Faktor-faktor yang Mempercepat Perkembangan Sektor Informal

2.1.1.2. Faktor-faktor yang Mempercepat Perkembangan Sektor Informal

Belakangan ini sektor informal mulai bertambah pesat perkembangannya. Ia mampu memberikan alternatif sumber penghidupan selain yang disediakan oleh negara Ada beberapa alasan yang menjelaskan mengapa sektor informal ini semakin banyak diminati. Menurut penelitian yang dilakukan Anderson 1998, ada beberapa aspek yang mempengaruhi minat terhadap sektor ini, yaitu: 1. krisis ekonomi, menyebabkan supply tenaga kerja yang melimpah, 2. urbanisasi yang pada akhirnya berujung kepada meningkatnya jumlah tenaga kerja, 3. sektor informal berkembang seiring dengan permintaan barang dan jasa, terutama barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh sektor formal, 4. kemudahan memasuki sektor informal. Beberapa alasan diantaranya i sektor informal tidak terlalu terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat legal; ii peraturan-peraturan dibuat sendiri oleh para pekerja sektor informal. Oleh karena itu, hanya membutuhkan sedikit persyaratan bisa dalam bentuk uang, tenaga atau keterampilan untuk dapat menjadi bagian dari sektor informal; iii tempat melakukan usaha jarang yang menetap; iv skala usaha yang dikembangkan relatif kecil dan ia mampu berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari pihak perbankan; dan v pajak yang diberikan lebih ringan jika dibandingkan dengan sektor formal. Dari beberapa pemaparan di atas, kiranya dapat diambil garis besarnya bahwa sektor informal kian lama kian berkembang karena kondisi ekonomi yang sedang sulit. Sektor informal merupakan suatu penyelamat bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan karena ia dengan mudahnya dapat masuk ke sektor tersebut ataupun ia menciptakan lapangan kerja baru Chandrakirana Sadoko 1994. 2.1.2.Karakteristik Pemulung Pemahaman posisi pelaku-pelaku sektor informal dalam struktur yang lebih luas, hanya dapat diperoleh dengan menggali dinamika yang berlaku spesifik pada suatu bidang usaha tertentu Chandrakirana Sadoko 1994. Dalam hal ini, pelaku sektor informal yang dikaji adalah pemulung. Menurut Nelson 1991 dalam Pramuwito 1992, pemulung dibatasi sebagai seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai “barang dagangan”. Dinas Kebersihan Daerah Khusus Ibukota DKI 1990 dalam Simanjuntak 2002 memberikan kesepakatan cara pandang mengenai pemulung, yaitu: 1. Pemulung adalah bagian masyarakat atau Warga Negara Indonesia WNI yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan Undang-Undang Dasar UUD 1945. 2. Pemulung adalah pelaku penting dalam proses daur ulang recycling sampah sebagai salah satu bagian dalam penanganan sampah perkotaan maupun pedesaan. 3. Pemulung adalah salah satu pemelihara lingkungan hidup yang menyerap sebagian sampah untuk dapat diolah menjadi barang yang berguna bagi masyarakat. 4. Pemulung adalah orang yang bekerja memunguti dan mengumpulkan sampah dan memanfaatkan sampah-sampah tersebut untuk menambah penghasilan mereka. Pada umumnya, profesi pemulung ini lebih banyak “digeluti” oleh masyarakat miskin. Hampir secara keseluruhan, para pemulung merupakan migran yang berasal dari pedesaan Simanjuntak, 2002. Menurut Sjahrir 1995, sebagian besar migran meninggalkan desa di Jawa karena alasan ekonomi. Kesulitan ekonomi ini terjadi karena adanya tekanan kepadatan penduduk, kebijakan pertanian, dan situasi politik setempat. Dari semua itu, faktor utama yang mendorong migrasi ini adalah adanya perubahan di sektor pertanian, yang terjadi sehubungan dengan kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan pada sektor tersebut. Program-program pertanian yang ditawarkan pemerintah pada awalnya ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Namun pada akhirnya justru memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pihak-pihak tertentu. Kekuasaan ini kemudian semakin memperlebar jurang kesenjangan antara penduduk kaya dan penduduk miskin Collier 1978, Wiradi 1979, Hart 1986, Hart dan White 1989, dalam Sjahrir 1995. Reaksi penduduk miskin terhadap jurang kesenjangan yang tak lain merupakan polarisasi dari ekonomi, tampak dalam bentuk unjuk rasa, pembunuhan tokoh terkemuka, sabotase, ataupun sampai kepada pilihan meninggalkan desa. Beberapa ahli berpendapat bahwa perpindahan pekerja dari desa ke kota hanya berdasarkan peruntungan saja. Pendatang dari desa pada umumnya menyadari bahwa kesempatan mereka untuk diterima pekerjaan di perkotaan kecil. Namun karena perbedaan tingkat upah absolut yang besar antara kota