108
Tabel 7: Data Sarana Budidaya, Produksi dan Pemasaran No
Kriteria Pekan Tanjung Beringin
Pantai Cermin Kanan
1. Jenis Budidaya Lele Dumbo nila
kolam air tenang Udang
air payau 2. Luas
Potensi ha
3 25
3. Produktif ha 1 0,2
10 4. Tidak Produktif ha
- 15
5. Produksi Tahun 2006 ton 15.000 400
14 6. Harga rata-rata kg Rp
10.000,- 12.000,- 45.000,-
7. Nilai produksi xRp.1.000,- 150.000 4.800
630.000 8. Pemasaran dalam daerah Kg
500 50 200
9. Pemasaran luar daerah Kg 14.500 350
13.800
Sumber: Data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai 2007
D. Pemasaran Dan Pengelolaan Hasil Tangkap
Bentuk pengelolaan dan pemasaran hasil tangkap di desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak jauh berbeda, hanya jenis hasil tangkapan saja
yang sedikit berbeda. Bila di desa Pekan Tanjung Beringin hasil tangkap yang paling dominan adalah jenis ikan gembung, maka di desa Pantai Cermin Kanan lebih
mendominasi berbagai jenis kepiting sebagai hasil tangkap paling diminati para nelayan. Para nelayan di kedua wilayah ini yang merupakan nelayan tradisional lebih
cenderung melakukan pemasaran yang bersifat tidak langsung atau dengan kata lain para nelayan menjual hasil tangkapannya melalui para toke yang menjadi penampung
ikan-ikan hasil tangkapan mereka. Lalu toke akan menjualkannya lagi kepada para
Universitas Sumatera Utara
109 pengecer atau menjualnya langsung kepasaran. Nelayan jarang menjual secara langsung
hasil tangkapannya ke pasar. Keterkaitan hubungan antar toke dan para nelayan pada dasarnya adalah
hubungan bisnis antara pembeli dan penjual, namun dikarenakan persaingan yang begitu banyak antar toke dan persediaan ikan hasil tangkapan yang terbatas maka para
toke secara sengaja maupun tidak mencoba untuk mengikat para nelayan dengan cara memberikan berbagai kemudahan baik secara ekonomi maupun finansial. Toke dengan
memberikan bantuan berupa pinjaman modal ataupun bantuan alat tangkap yang diperhitungkan sebagai pinjaman kepada si nelayan dengan syarat nelayan tidak
menjual hasil tangkapnya kepada toke yang lainnya dan hanya menjual semua hasil kepada toke yang memberikan kemudahan-kemudahan tersebut.
Disisi lain toke sebagai penampung ikan selalu saja menerapkan pembelian ikan yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar, harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar
atau timbangan selalu dimanipulasi jumlah hasil tangkap yang ditimbang oleh toke. Keadaan tersebut dapat dilakukan kerja sama atau main mata antar toke agar para
nelayan tidak tahu secara pasti harga pasaran ikan. Hasil penjual nelayan ke toke biasanya digunakan untuk pemotongan hutang yang diberikan oleh para toke sebagai
bentuk bantuan ekonomi dan finansial tadi. Bila hasil tangkap melebihi hutang tersebut maka para nelayan akan mendapatkan keuntungan dari hasil tangkapnya, namun bila
hasil tangkapnya kurang dari jumlah pinjaman maka nelayan tidak akan melunasinya semuanya. Mereka akan membayarkannya setelah hasil penangkapan selanjutnya.
