1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial di Indonesia yang sangat penting dan perlu dicari jalan keluarnya. Hal ini disebabkan,
karena kemiskinan merupakan “pintu masuk” bagi permasalahan sosial yang lain seperti anak jalanan, pekerja anak, anak telantar, kekurangan gizi,
rendahnya tingkat pendidikan dan sumber daya manusia, kriminalitas dan sebagainya. Berdasarkan data UNICEF United Nations Children Funds dan
UNDP United Nations Development Pr ograms pada Juli 1999, hampir 24 persen dari seluruh penduduk Indonesia atau lebih dari 50 juta orang hidup di
bawah garis kemiskinan. Separuh lebih dari anak Indonesia kekurangan gizi dan ratusan anak meninggal karena kekurangan gizi berat marasmus
kwashiokor. Data tersebut juga menunjukkan bahwa 60 persen dari ibu hamil dan anak sekolah kekurangan zat besi atau anemia, 15 persen dari
yang lahir memiliki berat badan yang sangat rendah. Di samping itu, 6,5 juta anak diperkirakan tidak masuk sekolah dan menjadi pekerja anak, anak
jalanan, dan terjerumus dalam dunia prostitusi. Di antara yang sekolah, hanya separuh dari mereka yang masuk hingga kelas enam dan kurang dari
50 persen dari yang lulus akan meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama SMP. Berdasa rkan kenyataan ini, Indonesia berpotensi mengalami
deprivasi kualitas sumber daya manusia dan the lost generation Hikmat, 2001:134.
Pada kurun waktu 1976-1996 angka kemiskinan pernah turun dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen. Namun demikian pada tahun 1996-1998
jumlah penduduk miskin meningkat dari 22,5 juta jiwa 11,3 persen menjadi 49,5 juta jiwa 24,29 persen akibat terjadinya krisis moneter pada tahun
1997. ILO International Labour Organization memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesi a pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta
jiwa atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk Suharto et al, 2003:1. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS Badan Pusat
Statistik pada tahun 2002 menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,66 juta jiwa 43 persen termasuk dalam kategori fakir
2
miskin Suharto, 2005:86. Dampak dari kemiskinan terlihat di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hingga bulan Oktober
2005 sebanyak 94 anak dilaporkan meninggal karena gizi buruk dan saat ini ada sekitar 9.829 anak dalam status gizi buruk yang memerlukan bantuan
Kompas, 17 Desember 2005. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, dan masalah
utama yang ada di pedesaan adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Adapun gambaran nyata dari kemiskinan dan keterbelakangan di pedesaan
adalah 1 pendapatan mayoritas penduduk yang rendah, 2 adanya kesenjangan antara yang kaya dan miskin, 3 kurangnya partisipasi
masyarakat dalam usaha pembangunan Ismawan dan Kartjono yang dikutip oleh Mubyarto, 1985:26 Berdasarkan Praktek Lapangan I yang diadakan
pada bulan Nopember 2004, kondisi-kondisi tersebut juga ada di Desa Wonokromo. Sebagian besar warganya yang memiliki pendidikan rendah
SLTP ke bawah bekerja sebagai buruh lajon di kota Yogyakarta dengan pendapatan yang rendah dan tidak pasti, dan disisi lain ada sebagian kecil
penduduk yang memiliki usaha yang cukup berhasil atau lahan pertanian yang luas. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, terutama mereka
yang berpendidikan rendah masih sangat kurang. Permasalahan lain yang ada di Desa Wonokromo adalah pengangguran. Berdasarkan data desa
tahun 2004, sekitar 28 persen dari 6742 orang penduduk usia kerja, belum terserap dalam lapangan ker ja. Disamping itu, kemiskinan dialami oleh 908
Kepala Keluarga lebih dari 20 persen dari 3895 Kepala Keluarga yang ada. Selama ini Pemerintah telah berusaha mengatasi kemiskinan melalui
berbagai program. Beberapa program pemerintah antara lain adalah KUT Kredit Usaha Tani, IDT Inpres Desa Tertinggal, KUBE Kelompok Usaha
Bersama, dan sebagainya. Namun demikian program-program tersebut belum sepenuhnya berhasil mengatasi kemiskinan bahkan disinyalir telah
menciptakan ketergantungan pada bantuan pe merintah Suharto et al, 2003:53. Sejumlah informasi mengatakan bahwa program-program
penanggulangan kemiskinan tersebut kurang dapat menimbulkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat miskin sebagai objek dari progam-
3
program tersebut. Akibatnya, program-program tersebut tidak sustainable atau berkelanjutan.