dengan desa membuat penduduk desa tergerak untuk melakukan migrasi ke kota Gughler 1968, Harris dan Todaro 1970, Safa dan Du Toit 1975 dalam Sjahrir 1995. Pilihan yang terakhir ini membawa mereka ke perkotaan. Terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai hal ini. Todaro 1969 dalam Sjahrir 1995 menjelaskan bahwa ketika berada di kota, pekerja dengan keahlian yang rendah atau terbatas akan bekerja di sektor tradisional kota urban traditional sector atau urban informal sector terlebih dahulu sebelum akhirnya memperoleh pekerjaan yang tetap di sektor modern. Adapun berdasarkan penelitian dari Sjahrir 1995, ia menemukan bahwa pelaku migrasi penduduk Bejer yang pergi ke Jakarta segera mendapatkan pekerjaan tanpa harus melalui urban traditional sector atau urban informal sector . Pilihan kerja sebagai pemulung merupakan alternatif utama bagi mereka para migran yang ingin bekerja namun tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Walaupun dipandang sebelah mata, profesi ini masih tetap diminati karena kemudahan akses para migran untuk diterima bekerja. Beberapa faktor lainnya adalah: 1 tidak memerlukan keahlian tertentu Sjahrir, 1986. Hanya dengan modal tenaga, para pekerja di sektor informal sudah dapat memberikan penghasilan tertentu. Sebagai contoh pekerjaan memulung. Menurut keterangan seorang pemulung karena sumberdaya manusianya rendah, usaha yang paling mudah mendapatkan uang adalah memulung. Pekerjaan tersebut tidak memerlukan pemikiran yang berat, asalkan saja tidak malu, dapat dipastikan mendapatkan uang Permanasari, 2003. 2 tidak memerlukan persyaratan atas tingkat pendidikan tertentu. Menurut penelitian dari Simanjuntak 2002, secara keseluruhan para pemulung di Bantar Gebang mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP, yaitu sebesar 14,5 persen, tamat Sekolah Dasar SD sebesar 73,6 persen, tidak tamat SD sebesar 19,6 persen, dan sisanya tidak sekolah sebesar 4 persen. Pemulung di Luar Bantar Gebang paling banyak merupakan tamatan dari Sekolah Dasar yaitu sebesar 43,75 persen, tidak pernah sekolah 27 persen, tidak tamat SD 18, 75 persen, pemulung yang menyelesaikan SLTP 8,33 persen dan yang tamat Sekolah Menengah Umum SMU sebesar 2,0 persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang bekerja di sektor ini pada umumnya berpendidikan rendah. Dengan demikian dapat dipahami bila para pemulung sulit untuk diterima di sektor formal mengingat pendidikan mereka yang sangat rendah. Pemaparan yang telah dijelaskan di muka merupakan bagian dari karakteristik yang melekat pada pemulung. Karakteristik pemulung lainnya dapat dilihat dari pemaparan penelitian Simanjuntak 2002 berikut ini. Pada umumnya, profesi pemulung lebih banyak digeluti oleh laki-laki. Laki-laki menempati posisi yang terbesar yaitu sebanyak 93,6 persen, sedangkan sisanya 6,4 persen adalah pemulung wanita. Pemulung di luar Bantar Gebang pun didominasi oleh laki-laki yaitu sebesar 91,6 persen, sedangkan sisanya 8,33 persen adalah pemulung wanita. Dilihat dari segi usianya, para pemulung rata-rata termasuk pada angkatan kerja. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar usia pemulung di Bantar Gebang merupakan tenaga kerja usia produktif yang usianya kurang dari 40 tahun. Persentase terbesar 41,2 berada pada selang usia 21 sampai 30 tahun, kemudian diikuti pemulung dengan usia dibawah 20 tahun sebesar 35,6 persen, usia 31 sampai 40 tahun sebesar 18,4 persen dan sisanya adalah pemulung yang usianya 40 tahun ke atas sebesar 4,8 persen. Pada pemulung yang berada di luar Bantar Gebang, usia terbesar berada pada selang 31 sampai 40 tahun sebesar 33,3 persen, kemudian diikuti oleh pemulung dengan kelompok usia 21 sampai 30 tahun sebesar 31,25 persen. Usia pemulung di atas 40 tahun sebesar 22,9 persen dan sisanya pemulung dengan usia di bawah 20 tahun ke bawah sebesar 12,5 persen. Dilihat dari kondisi tempat tinggalnya, biasanya pemulung tinggal dalam pemukiman bedengan yang disediakan oleh lapaknya. Mereka juga tidak mempunyai akses kepada beragam fasilitas pemerintah atau kalaupun ada prosesnya dipersulit dan mereka selalu dinomorduakan dalam pelayanan Simanjuntak, 2002. 