67 dua desa ini sudah optimal dilakukan, karena sumbangan pajak terbesar adalah berasal
dari perkebunan kelapa sawit tersebut. Dan ketika pembangunan kelapa sawit banyak sekali hutan-hutan bakau yang ditebang oleh para pemodal tersebut.
Pembudidayaan udang dan Perkebunan kelapa sawit telah menyempitkan tempat aktifitas nelayan tradisional hutan bakau dalam berburu biota atau ikan yang
bermanfaat. Akar-akar bakau sebagai lokasi pengembangan mengalami disfungsi begitu juga dengan sarang ketam, kerang-kerangan ikut terbongkar oleh mesin-mesin
pembukaan areal pertambakan dan perkebunan.
A. 4. Organisasi Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove
Masyarakat nelayan di dua daerah ini umumnya tidak mengenal organisasi yang mengelola lahan-lahan bakau semenjak dahulu sampai sekarang. Masyarakat bebas
beraktifitas di lokasi-lokasi yang memang dianggap sebagai lahan mata pencarian sebelum masuknya kepemilikan beserta investasi para pengusaha maka terjadilah
perpindahan tangan atas otoritas kepemilikan suatu kawasan hutan bakau. Pranata-pranata desa sebagai lembaga yang mengatur akivitas budaya
masyarakat tidak menyentuh kepada kepedulian aturan main dalam suatu eksploitasi sumberdaya laut. Termasuk hutan mangrove, lingkungan seakan independen dalam
pandangan pemangku adat atau ketua-ketua agama. Tetapi tidaklah murni aturan main dalam masyarakat pesisir tidak menyentuh sama sekali akses kelingkungan hidup.
Dahulu aturan melarang aktifitas perikanan pada waktu-waktu tertentu saat hari jum’at dengan sangsi adapt pengucilan dari komunitasnya setidaknya berkolerasi terhadap
masyarakat desa berinteraksi mengelola lingkungan laut termasuk hutan-hutan bakau. Namun saat ini norma-norma tersebut telah longgar, memudar dari hati nurani
Universitas Sumatera Utara
68 masyarakat disebabkan perubahan konstelasi kebudayaan dari masyarakat
bersangkutan, sejalan dengan krisis kemerosotan produksi sumberdyaa, moral masyarakat dan perkembangan teknologi yang semakin bersaing di antara komunitas
masyarakat itu sendiri. Pranata masyarakat nelayan termarjinalisasikan beserta norma adat, agama yang
selama beberapa dekade masih mewarnai kehidupan masyarakat pantai. Akhirnya rumah tangga individu-individu yang berusaha mengatur dirinya sendiri tanpa campur
tangan norma yang ada menjadikan masyarakat pantai menjadi tanpa kesatuan sosial, hal tersebutlah yang menumbuhkan eksploitasi tanpa batas terhadap sumberdaya pesisir
dan laut serta hutan bakau. Hutan Mangrove bakau pada dasarnya bukanlah kepunyaan semacam hak pribadi masyarakat tetapi telah mengalami polarisasi
kepemilikan dan kepentingan orang-orang yang mengelolanya. Telah banyak lahan-lahan mangrove yang berubah fungsi menjadi tempat
budidaya udang, pemukiman penduduk, dan pemabangunan perkebunan kelapa sawit yang terlebih dahulu lahan-lahan bakau ditebang lalu ditimbun dengan tanah. Dengan
demikian kawasan bakau sebagai tempat keanekaragaman flora dan fauna semakin teracam punah yang akan berakibat langsung kepada aktifitas penangkapan ikan,
pencarian biota yang menjadikan hutan bakau sebagai mata pencaharian sehari-hari atau tambahan para nelayan setempat.
Masyarakat nelayan yang ada di dua wilayah ini cenderung memiliki persepsi yang bertolak belakang tentang keberadaan mangrove. Menurut sebahagian dari mereka
yang tidak begitu peduli akan keberadaan bakau ekosistem mangrove tidaklah begitu
Universitas Sumatera Utara
69 penting keberadaanya bagi warga dan sama sekali tidak mempengaruhi ekosistem
sumberdaya laut. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Suhairi Pekan Tanjung Beringin: “ Hutan bakau sebenarnya enggak ada pengaruhnya sama bahan-bahan
laut. Karena ikan, udang sama kepiting tetapnya ada walaupun enggak ada bakau. Karena bakau untuk melindungi pantai aja kok fungsinya.”
Hampir senada pula dengan perkataan Bapak Anwar Pantai Cermin Kanan: “Mana mungkin ikan-ikan, udang atau kepiting berkembang biak di
hutan bakau. Buktinya aja sekarang enggak ada lagi hutan bakau, tapi tetap ada kok ikan, udang sama kepiting. Malah kadang-kadang makin
banyak pun” Pelarangan penebangan yang ada saat ini adalah oleh pemerintah. Dengan
kekuasaan yang dimilikinya pemerintah bisa membuat keputusan hutan bakau di daerah mana yang bisa ditebangi dan mana yang tidak. Selama ini peran pemerintah mulai
tampak dalam menjaga kelestarian hutan bakau di dua desa ini, namun tidak jarang pula pembukaan hutan bakau untuk dijadikan tambak udang terlihat dilakukan oleh oknum-
oknum pemerintah itu sendiri. Peraturan untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau yang dianjurkan pemerintah melalui aparat-aparatnya sedikit yang masih dipraktekkan.
Dan ada kalanya anjuran tersebut malah tidak dijalankan.
B. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Dan Laut