Pada awal tahun 2000, pemerintah melalui Departemen Kimpraswil melaksanakan program P2KP Proyek Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan. Program P2KP pada intinya bertujuan menanggulangi kemiskinan seperti halnya dengan beberapa program tersebut di atas.
Namun demikian, nilai lebih dari program P2KP dibandingkan dengan program-program terdahulu adalah menggunakan pendekatan partisipasi,
yang dalam hal ini adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengelola kegiatan P2KP. Kegiatan tersebut meliputi rembug kesiapan warga, Focused
Group Discussion FGD refleksi kemiskinan, pemetaan swadaya, pembuatan Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan
Kemiskinan PJM Pronangkis, pengelolaan dana BLM Bantuan Langsung Masyarakat, pembentukan KSM Kelompok Swadaya Masyarakat dan
pembentukan BKM Badan Keswadayaan Masyarakat. Nilai lebih lain dari program P2KP adalah menggunakan pendekatan
pemberdayaan. Yang dimaksud dengan pendekatan pemberdayaan adalah strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan
masyarakat Sumarjo dan Saharudin, 2005:1. Arah dan tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan adalah membuat masyarakat mandiri dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri. Pendekatan pemberdayaan dalam P2KP nampak dalam pembentukan BKM Badan Keswadayaan Masyarakat
dan KSM Kelompok Swadaya Masyarakat. Baik BKM maupun KSM dibentuk oleh masyarakat dan dari masyarakat. BKM merupakan suatu
lembaga yang dibentuk untuk mengelola BLM Bantuan Langsung Masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat. Para pengurus BKM merupakan representasi dari seluruh masyarakat dan ditunjuk oleh masyarakat secara demokratis, partisipatif,
transparan dan akuntabel. BKM ber tanggung jawab atas pelaksanaan keberlanjutan P2KP di tingkat masyarakat, baik dari sisi kelembagaan,
kegiatan, maupun dana tanpa nama, 2002:36. KSM Kelompok Swadaya Masyarakat merupakan kelompok yang
beranggotakan orang-orang yang bersifat sukarela yang memiliki ikatan
4
sosial yang dibangun karena memiliki kesamaan dalam hal tujuan ekonomi, domisili, tujuan sosial, dan tujuan pembelajaran tanpa nama, 2002:54.