Biasanya para toke tidak akan memaksakan nelayan harus melunasi seluruh
Universitas Sumatera Utara
110 pinjamannya, malah mereka memberi kemudahan dengan cara menambah pinjaman
tersebut agar nelayan dapat lebih terikat dengan toke. Dengan keadaan seperti itu para nelayan akan selalu terikat dan akan selalu tergantung kepada si toke, sehingga tidak
akan menjual lagi hasil tangkapannya kepada toke-toke yang lainnya. Bila toke memiliki sendiri kapalnya maka dia juga akan menerapkan sistem
yang berbeda pada nelayan buruh yang membawa kapal miliknya. Pola yang diterapkan oleh mereka ada dua bentuk, pertama bentuk sistem tangkap bagi: pembagian hasil
dilakukan tiap-tiap trip kepulangan setelah beroperasi biasanya pola ini diberlakukan bila yang digunakan adalah kapal yang berdaya tampung cukup besar dan penangkapan
dilakukan dengan 5-10 orang nelayan. Kedua, bentuk sistem pembagian hasil dengan cara sistem sewa kapal kapal yang digunakan nelayan adalah kapal kecil, biasanya
yang melakukan penangkapan hanya seorang atau dua orang saja. Pola yang pertama dalam garis besarnya perhitungannya adalah sebagai berikut:
penghasilan kotor dipotong 20 untuk toke, potong uang belanja selama operasional, potong 10 untuk tekong, kemudian penghasilan bersih dibagi dua antara toke dengan
tekong dan para kru anggota operasi jika dibuat dalam bentuk persenan dari hasil pembagian pemilik kapal mendapat
65 sementara tekong dan nelayan buruh 35. Namun dengan catatan seluruh biaya operasional, kerusakan kapal dan alat tangkap
dilibatkan kepada anggota kru nelayan buruh atau dengan kata lain dimaksudkan dalam anggaran belanja yang setiap hasil penangkapan selalu diperhitungkan. Masalah
timbul dikarenakan setiap kali turun ke laut belum tentu sebuah kapal mengalami hasil maksimal dengan mendapatkan laba cukup besar, terkadang sama sekali tidak
Universitas Sumatera Utara
111 mendapatkan hasil untuk menutupi biaya produksi atau mengalami kerugian maka
nelayan yang menanggung kerugian tersebut dianggap berhutang kepada toke. Untuk pola yang kedua, sistemnya adalah sistem sewa kapal, yaitu dengan
sistem bayar sewa kepada toke pemilik kapal. Hasil tangkap nelayan yang menjadi penyewa akan dibagi tiga yaitu untuk toke, untuk perbaikan kapal dan alat tangkap dan
untuk nelayan. Pembagian untuk perbaikan kapal biasanya dipegang oleh toke, sehingga menjadikan perhitungannya menjadi 23 untuk toke dan 13 untuk nelayan. Hasil
tangkap nelayan penyewa ini harus dijual kepada toke pemilik kapal tidak boleh kepada toke lain. Bila nelayan tersebut menjual kepada toke lain maka pemilik kapal tidak akan
segan-segan memberikan sangsi, baik secara jalur hukum ataupun jalur kekeluargaan yang dapat melibatkan kepala desa atau pun aparatur desa. Sama halnya dengan sistem
yang pertama para toke pemilik hanya mendapat keuntungan saja dari cara ini, karena bila terjadi kerusakan yang cukup parah, toke biasanya tidak akan membiayai seluruh
perbaikannya dia akan meminta nelayan yang menyewa kapalnya ikut andil membiayainya. Alasan mereka biasanya adalah biaya perbaikan yang cukup mahal dan
kebiasaan nelayan yang tidak bisa menjaga alat tangkap tersebut saat beroperasi. Pemasaraan ikan hasil tangkap nelayan berjalan lancar sesuai dengan
mekanisme pasar ikan yang berlaku di dalam komunitas nelayan, kelembagaan ekonomi akan sangat mendukung aktivitas jual beli ikan antara produsen dan konsumen.