2.1.3.Karakteristik Kerja Karakteristik adalah ciri-ciri khusus atau sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991. Menurut Kartono 1981 kerja merupakan suatu aktivitas dasar yang memberikan isi dan makna pada kehidupan manusia, memberikan status, dan mengikat seseorang pada individu lain serta masyarakat. Dengan demikian, karakteristik kerja adalah suatu ciri-ciri khusus yang melekat dengan aktivitas dasar manusia dalam melakukan sesuatu, untuk mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Adapun karakteristik kerja pemulung dapat dilihat dari ciri-ciri sebuah sektor informal. Di dalam jaringan daur ulang, terdapat pemulung, lapak, dan industri daur ulang sebagai pelaku dalam usaha daur ulang. Peranan pemulung adalah mengumpulkan barang-barang buangan dari berbagai lokasi pembuangan sampah di kota untuk mengawali proses penyalurannya ke tempat-tempat produksi. Dalam memulung, pemulung perlu memilih barang-barang yang memiliki nilai ekonomis serta mengetahui harganya masing-masing. Karena harga barang-barang terebut terus berubah-ubah, maka pemulung harus senantiasa memperbaharui pengetahuannya. Barang-barang buangan yang biasa dipulung adalah kardus, plastik, kaleng, besi, dan beling. Barang- barang tersebut nantinya akan diberikan kepada lapak Chandrakirana Sadoko, 1994. Sebagian besar pemulung berkeliling mendatangi tempat-tempat pemukiman dan atau perkantoran. Mereka beroperasi melalui rute yang relatif tetap. Pembatasan wilayah operasi masing-masing pemulung sebenarnya tidak ada, namun terdapat kesepakatan untuk tidak saling melanggar teritorial masing-masing. Di daerah pemukiman yang padat penduduknya, mereka dapat menjelajahi hingga 1 kilometer dari lokasi lapak. Berdasarkan hasil survei Chandrakirana dan Sadoko 1994, rata-rata jarak yang mereka tempuh dengan berjalan kaki dalam satu hari adalah 3,5 kilometer. Kembali kepada jaringan daur ulang, pihak berikutnya dalam jaringan ini adalah lapak. Lapak merupakan perantara tingkat pertama yang akan menyalurkan bahan- bahan daur ulang dalam jumlah yang lebih besar per jenis komoditi dan dalam kondisi yang relatif bersih, ke perantara tingkat berikutnya. Dalam melakukan sortasi terhadap bahan-bahan daur ulang, lapak mempekerjakan pegawai-pegawai khusus yang diupah dengan jumlah rata-rata sebanyak 3 orang. Terkadang lapak mempekerjakan pegawai- pegawai secara tidak tetap pada waktu dibutuhkannya tenaga tambahan. Tenaga tidak tetap ini sering diambil dari anggota keluarga pemulung Chandrakirana Sadoko 1994. Selanjutnya, dari lapak, barang-barang tersebut dibawanya ke pabrik melalui jasa pemasok. Dalam menjalankan fungsi perantaranya, pemasok harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh pabrik, khususnya menyangkut volume minimum yang harus disetorkan per bulan, kualitas barang yang dipasok, dan kontinuitas pengiriman. Jika persyaratan telah terpenuhi, pemasok mendapatkan pesanan dari pabrik. Pada beberapa lapak, ada yang tidak bersedia untuk menjual langsung ke pemasok. Para lapak menjual barang-barangnya ke bandar. Bandar merupakan pengumpul dengan satu jenis barang secara eksklusif, seperti bandar kertas, bandar besi dan bandar botol. Masing-masing bandar akan menjual ke pemasok atau langsung ke pembeli akhir dalam jaringan daur ulang Chandrakirana Sadoko 1994. Konsumen di tingkat akhir biasanya merupakan para produsen yang memanfaatkan barang buangan sebagai bagian atau bahan baku utama produksinya. Konsumen ini adalah industri daur ulang. Inti dari industri daur ulang terletak pada proses pengumpulan dan penyaluran barang-barang buangan dari tempat persampahan ke tempat-tempat produksi. Peluang akumulasi terletak pada transaksi jual beli dalam proses penyaluran barang-barang buangan dari pemulung ke produsen. Dalam mata rantai transaksi-transaksi ini, penentu utama nilai tukar bahan daur ulang adalah pembeli akhir, yaitu produsen. Produsen inilah yang menentukan harga beli barang dari lapak besarbandar, sedangkan harga beli dari pemulung ditentukan oleh lapak berdasarkan harga jual yang mereka terima dari bandarlapak besar atau pemasok tersebut Chandrakirana Sadoko 1994. Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa sektor informal memiliki struktur jaringan meskipun sederhana Simanjuntak, 2002. Adanya jaringan ini menimbulkan suatu hubungan ketergantungan diantara pemulung, lapak, dan industri daur ulang. Ketergantungan antara setiap tingkatan pelaku informal dalam jaringan ini menyebabkan adanya faktor keuntungan bersama dalam jalinan hubungan kerja Chandrakirana Sadoko 1994. Dalam hubungan kerja yang terbentuk pada pemulung dan lapaknya terdapat ciri dari hubungan patron-client bapak-anak buah. Hubungan bapak-anak buah ini didefinisikan sebagai suatu ikatan yang terdiri dari dua pihak dimana individu yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi memanfaatkan pengaruh serta sumber- sumber yang dimilikinya guna memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang