Demografi dan Ketenagakerjaan Kondisi Sosial dan Ekonomi

S TRATEGI DAN R ENCANA A KSI K EANEKARAGAMAN H AYATI P ROVINSI S UMATERA S ELATAN | 20 pola pendidikan, penegakan hukum adat, dll. Beberapa polasistem dalam proses pengelolaan sumberdaya alam saat ini diantaranya:  Sistem penanaman padi tradisional di areal rawa yang biasa disebut dengan Sonor Box 1.  Pembukaan lahan untuk penanaman karet dengan sistem pembakaran yang terkendali. Pada proses ini terdapat beberapa kearifan lokal yang diterapkan diantaranya: Nebas dan Nebang merupakan salah satu tahap dalam membuka lahan karet berupa kegiatan pembersihan lahan dengan menebang pohon-pohon dan semak belukar dan mengeringkannya sehingga cepat habis pada saat di bakar. Ngekas berupa kegiatan pembuatan ilaran apisekat bakar di sekeliling lahan yang akan dibukadibakar dengan lebar yang cukup aman, rata-rata dengan lebar minimal 2 meter. Selanjutnya mulai nunu atau membakar dan menjaga selama pembakaran agar api tidak menjalar keluar tidak terkendali dilakukan oleh pemilik kebun, anggota keluarga dan pemilik kebun tetangga. Kemudian dilanjutkan dengan munduk atau membakar sisa-sisa potongan kayu yang belum terbakar. Setelah lahan bersih, kegiatan selanjutnya adalah nugal yakni membuat lubang tanam dan menaburkan benih padi tanaman palawija lainnya secara gotong royong antar anggota keluarga tanpa imbalan upah, pemilik kebun hanya perlu menjamu makan siang yang dimasak secara bersama-sama Setijono, 2004. Sehingga dari uraian tersebut dapat disimpulkan beberapa poin mengenai sistem pengelolaan lahan masyarakat Sumatera Selatan yaitu sistem berkelompok, adanya sistem perizinan Kriyo, pola pembakaran lahan secara bertahap, adanya sistem kontrol kemit, dilakukan secara berpindah, penanaman benih merata sonor dan dilakukan dengan pembatas-pembatas tertentu. S TRATEGI DAN R ENCANA A KSI K EANEKARAGAMAN H AYATI P ROVINSI S UMATERA S ELATAN | 21 Box 1. Budaya Sonor Sonor adalah budidaya padi secara tradisional di ekosistem rawa, yang biasanya dilakukan pada musim kemarau panjang minimal 5-6 bulan kering Chokkalingam, et al., 2003. Pada musim kering yang panjang ini ekosistem rawa akan surut sangat drastis sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya padi. Areal yang digunakan sonor dapat berupa lahan komunal Mesuji atau lahan milik negara Air Sugihan Sandrawati, 2004. Sonor mendapat perhatian karena menjadi salah satu penyebab kebakaran di Sumatera Selatan Wijaya, 2016. Tahapan pengelolaan sonor diawali dengan persiapan lahan yaitu pembuatan parit yang berfungsi sebagai sekat bakar dan digunakan untu transportasi dengan menggunakan getek. Dimensi parit lebih kurang lebar 4 meter dan kedalaman 2 meter. Setelah kering rumput dibakar dan bila akan diulang apabila pembakaran kedua tidak berhasil membersihkan lahan. Setelah lahan siap benih ditanam dengan ditebar langsung atau ditugal, tergantung dari kebiasaan setempat. Penanaman dengan cara ditugal lebih baik karena akan mempunyai perakaran yang lebih kuat, sehingga tidak tumbang bila permukaan air naik. Jenis yang ditanam adalah jenis lokal yang akan dipanen setelah berumur 6 bulan. Dibandingkan dengan padi sawah, produktivitas sonor jauh lebih kecil. Produktivitas Sonor hanya mencapai 2,1 tonHa. S TRATEGI DAN R ENCANA A KSI K EANEKARAGAMAN H AYATI P ROVINSI S UMATERA S ELATAN | 22 3 K ECENDERUNGAN P ERUBAHAN H ABITAT 2000- 2015