Berdasarkan laporan kegiatan P2KP Desa Wonokromo tahun 2004, jumlah KSM yang ada di Desa Wono kromo pada tahun 2000 ada 28 KSM ekonomi
dan tujuh KSM fisik, tahun 2002 ada 31 KSM ekonomi dan satu KSM pelatihan, tahun 2002 ada 29 KSM ekonomi, tahun 2003 ada 36 KSM
Ekonomi dan pada tahun 2004 ada 21 KSM Ekonomi data dari bulan Januari sampai dengan Juni 2004. KSM ekonomi terdiri dari para anggota yang
bergerak di bidang usaha ekonomi produktif seperti sektor perdagangan, usaha skala mikro dan kecil, serta mereka yang memiliki industri skala rumah
tangga. Pembentukan KSM pada secara konseptual mempunyai tujuan yang
sangat ideal. Tujuan tersebut adalah 1 memudahkan tumbuh kembangnya ikatan-ikatan dan solidaritas sosial serta semangat kebersamaan antar
masyarakat, 2 mendorong warga masyarakat agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan, nila i-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, 3
mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien, 4 mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama
anggota, 5 terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lema h maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM, 6 mengembangkan
dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajarinteraksi antar anggota, menggerakkan
keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota dan sebagainya
tanpa nama, 2002:24. Berdasarkan Praktek Lapangan II di Desa Wonokromo, diketahui
bahwa beberapa tujuan pembentukan KSM tersebut belum dapat tercapai. Banyak anggota masyarakat yang bergabung sebagai anggota KSM hanya
didasari oleh keinginan memperoleh kredit semata. Interaksi dan ikatan solidaritas antar anggota belum terjadi seperti yang diharapkan, sehingga
proses pemberdayaan yang diharapkan seiring dengan pembentukan kelompok masih sulit untuk diwujudkan. Hal tersebut antara lain nampak dari
belum adanya pertemuan rutin kelompok, dan kalaupun ada hanya bertujuan
5
untuk mengumpulkan angsuran pinjaman. Dengan demikian, pembentukan KSM belum berfungsi secara optimal. Kegagalan di atas menunjukkan bahwa
KSM ekonomi di Desa Wonokromo memiliki sejumlah masalah dan sekaligus mempunyai sejumlah harapan. Harapannya adalah, bila KSM diberdayakan,
akan dapat meningkatkan usaha ekonomi produktif para anggotanya. Tetapi jika tidak diberdayakan, maka KSM hanya akan berfungsi sebagai sarana
untuk memperoleh pinjaman. Salah satu upaya agar KSM berfungsi secara optimal adalah dengan
mengembangkan kapasitas kelembagaan KSM. Pengembangan kapasitas kelembagaan adalah suatu proses memperbaiki kemampuan lembaga guna
mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia, serta menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku Israel,
1992:56. Pengembangan kapasitas kelembagaan KSM tersebut perlu dilakukan mengingat fungsi sebagian besar KSM di Desa Wonokromo masih
terbatas sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman melalui program P2KP. KSM yang terdiri atas beberapa anggota yang bergerak pada usaha
skala mikro dan kecil dan industri rumah tangga dan perdagangan mempunyai pote nsi untuk dikembangkan. Melalui KSM diharapkan para
anggota dapat meningkatkan usaha, mengingat lembaga tradisional yang ada seperti kelompok arisan kurang diharapkan sebagai sarana untuk
pemupukan modal dan lebih berfungsi sosial dari pada ekonomi. Bila usaha ekonomi produktif mereka dapat ditingkatkan, akan dapat menyerap tenaga
kerja di Desa Wonokromo. Hal ini disebabkan, bila suatu usaha mengalami peningkatan maka akan memerlukan lebih banyak tenaga kerja dalam
melangsungkan usaha tersebut. Usaha kecil, mikro dan industri rumah tangga serta sektor perdagangan
di Desa Wonokromo berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi kemiskinan yang ada di desa tersebut. Hal ini mengingat bahwa
Desa Wonokromo mempunyai sarana dan prasarana yang dapat mendukung sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro. Sarana dan prasarana tersebut
antara lain adalah sarana transportasi yang memadai, bank, pasar desa, puluhan kios, dan sebagainya. Disamping itu, sektor pertanian kurang dapat
diharapkan menjadi sumber nafka h utama yang disebabkan sempitnya
6
kepemilikan lahan dan rendahnya harga produk pertanian. Pengembangan sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro dapat dilakukan melalui KSM
dimana sebagian dari para pelaku di sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro tersebut bergabung.
Atas dasar pemikiran di atas, pengkaji tertarik untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kapasitas KSM yang ada Desa Wonokromo, dan
mengapa KSM belum berfungsi secara optimal.
1.2. Rumusan Masalah