dalam status sosial yang lebih rendah client atau anak buah. Sebagai bentuk balas jasa dari perlindungan dan keuntungan yang diberikan, client memberikan bentuk dukungannya dan bantuan yang bersifat umum, termasuk pula jasa-jasa pribadi terhadap patron atau bapak Hayami dan Kikuci, 1981 dalam Sjahrir, 1995. Santoso 2004 menemukan bahwa para pemulung di Bantar Gebang yang kehidupannya ditanggung oleh lapak ketua kelompok pemulungbandar memiliki penghasilan Rp600.000,00 per bulan. Hal ini belum ditambah dengan uang makan, rokok, biaya kesehatan, dan lain- lain. Setiap hari, seorang pemulung mendapat uang makan dari lapak sekitar Rp20.000,00. Uang tersebut dibelikan nasi bungkus Rp2.500,00, biasanya dengan lauk tempe dan sayur tiga kali sehari. Terdapat juga biaya rokok, obat, dan transportasi seperti ojek di sekitar lokasi sebesar Rp3.000,00 sampai dengan Rp5.000,00. Keseluruhan dari biaya tersebut menjadi tanggungan lapak. Selain itu, lapak biasanya membangun permukiman mini untuk kelompoknya masing-masing di dekat bedeng penampungan barang bekas. Dari semua fasilitas yang diberikan ini, para pemulung memiliki kewajiban untuk menyetorkan barang olahan kepada pimpinan mereka lapak sebagai bentuk imbalan atas jasa para lapak. Penelitian lain menunjukkan sebagian besar pemulung di Bantar Gebang, sebanyak 92,4 persen responden memperoleh pendapatan dari pekerjaannya sebagai pengumpul antara Rp500.000,00 sampai Rp750.000,00 Simanjuntak, 2002. Direktorat Bina Migrasi Internal dan Urbanisasi pada akhir bulan Juni 2002 melakukan pengumpulan informasi penghasilan para pekerja sektor informal di kota Bandung dan hasilnya diperoleh gambaran bahwa para pemulung pada Tempat Pembuangan Sampah Sementara TPS, rata-rata mampu menyisihkan Rp200.000,00 sd Rp300.000,00 per bulannya untuk dikirim kepada keluarga mereka di kampung. Dengan demikian, pemulung tidak saja menggunakan penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri namun mereka juga mampu membantu kerabat-kerabatnya yang masih berada di pedesaan. Hubungan keterikatan antara berbagai tingkatan dalam jaringan daur ulang ini, selain dapat dilihat dalam konteks bisnis, ia dapat juga dilihat dalam konteks sosial. Pola hubungan sosial sekaligus bisnis ini membentuk suatu pola hubungan kerja. Seperti yang terlihat pada hubungan antara lapak dengan pemulung tetap atau pemasok dengan lapak langganan, hubungan mereka bukan hanya sebatas hubungan kerja melainkan hubungan yang mencakup pemberian nasehat dan bantuan moril atau uang untuk keperluan yang bersifat pribadi. Hubungan antar tingkatan dalam jaringan ini sering dilihat sebagai hubungan kekeluargaan. Bahkan kesetiaan lapak terhadap pemasoknya dijadikan salah satu tolok ukur dalam menilai kemapanan usaha sesama lapak. Hal ini menimbulkan suatu ketergantungan diantara masing-masing dari mereka. Ketergantungan ini menjamin adanya faktor keuntungan bersama dalam jalinan hubungan kerja Chandrakirana Sadoko, 1994. Namun tidak semua pemulung mendapatkan kondisi yang cukup baik seperti yang dialami oleh pemulung yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan Permanasari 2003, di Surabaya, dalam satu hari seorang pemulung yang usianya relatif muda dan masih kuat berjalan, bisa mendapatkan penghasilan Rp10.000,00, namun bila sudah tua hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp7.000,00 untuk setiap 60 kilogram sampah sekitar tiga karung per harinya. Dengan kata lain dalam sebulan, pemulung di Surabaya mendapat penghasilan antara Rp210.000,00 sampai dengan Rp300.000,00. Kondisi seperti itu menempatkan mereka termasuk sebagai kelompok miskin. Namun miskin disini terjadi bukan karena mereka malas. Pengamatan yang dilakukan oleh Permanasari 2003 menemukan bahwa pemulung di Surabaya ternyata bekerja setiap hari mulai dari pukul 03.00 wib. Oleh karena itulah, pemulung merupakan kelompok yang menjadi miskin bukan karena malas melainkan karena kemiskinan struktural dan terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak menghargai rakyat miskin di perkotaan. Dalam hasil penelitian Chandrakirana dan Sadoko 1994, terdapat beberapa usaha yang dikelola mengalami kemajuan, baik pada skala usaha maupun pada pendapatannya. Namun pada beberapa orang lainnya, tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sebagai contoh, seorang pemulung di Surabaya sudah bekerja sejak tahun 1959, namun sampai sekarang, ia merasa tak mengalami perubahan. Ia tetap saja seorang pemulung yang miskin. Menurutnya menjadi seorang pemulung bukanlah rencana hidup. Bagi mereka, kehidupan yang