3.1 Ekosistem Hutan

Secara geografis, Provinsi Sumatera Selatan termasuk di dalam lanskap dataran Sunda Sunda land. Wilayahnya terbentang dari wilayah pantai hingga pegunungan yang mencapai ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Laumonier 1996 membagi ekosistem hutan menjadi formasi hutan rawa dataran rendah pada ketinggian di bawah 15 m lowland swamp areas, formasi hutan di lahan kering dataran rendah di bawah 150 m drained soil at low elevation 150 m, formasi hutan pegunungan pada ketinggian 450 – 800 m pada tanah non karst medium altitude non karst, formasi hutan pegunungan bawah sub montane pada ketinggian 800 – 1.400 m, formasi hutan pegunungan montane forest pada ketinggian 1.400 – 1.900 m, hutan pegunungan atas 1.900 – 2.500 m dan Sub alpine 2.500 m dpl. Berbeda dengan Lamonier 1996, Whitmore Whitten, et al., 2000 membagi ekosistem hutan menjadi formasi hutan yang lebih sederhana. Berdasarkan klasifikasi tipe hutan menurut Whitmore, formasi hutan dapat dibedakan menjadi hutan dataran rendah 0-1.200 mdpl, hutan pegunungan bawah 1.200 - 2.500 mdpl, hutan pegunungan atas 2.500- 3.000 mdpl dan Sub Alpine 3.000 m dpl. Hutan dataran rendah dapat dibedakan menjadi hutan mangrove, hutan rawa dan hutan lahan kering. Sedangkan hutan pegunungan dan sub alpin semuanya merupakan hutan lahan kering. Hutan dataran rendah paling dominan, diikuti dengan hutan pegunungan bawah, pegunungan atas dan sub alpine. Hutan alam di Provinsi Sumatera Selatan telah sejak lama berubah menjadi penutupan lahan lain, karena tekanan aktivitas manusia. Analisis perubahan penutupan lahan dilakukan berdasarkan data nasional yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan dan Kehutanan pada periode 2000 – 2015 Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 9: Penutupan lahan 2000 sd 2015. Pada tahun 2015, dari total wilayah 9 juta hektar, hanya 0,8 juta hektar yang masih berupa hutan dan selebihnya adalah penggunaan lahan yang dikelola oleh manusia Man-made-dominated landscape. Dibandingkan dengan areal hutan pada tahun 2000, selama kurun waktu tersebut telah dikonversi hutan alam seluas 337 ribu hektar.

3.1.1 Hutan dataran rendah

Hutan dataran rendah hutan lahan kering, hutan rawa, dan hutan mangrove merupakan tipe ekosistem hutan yang paling dominan di Provinsi Sumatera Selatan yang dan paling banyak mendapat tekanan dari aktivitas manusia karena relatif akses lebih mudah, baik melaui jalur sungai ataupun darat sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-7 provinsi ini S TRATEGI DAN R ENCANA A KSI K EANEKARAGAMAN H AYATI P ROVINSI S UMATERA S ELATAN | 23 menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Hindu Sriwijaya yang kemudian ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 Schnitger, 1964. Semenjak masa kerajaan itu, provinsi ini telah terkenal sebagai pusat perdagangan rempah dan getah perca gutta percha. Introduksi karet dan kopi pada abad ke-19 di perkebunan negara, yang kemudian diadopsi oleh peladang berpindah juga telah merubah struktur lanskap Sumatera Selatan. Akses ke pedalaman semakin baik ketika pada awal abad ke-20, ditemukan sumberdaya tambang batubara, timah, dan minyak. Perusahaan tambang batubara di Muara Enim Bukit asam dan Migas di Pendopo dan Talang Akar telah beroperasi semenjak jaman kolonial Belanda VOC, yang dilanjutkan oleh Jepang hingga pada masa kemerdekaan pada tahun 1945. Pada tahun 1970 ketika awal implementasi PMDN dan PMA, beberapa konsesi hutan telah beroperasi. Pada awal 1990, hutan dataran rendah juga mulai dikonversi menjadi hutan tanaman. Menurut data yang dipublikasi oleh Badan Planologi Kehutanan, hutan dataran rendah pada tahun 2000 hanya 11.25 dari wilayah Provinsi Sumatera Selatan atau sebesar 0,99 juta Ha. Jumlah ini terus menurun hingga mencapai 7,5 atau 0,65 juta hektar. Laju kehilangan hutan dataran rendah berkisar 22,500 hektar per tahun. Selain jumlahnya menyusut, hutan dataran rendah juga terfragmentasi menjadi beberapa kelompok hutan. Bila dicermati lebih dalam, hutan lahan kering telah mengalami penurunan yang konsisten sejak 2000, hutan rawa sejak 2009 sedangkan hutan bakau relatif tetap, namun dengan kualitas yang lebih rendah mangrove sekunder. Berbeda dengan hutan alam, sejak tahun 2000, hutan tanaman terus mengalami kenaikan Gambar 3.1. Gambar 3.1 Kecenderungan perubahan luas hutan dataran rendah di Provinsi Sumatera Selatan Pada periode 2000 – 2015, hutan lahan kering banyak berubah menjadi lahan pertanian bercampur semak, semak belukar, dan lahan terbuka Gambar 3.2. Bentuk lahan pertanian