Terstrukturnya kelembagaan dan tersedianya sarana-sarana pemasaran membantu nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan sesuai dengan harga tawar menawar yang
saling menguntungkan antar kedua belah pihak yang berkepentingan. Pada prakteknnya
Universitas Sumatera Utara
112 di lapangan kondisi pasar ikan justru melemahkan sebagian nelayan skala tradisional
dan nelayan buruh yang tidak memiliki alat tangkap sendiri. Untuk nelayan tradisional lebih dikarenakan tingkat pengolahan ikan yang kurang memadai, penghasilan sedikit
sehingga mengambil jalan pintas melelang ikan secara tradisional tanpa mengikuti mekanisme pasar. Sedangkan nelayan moderen buruh hasil tangkapan sudah
dimonopoli langsung oleh pihak pemilik kapal atau toke yang sering mempermainkan harga dan timbangan berat ikan hasil tangkapan. Begitu juga akan menutup peluang
menyalurkan ikan ke pembeli lain seperti TPI Tempat Penjualan Ikan yang menerapkan standar baku pada ikan, di samping itu nelayan juga enggan menjual ikan
ke TPI karena terbatasnya pengetahuan mereka terhadap institusi ekonomi tersebut. Pemasaran dalam pola ekonomi nelayan terdiri dari dua bentuk, pertama bentuk
tradisional dan bentuk rantai pemasaran moderen. Pemasaran tradisional dilakoni antara para nelayan dengan para penampung-penampung ikan dan para pengelola ikan
berskala kecil yang menampung jenis-jenis ikan kualitas lokal. Sedangkan pemasaran moderen dilakoni para toke besar, pemasaran marketing pihak pemilik modal dan TPI
yang menampung memasarkan jenis ikan yang berkualitas ekspor. Untuk penampung mata rantai pemasaran tradisional daya tampungnya terhadap kebutuhan ikan masih
sangat terbatas, sistem pembeliannya pun dominan borongan tanpa timbang sebab jenis ikan yang dibeli sangat beraneka ragam tanpa sortir terkecuali jenis ikan yang sangat
mahal di pasaran seperti udang kelong. Untuk pemasaran dengan sistem yang moderen kapasitas penampungan sangat besar khususnya ikan-ikan besar berkualitas pangsa
pasar luar daerah dan ekspor. Sortiran-sortiran ikan tersusun rapi berdasarkan jenis ikan
Universitas Sumatera Utara
113 dengan pengawet yang terjamin setelah sampai di tangkahan daratan, tak lama
kemudian seluruh fiber-fiber ikan tersebut akan diangkut untuk dipasarkan melalui jasa transportasi darat maupun laut menuju berbagai kota antara lain Medan, Sei Rampah,
Aceh dan lain-lain, tidak jarang pula dipasarkan ke kota manca negara seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, Hongkong sebagai sasaran utama untuk
pemasaran jenis ikan berkualitas tinggi. Seperti Udang-udangan, ikan kerapu, ikan kakap, ikan tunasisik dan lainnya. Biasanya untuk pemsaran moderen tersebut
dilakukan oleh toke-toke yang memiliki kapal yang besar dan lebih dari satu. Di desa Pekan Tanjung Beringinlah yang paling banyak memiliki toke-toke yang besar
dibandingkan desa Pantai Cermin Kanan. Tidak ada yang tahu pasti mengapa bisa terjadi demikian.
Dalam beberapa tahun terakhir menurut para nelayan di dua wilayah ini kondisi laut saat ini sangat parah, dimana para nelayan yang melaut bisa saja tidak mendapat
ikan sama sekali. Menurut mereka hal ini disebabkan kondisi laut yang sudah tidak dapat ditebak lagi keadaannya. Hal tersebut menyebabkan melemahnya kondisi pasar
ikan nelayan. Bila ditelusuri secara mendalam ada beberapa faktor struktural yang menyebabkan hal ini terjadi selain diakibatkan kondisi laut. Pertama, dipengaruhi
permintaan yang lebih kecil daripada pembeli dibanding persediaan ikan yang ditawarkan penjual jika saat musim panen. Kedua, masih terbatasnya jumlah pedagang
yang memborong ikan sehingga tawar-menawar tidak seimbang dan bersifat monopolistik. Ketiga, penerapan sistem patron-klien antara pihak pemilik armada
dengan para toke, dimana pihak nelayan buruh tidak leluasa memasarkan ikan hasil
Universitas Sumatera Utara
114 tangkapannya dan menerapkan monopoli dengan melarang keras memasarkan produksi
ke TPI. Keempat, keberadaan organisasi nelayan berupa HNSI atau pun LSM-LSM nelayan belum mampu berfungsi sepenuhnya melindungi kepentingan ekonomi nelayan
tradisional.
E. Pengetahuan Nelayan Terhadap Gejala alam, Konflik Nelayan Dan Mitos Laut