56
tidak ada anak yang sudah menikah langsung tinggal terpisah dengan orang tua atau mertuanya. Oleh karena itu, dalam satu rumah bisa dihuni oleh beberapa
Kepala Keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan saling membantu sama lain.
Pola pengasuhan yang ada pada masyarakat Desa Wonokromo adalah masih menganut sistem keluarga batih. Hal ini dikarenakan sebagian besar
rumah masih dihuni oleh beberapa keluarga inti. Sehingga kakek, nenek, bibi dan paman masih berperan dalam pengasuhan anak disamping orang tua dari anak
sendiri.
4.6. Sumber Daya Lokal
Sebagaimana desa -desa yang ada di Indonesia, sebagian penduduk Desa Wonokromo 556 Kepala Keluarga menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian. Dari 556 petani, yang memiliki sawah ada 455 petani dan 39 pemilik ladang dan sisanya petani penggarappenyewa dan penyakap. Total luas
lahan pertanian yang terdiri atas sawah dan ladang adalah 272,133 hektar. Penghitungan rata rata luas penguasaan lahan per petani diperoleh angka 0,489
hektar. Luas lahan tersebut tidak mampu menanggung kebutuhan hidup petani dan keluarganya, apalagi memenuhi kebutuhan penduduk Desa Wonokromo
yang berjumlah 9.963 jiwa. Oleh karena itu banyak penduduk Desa Wonokromo 3.000 orang lebih yang pergi ke kota untuk bekerja sebagai buruh bangunan
atau pabrik. Melihat kenyataan di atas, sektor pertanian tidak dapat dikembangkan lagi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, karena
keterbatasan lahan. Meskipun lahan pertanian di Desa Wonokromo termasuk dalam kategori lahan yang subur dan sistem irigasinya sudah baik.
Kelembagaan yang mengatur hubungan masyarakat dengan pengelolaan sumber daya alam tampak dalam terjadinya stratifikasi sosial, yaitu petani pemilik
lahan, petani penggarappenyewa dan buruh tani. Kesepakatan antara petani dan petani penggarap adalah sistem maro petani penggarap memperoleh
setengah dari hasil pertanian dan pemilik lahan mendapatkan setengahnya lagi. Disamping itu juga ada yang menerapkan sistem sewa pertahun yang besarnya
sesuai dengan kesepakatan antara pemilik tanah dan penyewa lahan. Sementara hubungan petani pemilik lahan dengan buruh tani adalah dikenakan
57
dengan sistem upah. Seorang buruh tani mendapatkan upah sebesar lima belas ribu rupiah ditambah dengan makan siang.
Perlu dikemukakan juga bahwa sistem penguasaan lahan di Desa Wonokromo berdasarkan warisan atau orang tua atau membeli bila ada salah
satu anggota masyarakat yang menjual tanahnya. Hampir semua lahan di Desa Wonokromo sudah bersertifkat.
Budi daya ikan di Desa Wonokromo mempunyai potensi yang cukup bagus untuk dikembangkan, mengingat masih banyak lahan pekarangan yang
belum dimanfaatkan secara maksimal dan kemudahan memperoleh sumber air. Disamping itu, permintaan masyarakat terhadap ikan terus meningkat dan
pangsa pasarnya masih terbuka luas. Pembuatan batu bata di Dusun Ketonggo dan Dusun Jati produknya
masih berskala kecil. Mengingat kebutuhan akan batu bata yang cukup besar, karena banyaknya pembangunan perumahan di wilayah Kabupaten Bantul,
pembuatan batu bata dapat dikembangkan produksinya. Yang perlu mendapat perhatian adalah sistem pemasarannya, karena selama ini para pengrajin batu
bata masih menunggu para pedagang material dengan harga yang ditentukan oleh pedagang tersebut.
Yang menarik untuk dikaji dari sumber daya yang ada di Desa Wonokromo adalah lokasinya yang sangat strategis karena dilintasi jalan raya
Jogja Imogiri yang cukup padat lalu lintasnya. Di lokasi sekitar perempatan Wonokromo banyak berdiri toko dan kios yang menjual berbagai macam
kebutuhan, dari makanan, pakaian, elektronik hingga onderdil kendaraan bermotor. Dengan kata lain, apa saja laku dijual di lokasi ini karena banyak orang
yang datang dari penjuru kecamatan yang datang berbelanja. Sate kambing Wonokromo juga terkenal sampai ke berbagai daerah. Warung sate kambing ini
jumlahnya mencapai puluhan buah dan semuanya tidak pernah sepi pembeli. Desa Wonokromo juga sangat terkenal dengan upacara adat Rebo
Pungkasan yang diadakan setahun sekali, sehingga banyak warga dari kecamatan lain yang datang mengunjungi acara tersebut. Pada acara tersebut
diadakan pasar malam yang menjual berbagai macam dagangan. Sayangnya,
58
sebagian besar pedagang pada pasar malam tersebut justru berasal dari desadaerah lain dan hanya sedikit yang berasal dari Desa Wonokromo.
Pasar desa yang luasnya 0,4 hektar dan terletak di perempatan Wonokromo bisa menampung ratusan pedagang. Namun demikian, pasar
tersebut hanya buka tiga hari dalam lima hari menurut perhitungan Jawa, yaitu Legi, Pahing dan Wage. Sementara dua hari yang lain para pedagang pindah ke
pasar Desa Pleret yang jaraknya sekitar satu setengah kilometer. Pasar tersebut banyak didatangi pembeli baik untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual lagi
secara eceran. Kios-kios yang berdiri di pinggir pasar adalah milik Desa Wonokromo dan dijadikan sumber pemasukan desa. Bangunan-bangunan kios
tersebut masih sangat sederhana dan pemerintah desa berencana merenovasi kios-kios tersebut.
Di sepanjang jalan di sebelah Timur Balai Desa Wonokromo banyak terdapat kios-kios yang jumlahnya lebih dari 50 buah. Kios-kios tersebut
semuanya menjual onderdil sepeda motor baik baru ataupun bekas. Onderdil- onderdil tersebut berasal dari luar Kabupaten Bantul. Banyak orang berdatangan
dari luar Bantul untuk membeli onderdil sepeda motor. Kios-kios tersebut milik masyarakat Desa Wonokromo yang disewakan kepada orang dari luar Desa
Wonokromo untuk berjualan onderdil sepeda motor. Pada mulanya kios-kios tersebut hanya beberapa buah dan makin lama makin banyak jumlahnya.
Pemerintah Desa Wonokromo saat ini sedang membangun pusat perdagangan di sebelah Barat Balai Desa Wonokromo. Pembangunan tersebut diserahkan
kepada pengembang dan ditawarkan kepada masyarakat di Desa Wonokromo dan sekitarnya untuk membeli kios tersebut dengan sistem hak pakai.
4.7. Masalah Sosial