keras dan pendidikan yang terbatas membuat pilihan ini menjadi satu-satunya yang bisa dijalani. Oleh karena sumberdaya yang rendah dan tiadanya modal yang mencukupi, maka usaha yang paling enak tanpa mengeluarkan pikiran adalah memulung. Dengan hanya mengeluarkan tenaga, para pemulung akan mendapatkan uang Permanasari, 2003. Kondisi seperti inilah yang dikatakan oleh Saefuddin memiliki motivasi kerja yang rendah. Kerja hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan Saefuddin, 1986. Bila dikaitkan dengan teori motivasi yang diungkapkan oleh Maslow 1943 dalam Herujito 2001, maka kerja yang hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan termasuk pada hierarki yang paling rendah dimana motif melakukan pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Sesuai dengan teori motivasi, hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow 1943 adalah sebagai berikut: 1. kebutuhan fisiologis, mencakup kebutuhan badani misalnya pangan, sandang, dan sebagainya; 2. kebutuhan rasa aman, baik secara fisik maupun psikis; 3. kebutuhan afiliasi, dimana manusia sebagai makhluk sosial ingin diterima menjadi anggota kelompok masyarakat tertentu dan ingin ikut aktif dalam berbagai kegiatan; 4. kebutuhan akan harga diri, dimana manusia selalu ingin dibutuhkan dan dihargai. Harga diri ini bemanifestasi dalam prestasi dan kekuasaan; 5. kebutuhan aktualisasi diri, yaitu suatu kebutuhan untuk dapat mengembangkan keahliannya. Menurut Kartono 1981, motivasi kerja adalah daya gerak yang mendorong seseorang untuk bekerja, baik dari luar dirinya maupun dari sisi usahanya untuk bekerja secara lebih baik dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi kerja ini dapat juga berarti alasan atau dorongan dalam diri seseorang yang menyebabkan ia bertindak untuk mencapai tujuannya. Motivasi kerja tidak hanya berdasar pada kebutuhan ekonomis uang tetapi juga kebutuhan akan aktualisasi diri yaitu nilai sosial yang baik, perhatian dari orang-orang disekitarnya, dan kekaguman teman terhadap dirinya sendiri. Namun motivasi kerja yang rendah jangan hanya dilihat dari segi individunya melainkan harus memperhatikan juga latar belakang nilai budaya dan lingkungan yang mempengaruhi individu tersebut atau dapat disebut masyarakat untuk cakupan yang lebih luas. Koentjaraningrat 1974 menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan, maka bangsa Indonesia harus memiliki mentalitet pembangunan, diantaranya: 1 memiliki orientasi ke masa depan dengan merencanakan dan melihat masa depannya dengan hati-hati, teliti dan berhemat; 2 bangsa Indonesia harus memiliki hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam dengan melakukan inovasi; 3 inovasi terhadap suatu teknologi penting untuk menciptakan teknologi yang sesuai dengan pengetahuan, nilai dan budaya masyarakat setempat. Teknologi tersebut hendaknya diciptakan dengan menggunakan usaha sendiri; 4 menilai tinggi orientasi ke arah prestasi dari karya; 5 mementingkan disiplin, tanggung jawab yang tinggi dan menjauhi nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan karena hal demikian akan mematikan jiwa mandiri dan berdikari. Ada beberapa faktor-faktor penghambat pembangunan di dalam negeri ini, salah satunya adalah mentalitas bangsa. Menurut Koentjaraningrat 1974, kelemahan mentalitet bangsa Indonesia untuk pembangunan yaitu: 1 nilai budaya yang tidak berorientasi terhadap prestasi melainkan hanya mengejar amal dari karya diibaratkan sebagai orang sekolah yang hanya mengejar ijazah, bukan keterampilannya, 2 terlalu berorientasi kepada masa lampau yang dapat melemahkan motivasi untuk menabung dan hidup hemat, 3 menggantungkan diri pada nasib, 4 konsep konformitas yang dapat diartikan bahwa orang sebaiknya menjaga perasaan orang lain agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain, 5 terlalu berorientasi kepada atasan, 6 sifat yang suka meremehkan mutu, 7 suka menerabas, 8 tidak percaya kepada diri sendiri, 9 tidak disiplin, dan 10 suka mengabaikan tanggung jawab. Dari pemaparan di atas, maka garis besar yang dapat ditarik disini adalah aspek mentalitas termasuk didalamnya motivasi dan kemampuan serta lingkungan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kerja seseorang. 2.1.4.Hubungan Sosial Dalam setiap kehidupan manusia, hubungan sosial antara manusia selalu melekat pada setiap individunya. Menurut Zanden 1982, hubungan sosial adalah suatu proses langsung yang didorong atau dipengaruhi oleh seseorang kepada yang lainnya. Cara berperilaku seseorang ditentukan dari hubungan tersebut. Interaksi yang berlangsung cukup lama sehingga orang-orang saling berhubungan dan masing-masing diantara mereka memiliki harapan kepada yang lainnya, inilah yang disebut hubungan sosial. Kurth 1970 dalam Zanden 1982 menggolongkan hubungan sosial dalan tipe-tipe expressive ties , instrumental ties, dan expressive-instrumental continuum. