Koor Dalam Peribadahan Gereja HKBP Tahun 1940 – sekarang Koor Dalam Peribadahan Gereja HKBP Dalam Upaya Menuju Liturgi Kontekstual

‐ Lagu nomor satu adalah lagu tetap untuk membuka kebaktian. Sedangkan lagu-lagu lain dipilih oleh pengkhotbah dan harus diberitahukan kepada guru jemaat. ‐ Nyanyian Gereja dan koor-koor yang disajikan dipimpin oleh guru jemaat dan sebelum lagu selesai pendeta dapat naik ke mimbar, lalu berdoa di dalam hatinya dan kemudian menghadap jemaat serta berkata: Di dalam nama Allah Bapa dan Anak dan Roh Kudus….:. Selanjutnya ia berdoa dan berkhotbah ‐ Selesai berkhotbah tidak terlalu lama, maksimal setengah jam, lalu persembahan dijalankan. ‐ Doa Penutup dan berkat ‐ Jika guru yang berkhotbah, dia harus mengingat aturan yang ada dalam buku Agenda. Selanjutnya buku Agenda adalah pedoman untuk persiapan pelayanan hari Minggu 116 .

3.2.2. Koor Dalam Peribadahan Gereja HKBP Tahun 1940 – sekarang

Tempat Koor dalam ibadah minggu pada periode ini masih tetap seperti pada peribadahan tahun-tahun sebelumnya. Liturgi atau tata kebaktian Minggu dimasukkan dalam urutan pertama dalam Agenda baik yang berbahasa Batak maupun yang berbahasa Indonesia. Bentuk kebaktian Minggu yang tetap dipertahankan sejak tahun 1940 sampai sekarang adalah: 117 116 “Aturan ni ruhut di angka huria na ditongatonga ni Halak Batak.” Siantar-Toba; Pangarongkoman Mission, 1907. Universitas Sumatera Utara ‐ Nyanyian Bersama ‐ Votum-Introitus-Doa ‐ Koor ‐ Nyanyian Bersama ‐ Pembacaan Hukum Taurat Pelayan membacakan ke-10 Hukum Taurat dan membacakan pesan Tuhan mengenai hukum tersebut, ia dapat pula menggantinya dengan membaca bagian tertentu dari alkitab, konfessi, RPP ‐ Nyanyian Bersama ‐ Pengakuan dan Pengampunan Dosa ‐ Nyanyian Bersama ‐ Koor ‐ Membaca Epistel ‐ Koor ‐ Nyanyian Bersama ‐ Pengakuan Iman ‐ Koor ‐ Warta Jemaat ‐ koor ‐ Nyanyian Bersama sambil mengumpulkan persembahan ‐ Khotbah ‐ Nyanyian Bersama 117 Ibid. Universitas Sumatera Utara ‐ Doa Penutup persembahan, Bapa Kami dan Berkat ‐ Jemaat menyanyikan : Amin-Amin-Amin.

3.2.3. Koor Dalam Peribadahan Gereja HKBP Dalam Upaya Menuju Liturgi Kontekstual

Tidak sedikit para teolog praktika Indonesia yang merasa tidak puas melihat praktek liturgi Gereja-gereja di Indonesia masa kini, khususnya Gereja- gereja “main stream” arus utama. Salah seorang di antaranya J. L. Ch. Abineno dalam pidato Dies Natalis STT-Jakarta, pada tanggal 27 September 1962, mengungkapkan bahwa bentuk tata ibadah yang dipakai Gereja-gereja di Indonesia merupakan pengambilalihan dengan atau tanpa perubahan dari Gereja- gereja Barat. Pengimporan bentuk-bentuk dari barat ini telah terjadi berpuluh- puluh, bahkan beratus-ratus tahun lamanya 118 . Hal senada juga disampaikan oleh Muller Kruger 119 seorang teolog Jerman yang lama bekerja di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diimpor dari Barat oleh Gereja-gereja di Indonesia diterima begitu saja, sehingga hampir-hampir tidak dirasakan sebagai bentuk-bentuk asing. Rumusan dalam setiap unsur-unsur liturgi menggunakan kata-kata yang meskipun sulit dimengerti dianggap sudah baku dan tidak boleh diubah. H. Kraemer 120 juga mencatat sekalipun Gereja-gereja muda telah merdeka atau 118 J.L. Ch.Abineno, Gereja dan Ibadah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1986, hal., 27. 119 Th. Muller-Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia , Jakarta : BPK Gunung Mulia ,1959, hal., 183. 120 H. Kraemer, Religion and Christian Faith, London: Lutterworth press. 1956, hal., 410. Universitas Sumatera Utara otonom dan memerintah sendiri, tetapi dalam struktur dan gaya ekspresinya masih merupakan koloni spiritual dari Barat. Terhadap kenyataan ini, beberapa pimpinan dan ahli teologi Gereja-gereja di Indonesia pada masa itu mulai sadar bahwa ternyata Indonesia belum lepas dari “penjajahan spiritual” karena semua liturgi pada waktu itu hanya merupakan warisan dan sebetulnya tidak relevan lagi untuk kebutuhan iman jemaat saat ini.Kenyataan ini juga terlihat pada kemunculan koor-koor yang dibawa dan diadopsi langsung oleh para misionaris pertama. Di kalangan protestan, pembaruan liturgi sejalan dengan gerakan oikumenis. Puncak pembaruan adalah Liturgi Lima tahun 1982 di Peru melalui konferensi Komisi Iman dan Tata Gereja dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia DGD. Secara umum telah terjadi penerbitan revisi buku-buku liturgi Gereja. Baik penyesuaian maupun gerakan liturgis memberi pembaruan pada unsur-unsur dalam liturgi. Tata ibadah termasuk tata ruang, para petugas, simbol-simbol, tata gerak, musik dan sakramen yang seluruhnya dalam liturgi ditempatkan dalam pemahaman kontekstualitas dalam semangat gerakan liturgi 121 . Anscar J. Chupungco, OSB menyimpulkan bahwa penyesuaian liturgi adalah keharusan teologis yang timbul dari peristiwa inkarnasi. Jika firman Allah telah menjadi seorang manusia Yahudi Yesus Kristus maka Gereja pun di berbagai negara di dunia ini harus menjadi Gereja pribumi 122 . Dalam hal ini koor yang diciptakan oleh jemaat-jemaat HKBP pun turut mengambil peran seperti salah satu koor yang berasal dari Patik Uhum Batak 121 Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, hal., 121. 122 Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi Dalam Budaya Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal., 107. Universitas Sumatera Utara Perintah Hukum Batak yang biasanya dituangkan dalam bentuk umpasa dan umpama peribahasa dan perumpamaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab, seperti: “Masiamin-aminan ma hamu songon lampak ni gaol Masitungkol-tungkolan songon suhat di robean” Hendaklah kamu saling menerima seperti lembaran daun pisang Saling menopang seperti tumbuhan talas di tepi tebing Ajaran Alkitab yang sejajar dengan ini adalah Gal.6: 2 “Bertolong- tolonganlah menanggung bebanmu Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”. Seperti terlihat dibawah ini; koor ini akan dianalisi pada bab VI thesis ini. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

3.3. KOOR DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DI HKBP