94.
Universitas Sumatera Utara
ibadat selama abad 19 permainan organ terbatas pada iringan nyanyian Gregorian dalam Katolik. Komposisi semacam ini diciptakan banyak selama abad 19.
Perkembangan organ Gereja pada awal abad 19 pun mengalami penurunan drastis dan hampir hilang, dibandingkan dengan piano yang mengalami
peningkatan ekspresi, dimana organ dirasakan statis.
70
c. Alat Musik Tiup dan Poti Marende di Pearaja Survei Sejarah
71
Dari hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu
72
, sejarah masuknya alat musik tiup di HKBP Pearaja adalah dari sumbangan dari
Misionaris Jerman yang menjalin hubungan yang baik dengan semua keanggotaan di HKBP Pearaja.
73
Setelah alat musik tiup diserahkan kepada jemaat di sana, kemudian Misionaris Jerman mengiringi kegiatan ibadah dengan menggunakan
alat musik tiup. Setelah itu, mereka mengumpulkan jemaat yang benar-benar mau belajar alat musik tiup tersebut. Setelah beberapa bulan kemudian, Misionaris
dari Jerman pun berangkat dari Pearaja dan kebaktian di gereja Pearaja sudah diiringi oleh alat musik tiup yang pemainnya adalah jemaat HKBP Pearaja.
Masuknya alat musik tiup ini semakin memperluas kabar ke hampir seluruh Distrik II Silindung dan kerinduan jemaat dari berbagai gereja di
70
Ibid, hal., 36-37.
71
Penulis mengadakan penelitian ke Gereja Pearaja dan menemukan sejumlah besar tentang sejarah masuknya alat musik tiup sehingga dipakai dalam kebaktian di Gereja HKBP
Pearaja.
72
Penulis mengadakan wawancara kepada salah seorang penatua dari gereja HKBP Pearaja yang bertempat tinggal di Sitangka, salah satu pedesaan yang termasuk lingkungan Ressort
Pearaja yang bernama Bapak St. Edison Pasaribu, dan beliau juga merupakan salah satu pekerja bangunan yang sudah lama bekerja di HKBP.
73
HKBP Pearaja adalah salah satu gereja yang sudah mandiri dan mendapat perhatian khusus dari Misionaris yang datang ke tanah Batak. Hal ini muncul karena banyak sekali bantuan
dan pengajaran yang sudah diterima oleh jemaat di HKBP Pearaja yang sumbernya dari para Misionaris.
Universitas Sumatera Utara
sekitarnya untuk beribadah di gereja Pearaja. Alat musik tiup yang sudah ada dipakai dan dirawat sedemikian rupa supaya tetap terpelihara dan bisa digunakan
dalam waktu yang sangat lama.
74
Alat musik ini masih tetap dipergunakan sampai pada tahun 1974 di HKBP Pearaja. Namun setelah hampir beberapa puluh tahun dipergunakan,
ternyata tidak ada lagi yang mempergunakannya setelah tahun 1974. Bahkan anggota Gereja HKBP Pearaja sendiri tidak mengetahui mengapa alat musik
tersebut tidak nampak lagi. Menghilangnya alat musik tiup tersebut mempunyai efek yang negatif dalam kemerosotan jemaat yang mengikuti kebaktian di gereja
tersebut, dengan alasan bahwa ternyata alat musik tiup tersebut mempunyai dampak yang sangat besar dalam proses pelaksanaan ibadah di gereja. Tanpa
adanya yang mengiringi lagu-lagu pujian di gereja jadi terasa hambar dan tidak meresap ke dalam hati, demikian tutur Bapak St. Edison Pasaribu
75
. Sampai tahun 1975, alat musik tiup juga sudah dipadu dengan poti
marende yang pada awalnya juga adalah merupakan sumbangan dari para Misionaris Jerman yang datang ke Pearaja untuk melihat perkembangan dari
gereja tersebut. Poti marende ini juga disumbangkan supaya dipadu dengan alat musik tiup. Sama halnya seperti proses awal diberikannnya alat musik tiup, para
missionaris juga mengajari jemaat setempat yang mempunyai minat dalam hal memainkan poti marende. Setelah sekian lama prosesnya, akhirnya ada juga
beberapa orang yang mahir menggunakannya. Kemudian dalam setiap kebaktian,
74
Hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu dan pengalaman beliau tentang alat musik tiup yang datang ke gereja HKBP Pearaja pada tahun 1965 dan alat musik ini tetap
dipertahankan dan dipergunakan sampai pada tahun 1974.
75
Hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu dan pengalaman beliau tentang alat musik tiup yang datang ke gereja HKBP Pearaja pada tahun 1965 dan alat musik ini tetap
dipertahankan dan dipergunakan sampai pada tahun 1974.
Universitas Sumatera Utara
alat musik tiup digabungkan dengan poti marende sehingga lebih merdu dan membuat jemaat lebih bersemangat dalam menyanyikan lagu-lagu pujian.
Dari sejarah yang sudah diteliti melalui wawancara tersebut, beliau juga masih sempat menyimpan satu sejarah yang sudah lama tersimpan dan selalu
diingat ketika ditemukannya kembali alat musik tiup tersebut pada tahun 1992 di bagian belakang gereja HKBP Pearaja namun tidak lengkap lagi seperti yang dulu
dan sudah dalam keadaan tidak bisa dipergunakan lagi. Sangat disayangkan jika alat musik tersebut sudah tidak bisa dipergunakan namun muncul secara tiba-tiba
dan mengherankan semua anggota jemaat pada masa itu. Sehingga setelah tahun 1975, hanya poti marende
76
yang digunakan dalam mengiringi kebaktian setiap hari minggunya.
Perkembangan musik yang ada di gereja Pearaja ternyata membuka hati seorang dermawan yang merupakan salah satu jemaat di gereja tersebut dan
menyumbangkan sebuah organ yang masih sangat minim penggunaannya di kawasan distrik II Silindung. Organ yang disumbangkan tersebut sudah
mempunyai beberapa nada yang sudah mengimbangi penggunaan alat musik tiup dan poti marende jika dipadu. Penggunaan organ ini akhirnya menutup masa
penggunaan poti marende yang masih tersimpan sampai sekarang di gereja tersebut. Dari hasil yang ditemukan dari beberapa gereja yang sudah diteliti, ada
beberapa gereja yang menggunakan poti marende yang masih disimpan di gereja
76
Poti Marende adalah sebutan untuk Orgel
Universitas Sumatera Utara
masing-masing, yakni gereja Simanungkalit, Ressort Sipoholon I, dan gereja Pintubosi, Ressort Sipoholon VI.
77
Penulis juga mengadakan wawancara dengan beberapa pihak yang merupakan generasi pembuatan gitar dan poti marende yang sudah sangat lama di
Sipoholon. Menurut mereka poti marende dibuat oleh generasi sebelumnya karena sudah diajari oleh seorang keturunan Jerman yang pekerjaannya adalah
membuat poti marende di Jerman dan datang ke tanah Batak untuk membantu proses pembuatan poti marende supaya dipergunakan di setiap gereja. Hal ini
berlangsung sudah berpuluh-puluh tahun. Namun semenjak lahirnya Elektrik Organ sebagai alat musik yang lebih modern, tidak ada lagi yang meminatinya
dan akhirnya proses pembuatan poti marende berhenti di tahun 1985.
2.4. Perkembangan Musik dalam Gereja HKBP