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga tipe hubungan sosial tersebut. 1. Expressive ties Kebutuhan hidup manusia hanya dapat disadari dan bermakna setelah mereka berkumpul atau berinteraksi dengan yang lainnya. Kebutuhan tersebut terdiri dari rasa aman, cinta, penerimaan, pertemanan, dan rasa bermanfaat. Sebagai seorang manusia, kita tidak dapat hidup sendiri. Kepuasan yang diharapkan dari seseorang membutuhkan dukungan dari interaksi yang mana masing-masing pihak terlibat begitu dalam dalam hubungan tersebut. Masing-masing individu perlu menginvestasikan diri mereka dan dengan sepenuh hati mengabdikan diri untuk kelompok. Hubungan sosial seperti ini disebut sebagai primary relationship. Hubungan ini biasanya terdapat pada hubungan keluarga, pertemanan, dan percintaan, yang mana akan dirasakan suasana keakraban yang begitu dekat. 2. Instrumental ties Dalam ikatan jenis ini, bentuk penghargaan seseorang terhadap orang lain tidak menjadi hal yang penting. Seseorang membutuhkan orang lain hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa seseorang bekerjasama dengan musuhnya demi pencapaian tujuan tersebut. Hubungan seperti ini disebut sebagai secondary relationship. 3. Expressive-instrumental continuum Walaupun beberapa ikatan ada yang lebih mendominasi dari ikatan lainnya, baik ekspresif maupun instrumental, namun terdapat pula ikatan yang bersifat kontinum. Sebagai contoh, dalam hubungan pertemanan. Hal yang ingin didapat dari hubungan ini tidak sekedar untuk mendapatkan rasa aman, kekeluargaan, dan cinta tetapi mereka juga mengharapkan adanya kemudahan dari pekerjaan mereka. Hubungan sosial yang terbentuk lebih dari satu hubungan akan membentuk suatu network jaringan kerja. Jaringan kerja adalah jaringan yang terbentuk dari adanya hubungan sosial, yang secara langsung maupun tidak langsung, memasuki dan mengikat individu tersebut dengan individu lainnya. Jaringan kerja ini memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ketika seseorang sedang berada dalam keadaan susah atau sakit, maka ia membutuhkan orang lain untuk mengatasi kesulitannya tersebut. Ia akan mencari orang-orang ahli yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut hasil penelitian Granovetter 1973 dalam Zanden 1982, pencari pekerja cenderung mencari kerja melalui kenalannya dalam jaringan informal. Granovetter menemukan bahwa 39,1 persen pencari kerja menghubungi kenalannya seorang pekerja yang cukup berpengaruh, sehingga akan membuka peluang besar pencari kerja tersebut untuk diterima tanpa perantara. Sebanyak 45,3 persen, pencari kerja melalui satu perantara, 12,5 persen melalui dua perantara, dan 3,1 persen melalui lebih dari dua perantara. Sjahrir 1995 mengemukakan bahwa jaringan kerja merupakan cara memelihara ketahanan ekonomi mereka sendiri. Jaringan kerja network ini didefinisikan sebagai bentuk hubungan antarindividu yang melampaui batas-batas geografis desa atau garis keturunan. Seorang individu yang tidak memiliki hubungan darah dapat dianggap keluarga karena adanya kedekatan jarak geografis. Begitu pula sebaliknya, seorang anggota keluarga bisa saja dianggap jauh karena terpisah secara sosial, ekonomi dan geografis untuk jangka waktu yang lama, atau karena adanya konflik. Jaringan kerja yang terbentuk dapat berawal dari suatu ikatan kekerabatan. Sjahrir 1995 mengemukakan bahwa ikatan kekerabatan itu penting bagi kehidupan ekonomi dan penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan sosial baru. Dikatakan penting bagi kehidupan ekonomi karena waktu pertama kali berangkat ke kota, kebanyakkan dari mereka penduduk yang berasal dari pedesaan dibantu keluarga atau tetangga yang sudah mengetahui dan memiliki pengalaman kerja di perkotaan. Oleh karena mereka yang baru merantau ini sangat bergantung terhadap kerabatnya, maka pilihan kerja pun banyak dipengaruhi oleh kerabatnya tersebut. Mereka cenderung memilih pekerjaan yang digeluti oleh kerabatnya. Seperti yang telah disinggung di atas, selain penting bagi kehidupan ekonomi, sistem kekerabatan pun penting dalam penyesuaian terhadap lingkungan sosial yang baru. Kerabat mereka yang telah tinggal lebih dulu di kota akan memiliki banyak pengalaman mengenai cara bertahan hidup di perkotaan. Dengan