masing-masing, yakni gereja Simanungkalit, Ressort Sipoholon I, dan gereja Pintubosi, Ressort Sipoholon VI.
77
Penulis juga mengadakan wawancara dengan beberapa pihak yang merupakan generasi pembuatan gitar dan poti marende yang sudah sangat lama di
Sipoholon. Menurut mereka poti marende dibuat oleh generasi sebelumnya karena sudah diajari oleh seorang keturunan Jerman yang pekerjaannya adalah
membuat poti marende di Jerman dan datang ke tanah Batak untuk membantu proses pembuatan poti marende supaya dipergunakan di setiap gereja. Hal ini
berlangsung sudah berpuluh-puluh tahun. Namun semenjak lahirnya Elektrik Organ sebagai alat musik yang lebih modern, tidak ada lagi yang meminatinya
dan akhirnya proses pembuatan poti marende berhenti di tahun 1985.
2.4. Perkembangan Musik dalam Gereja HKBP
78
1930-1980
Sekitar tahun 1960-an, seorang pendeta Jerman yang bernama J. Depperman telah banyak mengamati dan memperhatikan kehidupan musik di
daerah Simalungun. Akhirnya ia memutuskan suatu gagasan untuk mengadakan alat musik tiup trumpet bagi para jemaat, yang berasal dari bantuan RMGVEM.
Trumpet ini diberikan kepada para jemaat yang dianggap tepat sekali gus memberikan pelatihan cara memainkan alat musik tersebut. Sekurangnya 60 buah
trumpet diberikan kepada para jemaat dengan perincian minimal 10 buah setiap kelompok. Adapun para jemaat yang memiliki grup trumpet tersebut antara lain:
77
Wawancara dengan St. Edison Pasaribu, pada hari senin, 21 Februari 2011, Sitangka, Pearaja-Tarutung.
78
-------, Buku Sejarah Kekristenan di Tanah Batak. Pearaja, Tarutung 1989, hal., 45- 49.
Universitas Sumatera Utara
HKBPS Jalan Sudirman Pematang Siantar, HKBPS Pematang Raya, HKBPS Saribu Dolok, HKBPS Tebing Tinggi, HKBPS Teladan Medan, dan HKBPS
Bangun Purba. Trumpet ini digunakan pada waktu ibadah mengiringi nyanyian gereja.
Sebagai penyegaran dilakukan latihan. Di samping itu secara beramai-ramai bergabung mengiringi nyanyian-nyanyian ketika adanya pesta-pesta gereja yang
besar. Di tahun 1970 Lothar Schreiner
79
mengawali era ini dengan mempublikasikan tulisannya berjudul Gondang-Musik dalam kekristenan.
Tulisan ini membahas secara ekstensif peranan sosial musik Gondang Sabangunan serta membicarakan repertoarnya. Schreiner juga membicarakan
bagaimana tanggapan para missionaris yang bertugas pada masa era Kristenisasi di Tanah Batak, terhadap pertunjukan-pertunjukan musik Gondang Batak ditinjau
dari perspektif agama Kristen. Memasuki dekade 1970 keadaan ini baru berubah saat sejumlah tulisan
tentang musik suku-suku di Sumatra Utara diterbitkan. Menyusul pula ramainya beredar kaset-kaset rekaman komersil di pasaran dengan lebel, salah satu
misalnya “Gondang Batak Nahornop”, “Gondang Batak Parsaoran Nauli”, “Gondang Batak Saroha”, dan dari kebudayaan musik lainnya di Sumatra Utara.
Buku, artikel ataupun laporan yang diterbitkan pada kurun waktu ini sudah meliputi musik suku Melayu, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun,
Batak Mandailing dan Angkola.
79
Luther D. Reed, Worship A Study of Corporate Devotion, Philadelphia: Fortress Press, 1959, hal., 168-174.
Universitas Sumatera Utara
Satu hal yang penting bahwa cakupan pembahasan tulisan-tulisan dekade 70-an itu sudah bervariasi. Ada tulisan yang mendeskripsikan instrumen musik,
mengulas fungsi dan konteks sosial, menganalisa dan mencari pola struktur musik, menginterpretasikan sistem dan teori musik dan bahkan ada yang
membicarakan masalah nilai estetika. Ada tulisan yang menyertakan rekaman- rekaman musik lapangannya. Sederetan nama yang memberikan kontribusinya
pada masa tahun 70-an ini antara lain, Lothar Schreiner, Liberty Manik, Dada Meuraxa, Lynette M.Moore, Arlin D. Jansen, Margaret Kartomi, David
Goldsworthy, Reiner Carle dan M. Hutasoit.
80
2.5. Perkembangan Musik di Gereja HKBP 1980-2000