Perdagangan Perkawinan
Pendidikan Tasawuf
Kesenian
Proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa tidak terlepas dari peranan para wali yang biasa disebut walisanga Sunan Ampel,
Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati. Para wali bertindak
sebagai juru dakwah, penyebar dan perintis agama Islam. Selain sembilan orang wali yang dikenal, terdapat pada beberapa tokoh lokal yang berpengaruh
diantaranya adalah Syekh Abdul Muhyi, Syekh Siti Jenar, Syekh Lemah Abang, Sunan Geseng, Sunan Tembayat, Sunan Panggung.
Agama Islam tidak mengenal sistem pembagian masyarakat berdasarkan perbedaan kasta. Dalam ajaran agama Islam tidak dikenal adanya perbedaan
golongan dalam masyarakat. Setiap anggota masayarakat mempunyai kedudukan yang sama sebagai hamba Allah.
b. Islam dan Jaringan Perdagangan Antar pulau
Berdasarkan data arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di kepulauan Indonesia sudah
dimulai sejak abad pertama Masehi. Jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India,
dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina. Demikian pula dari catatan- catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina
telah menunjukkan adanya jaringan-jaringan perdagangan antara kerajaan- kerajaan di Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina. Kontak
dagang ini sudah berlangsung sejak abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah
Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Adanya jalur pelayaran
tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta
perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Bnda Aceh,
Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Bnaten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, banjar, dan kota-kota lainnya.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para
pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan
perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Bnaten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu pelayaran di selat Malaka sering diganggu oleh bajak
laut. Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Kegiatan ini
dilakukan karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa
kolonial. Akibat dari aktivitas bajak laut rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan
Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.
Perdagangan pada
wilayah timur
kepualauan Indonesia
lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Meningkatnya ekspor lada
dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang
berkembang dengan cepat. Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai
disebabkan karena kemenangan militer ekonomi dari Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada
perdagangan.
c. Islam Masuk Istana Raja