demikian, kerabat ini dapat membantu mereka yang baru tiba dari desa dalam menyesuaikan diri terhadap situasi baru tersebut. Goncangan budaya seringkali terjadi bagi mereka yang baru datang ke perkotaan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan mengenai kepadatan penduduk, luas daerah, dan beragamnya penduduk di perkotaan Sjahrir, 1995. Ketika mereka dapat beradaptasi, maka mereka masih dapat bertahan untuk tinggal di perkotaan. Ikatan kekerabatan seperti ini tidak hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai hubungan darah melainkan termasuk pula orang-orang yang berasal dari satu desa yang sama. Di kota, ikatan kekerabatan ini meluas meliputi mereka yang memiliki profesi yang sama ataupun kepentingan yang sama. 2.1.5.Kesejahteraan Masyarakat selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan nilai- nilai yang belaku dalam lingkungannya. Kebutuhan yang diutamakan untuk dipenuhi adalah kebutuhan dasarnya. Menurut Sudjadi 2000, kebutuhan hidup minimum KHM berupa makan, sandang, rumah, kesehatan, pendidikan, tranportasi dan lain-lain. Seseorang yang dikatakan miskin bila orang tersebut hanya mampu memenuhi KHM, begitu pula sebaliknya Menurut Firdaus 2005 kesejahteraan adalah kondisi berimbangnya antara nilai dengan harga, berimbangnya pendapatan dengan pengeluaran, berimbangnya jumlah keuntungan dengan jumlah sedekah, zakat dan pajak. Dengan kesejahteraan ini, maka tujuan dari kesejahteraan yaitu mengeliminir kemiskinan dan mempertemukan masyarakat dengan kebutuhannya dapat tercapai. Ada beberapa model kesejahteraan sosial. Menurut Elliot 1993 yang mengadaptasi pandangan Johnson 1986:h.16; Dolgoff dan Feildstein 1984; serta Falk 1984:h.13 dalam Adi 2004, pandangan kesejahteraan terdiri dari: 1. paradigma residual atau model kesejahteraan residual, yaitu paradigma yang sangat menekankan nilai-nilai individualisme dan kemerdekaan individu, sehingga kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat dianggap merupakan kensekuensi logis dari adanya kebebasan individu untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam hidupnya. Oleh karenanya, pandangan pemerintah atau negara dipersempit. Dalam paradigma ini, pemerintah akan membantu mereka yang termasuk kategori sebagai orang yang memerlukan bantuan. 2. paradigma institusional atau model kesejahteraan institusional, yaitu paradigma yang mendasarkan pada asumsi humanitarianisme, dimana kesejahteraan adalah hak setiap warga. Oleh karenanya, peranan pemerintah diperlebar. Disini peran pemerintah menjadi lebih aktif dalam menjamin kesejahteraan warganya dibandingkan sebelumnya. Bentuk pelayanan diberikan kepada semua warga masyarakat, tidak terbatas pada kalangan tertentu saja. 3. paradigma developmental atau model kesejahteraan developmental, yaitu paradigma yang mendasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial. Paradigma ini cenderung bersifat konsensus dan anti opresif. Paradigma ini yang juga menekankan pada aspek kesetaraan, memfokuskan pada kerjasama dan kemauan untuk saling berbagi dari anggota masyarakat. Peranan pemerintah pada paradigma ini menjadi lebih proaktif dibanding paradigma sebelumnya. 4. model kesejahteraan radikalkonflik. Paradigma ini banyak berkembang pada negara kapitalis, dimana negara pada umumnya memberikan layanan berdasarkan kepentingan dari mereka yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karenanya, untuk mengatasi kelemahan tersebut, digunakan pendekatan konflik untuk memberikan penekanan pada negara agar mau memperluas layanan sosialnya, terutama untuk masyarakat yang tidak terkait dengan kekuasaan pihak-pihak tertentu. Paradigma ini memandang positif pada tindakan opresif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Sudaryanto 1986, terdapat beberapa cara untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dari suatu kelompok masyarakat, yaitu: 1. berdasar pada garis kemiskinan yang diungkapkan oleh Sayogyo 1977 dimana seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya per tahun hanya setara dengan 320 kg beras, miskin sekali bila hanya setara dengan 240 kg beras dan paling miskin bila hanya setara dengan 180 kg beras. 