Hubungan Doa dan Semangat Peniten Rekolek

73 2. Faktor Internal Faktor Internal ini adalah faktor yang berasal dari dalam diri sendiri, bagaimana orang mengusahakan yang terbaik dalam hidupnya. Orang zaman ini juga mengalami tantangan khususnya dalam hal harga diri atau kurang mampu mengatur kegiatan atau kurang dewasa dan bijaksana. Harga diri dan prestasi menjadi suatu yang sangat berharga sehingga orang jatuh pada kesombongan. Kesombongan menganggap bahwa keberhasilan hanya karena usahanya sendiri sehingga melupakan peran serta Allah dalam kehidupannya. Doa menjadi sesuatu yang tidak penting dalam hidupnya. 3. Faktor Eksternal Faktor yang berasal dari luar diri yang mempengaruhi hidup seseorang adalah pekerjaan yang banyak sehingga menghabiskan tenaga. Orang sudah merasa lelah dengan pekerjaannya sehingga memberi ampun pada diri sendiri, bahwa bekerja adalah doa. Bekerja dianggap sebagai doa bahaya yang terjadi bahwa orang merasa bahwa dengan bekerja baik dan rajin sehingga tidak perlu berdoa. Padahal doa adalah komunikasi dengan Tuhan, waktu berkomunikasi perlu ada keintiman dan juga kerelaan untuk mendengarkan, kalau kita sibuk bekerja apakah dapat mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan oleh Tuhan. Maka perlu waktu khusus untuk dapat mendengarkan dan berbicara dengan Tuhan secara pribadi. tertentu agar dapat berkomunikasi dengan Tuhan dengan baik.

BAB IV KATEKESE SEBAGAI SARANA DALAM MENYUBURKAN

DOA DAN SEMANGAT PENITEN REKOLEK SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI Pembinaan hidup dalam biara berlangsung terus menerus dan berkelanjutan. Proses belajar dan pembentukan diri bagi para suster Fransiskan Sukabumi tidak akan pernah selesai, sebagai seorang pribadi para suster Fransiskan Sukabumi diharapkan senantiasa belajar dan membentuk diri sepanjang perjalanan hidupnya. Mengembangkan hidupnya semakin menghayati semangat peniten rekolek. Dengan semakin menghayati serta menghidupi semangat peniten rekolek akan menjadikan para suster sungguh mencintai tarekat SFS. Semakin tangguh sebagai pribadi dan mampu menghidupi semangat tarekat. Untuk menanggapi zaman yang semakin berkembang berpesat maka para suster juga perlu mengembangkan hidupnya sehingga kuat dalam menghadapi arus zaman. Dalam usaha untuk semakin menghayati dan menghidupi semangat peniten rekolek maka penulis mengusulkan program katekese yang membantu para suster untuk semakin mampu memahami, menghidupi, dan menyuburkan semangat peniten rekolek dalam kehidupan sehari-hari. Program katekese yang dipilih oleh penulis adalah dengan model Shared Christian Praxis SCP. Program katekese dengan model SCP Shared Christian Praxis sangat cocok untuk pembinaan para suster SFS, karena sifatnya yang dialogis partisipatif dengan menekankan keterbukaan dan kerjasama. Proses pelaksanaan, peserta sebagai subyek, pergulatan, keprihatinan dan 75 harapan peserta mendapat tempat utama. Katekese model ini memiliki pendekatan yang multi arah Groome, 1997:1. Berdasarkan itu maka, dalam bab IV bagian pertama, penulis akan menguraikan tentang On-going Formation sebagai suatu pembinaan berkelanjutan bagi para suster SFS demi menyuburkan pemahaman dan penghayatan semangat peniten rekolek. Selanjutnya pada bagian kedua penulis akan menguraikan tentang katekese sebagai salah satu usaha On-going formation bagi para suster SFS. Pada bagian ketiga penulis akan memaparkan tentang: usulan program katekese untuk menyuburkan semangat doa dan peniten rekolek.

A. On Going Formation Suster Fransiskan Sukabumi

1. Pengertian On Going Formation Pembinaan terus menerus “Formatio” menurut Darminta 1999:218 sangat sulit di terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Formatio artinya adalah pembentukan atau pembinaan. Kongregasi SFS menyebutnya dengan kata pembinaan hal ini dapat di lihat dari Konstitusi SFS 2000: 75. Dalam konstitusi SFS pada bab IV mengatur secara khusus program pembinaan. Kesadaran akan perlunya pembinaan terus menerus on-going Formation sangat penting bagi para suster SFS untuk senantiasa dilakukan demi menyuburkan semangat peniten rekolek. Formatio sebagai sesuatu proses dalam pembinaan, di dalam pembinaan itu terdapat kegiatan bimbingan rohani. Proses pembinaan mengarah pada pola kerohanian dalam kehidupan religius, seperti yang dinyatakan Darminta 1999:219 sebagai berikut: 76 “Pada mulanya formation yang bersifat bimbingan pribadi. Tujuannya ialah melatih agar orang mampu hidup secara rohani. Selanjutnya, ketika hidup bertapa berkembang menjadi hidup membiara dengan segala aturannya, formation religius berkembang pula menjadi kegiatan religius yang dilembagakan untuk orang masuk dalam biara. mereka dilatih dan dididik menurut pola hidup tertentu, yang dialami sebagai jalan menuju kesempurnaan hidup”. Formatio religius di dalamnya menyangkut unsur pembinaan. “Pembinaan” merupakan suatu usaha “pembentukan” anggota religius dalam proses terus menerus sampai tercapainya kepribadian yang utuh dan kehidupan religius yang mantap” Pujaharsana dalam Rohani 1986: 197. Masa pembinaan seorang religius tidak hanya terbatas waktu postulan, novisiat dan masa yunior tetapi meliputi masa sesudah kaul kekal, bahkan proses pembinaan sepanjang hidup. Dalam Kongregasi SFS tim formator yang akan mengatur proses dan program pembinaan bagi setiap jenjang suster. Hal ini mengingat bahwa kaul kekal bukan akhir dari pembinaan. Pembinaan terus menerus dapat membentuk pribadi religius memiliki kemantapan sikap dan arah hidup, dewasa dalam hidup bersama maupun masyarakat. Pembinaan hidup religius perlu dilakukan terutama untuk kelangsungan hidup panggilan. “Selama seluruh hidup para religius hendaknya dengan tekun melanjutkan pembinaan rohani, doctrinal dan praktis dan para pemimpin hendaknya menyediakan sarana dan waktu untuk itu” KHK Kan 661. Pembinaan yang diberikan kepada para religius perlu diberikan untuk membina iman para religius pada khusunya dalam rangka untuk mengembangkan iman dan mengolah hidupnya. Kehidupan sebagai religius perlu di olah dengan baik karena dalam kehidupan bermasyarakat kita ditantang untuk menjadi garam serta terang bagi