2. berdasar pada variabel-variabel yang mencerminkan tingkat kesejahteraan, antara lain: a. mengukur persentase penghasilan yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Semakin besar persentase pengeluaran untuk pangan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraannya, b. mengukur persentase penghasilan untuk konsumsi barang dan jasa. Asumsinya adalah semakin kecil persentase penghasilan untuk membeli barang atau jasa, maka tingkat kesejahteraannnya semakin rendah Selain itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN 2003 memiliki pendekatan dalam mengukur kemiskinan yang didasarkan pada kriteria keluarga yang dibuat melalui lima tahapan, yaitu: 1. keluarga prasejahtera keluarga prasejahtera adalah keluarga yang tidak mampu memenuhi salah satu kriteria-kriteria yang terdapat pada indikator keluarga sejahtera tahap 1. 2. keluarga sejahtera tahap 1 KS-1 KS 1 adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan minimumnya namun belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikatornya adalah sebagai berikut: 1 anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianutnya masing- masing, 2 seluruh anggota keluarga umumnya makan dua kali sehari atau lebih, 3 seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda-beda untuk di rumah, bekerjasekolah dan bepergian, 4 bagian terluas dari lantai bukan tanah, 5 bila anak atau anggota keluarga sakit, mereka akan dibawa ke sarana kesehatan petugas kesehatan. Bila pasangan usia subur PUS ingin ber-keluarga berencana KB, mereka akan dibawa ke saranapetugas kesehatan dan diberi obat atau diberi cara KB modern. 3. keluarga sejahtera tahap 2 KS-2 KS-2 adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Akan tetapi, keluarga belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikatornya adalah lima yang disebutkan pertama ditambah dengan sembilan indikator berikut: 6 anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut secara teratur, 7 paling kurang sekali seminggu keluarga menyediakan dagingikantelur sebagai lauk pauk, 8 seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir, 9 luas lantai rumah paling kurang 8 m 2 untuk tiap penghuni rumah, 10 seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir dalam keadaan sehat, sehingga dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing, 11 paling kurang satu orang anggota keluarga yang berusia 15 tahun ke atas memperoleh penghasilan tetap, 12 seluruh anggota keluarga yang berusia 10 – 60 tahun bisa membaca tulisan latin, 13 seluruh anak berusia 6 – 15 tahun bersekolah pada saat ini, 14 bila anak hidup dua oranglebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi kecuali sedang hamil. 4. keluarga sejahtera tahap 3 KS-3 KS-3 adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. Indikatornya adalah 1 – 14 ditambah dengan 7 indikator berikut: 15 mempunyai upaya untuk menekankan pengetahuan agama, 16 sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga, 17 biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga, 18 ikut serta dalam kegiatan masyarakat dalam lingkungan tempat tinggalnya, 19 mengadakan rekreasi bersama di luar rumah paling kurang sekali dalam 6 bulan, 20 memperoleh berita dari surat kabarradiomajalahtelevisi, 21 anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi. 5. keluarga sejahtera tahap 3 plus KS-3+ KS-3 plus adalah keluarga yang telah memenuhi kebutuhan minimum, sosial, pengembangan, dan secara teratur sudah aktif dalam kegiatan sosial. Indikator yang dipergunakan 1 – 21 dan ditambah dua syarat, yaitu: 22 keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi, 23 kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat. Berdasarkan Biro Pusat Statistik BPS 2005 dalam Suhendratio 2005, ada tiga kategori miskin di Indonesia. Pertama, penduduk sangat miskin. Termasuk dalam kategori penduduk sangat miskin adalah penduduk yang kemampuan minimal memenuhi konsumsi kalori sama atau kurang dari 1.900 kalori per orang per hari ditambah pengeluaran non makanan senilai Rp120 ribu per orang per bulan. Kedua, penduduk miskin, yakni yang memiliki kemampuan memenuhi konsumsi kalori antara 1.900-2.100 kalori per orang per hari ditambah pengeluaran non makanan setara Rp150 ribu per orang per bulan. Ketiga, penduduk hampir miskin, yaitu yang memiliki kemampuan memenuhi konsumsi 2.100-2.300 kalori ditambah pengeluaran non makanan setara Rp175 ribu per orang per bulan. Angka tersebut kemudian dikonversi ke rumahtangga dengan asumsi rumahtangga miskin memiliki rata-rata empat anggota rumahtangga. Dengan demikian, untuk rumahtangga sangat miskin kategorinya adalah 4 kali Rp120 ribu atau setara Rp480 ribu per rumahtangga per bulan. Untuk rumahtangga miskin sebesar Rp600 ribu per rumahtangga per bulan dan hampir miskin Rp700 ribu per rumahtangga per bulan. Dengan asumsi ini, maka keluarga dianggap tidak miskin apabila penghasilannya di atas Rp700.000,00 per rumahtangga per bulan.

2.2. Kerangka Pemikiran