Kualitas Perairan Analisis Makanan

Gambar 11 Komposisi total ikan yang tersensus pada 6 enam stasiun selama penelitian.

5.3.1. Kondisi ikan Chaetodontidae

Selama penelitian tersensus sebanyak 115 spesies ikan Chaetodontidae yang mewakili 2 genera yakni; Chaetodon 91 jenis dan Chelmon 24 jenis. Genera-genera seperti Coradion, Heniochus dan Forsipiger tidak di temukan selama sensus visual di lakukan. Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat setiap stasiun penelitian terlihat jenis Chaetodon octofasciatus mendominasi di semua stasiun. C. octofsciatus tertinggi terdapat di stasiun satu dan terendah pada stasiun 2 dan 5. Gambar 12 Jumlah total famili Chaetodontidae yang tersensus pada tiap stasiun.

5.3.1.1. Kelimpahan spesies Chaetodontidae

Sebanyak 115 jenis ikan Chaetodontidae yang terdata secara visual di 6 lokasi penelitian, kelimpahan tertinggi terdapat di stasiun 4 0,12 dan dua 0,11. Kelimpahan ikan secara total juga menunjukkan hal yang sama, dimana pada stasiun 4 0.59 dan dua 0.58 yang merupakan stasiun dengan kelimpahan yang paling tinggi. Kelimpahan ikan Chaetodontidae tertinggi ini berkaitan dengan tutupan karang yang masih dalam kategori baik. Gambar 13 Kelimpahan total ikan dan Chaetodontidae di setiap stasiun.

5.3.1.2. Keanekaragaman,

keseragaman, dan dominansi ikan Chaetodontidae Nilai keanekaragaman dari total ikan terlihat tidak jauh berbeda, dengan nilai rerata 3.24. Nilai keanekaragaman tertinggi pada stasiun 2 dan 4, yakni sebesar 3.37 sedangkan nilai keanekaragaman terendah pada stasiun 3 yaitu 3.00. Tidak jauh berbeda dengan total ikan, untuk keanekaragaman famili Chaetodontidae tertinggi terdapat pada stasiun 2 1.38 dan 4 1.38. Namun untuk stasiun satu, keanekaragaman famili Chaetodontidae merupakan yang terendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Gambar 14 Keanekaragaman total ikan dan Chaetodontidae pada masing-masing stasiun penelitian. Gambar 15 Keseragamam total ikan dan Chaetodontidae pada masing-masing stasiun penelitian. Kondisi yang sama juga ditunjukkan pada indeks keseragaman, dimana stasiun satu merupakan stasiun dengan tingkat keseragaman yang paling rendah 0.41 dan cenderung didominasi oleh satu spesies. Namun hal ini tidak berlaku untuk kelompok ikan target dan mayor yang relatif sama setiap stasiun atau tidak ada spesies yang mendominansi. Indeks dominansi Gambar 16 menunjukkan tidak ada dominan yang berarti untuk total ikan pada setiap stasiun penelitian. Namun hal yang berbeda ditunjukkan pada ikan famili Chaetodontidae, dimana stasiun satu mempunyai nilai dominan yang sangat tinggi yakni sebesar 0.85 dan didominasi oleh spesies Chaetodon octofasciatus. Gambar 16 Dominansi total ikan dan Ikan Chaetodon pada masing-masing stasiun penelitian.

5.3.2. Hubungan antara persentase tutupan karang hidup dengan jumlah ikan Chaetodontidae

Untuk melihat hubungan antara persentase penutupan karang hidup dengan kelimpahan famili Chaetodontidae digunakan analisis regresi Bouchon 1989, Bell Galzin 1984, Madduppa 2006. Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah ikan famili Chaetodontidae terhadap persentase tutupan karang hidup, dengan koefisien determinasi R 2 sebesar 0.802. Sehingga dapat dikatakan semakin besar persentase tutupan karang hidup, semakin tinggi jumlah Chaetodontidae yang berasosiasi dengan karang hidup, atau setiap penambahan tutupan karang hidup sebesar 80.2 persen akan mempengaruhi jumlah ikan Chaetodontidae sebesar -30.46 persen. Gambar 17 Hubungan regresi antara total ikan Chaetodontidae dengan tutupan karang hidup. Jika masing-masing spesies dianalisis atau diregresikan untuk melihat seberapa besar spesies-spesies tersebut berkorelasi dengan tutupan karang hidup atau spesies-spesies mana yang mempunyai korelasi yang paling kuat. Hal ini memungkinkan spesies tersebut dapat digunakan sebagai indikator yang paling baik untuk menilai kondisi terumbu karang tersebut karena keterkaitan yang sangat kuat. Hasil analisis regresi untuk spesies Chaetodon octofasciatus berkorelasi positif dengan tutupan karang Acropora dengan nilai determinan R 2 sebesar 73.9 yang menunjukkan hubungan yang erat antara spesies ini dengan tutupan karang Genus Acropora. Sama halnya dengan C. octofasciatus, spesies C. collare juga mempunyai hubungan yang erat dengan tutupan karang hidup dengan nilai determinan R 2 sebesar 93.2. Spesies C. collare juga mempunyai nilai korelasi yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya. Gambar 18 Hubungan regresi Chaetodon octofasciatus dengan tutupan karang hidup. Gambar 19 Hubungan regresi antara ikan Chaetodon collare dengan tutupan karang hidup. Tidak jauh berbeda dengan spesies lainnya, spesies C. trifascialis juga menunjukkan hal yang sama. Tiga jenis Chaetodon tersebut berkorelasi positif dengan persentase tutupan karang hidup di masing-masing lokasi penelitian, dengan masing-masing koefisien determinan R 2 93.2 , 84.1 dan 89.4 . Yang artinya setiap terjadi penambahan tutupan karang hidup, maka akan mempengaruhi jumlah ikan famili Chaetodontidae tersebut Chaetodon collare, Chelmon rostratus dan Chaetodon trifascialis. Gambar 20 Hubungan regresi antara Chaetodon trifascialis dengan tutupan karang hidup. Gambar 21 Hubungan regresi Chelmon rostratus dengan tutupan karang hidup.

5.4. Analisis Makanan

Unutuk mengetahui keeratan hubungan antara ikan Chaetodontidae dengan karang hidup, salah satu analisis yang biasa dilakukan ialah melihat jenis makanan yang dikonsumsi ikan Chaetodontidae tersebut. Keeratan hubungan antara ikan Chaetodontidae dengan terumbu karang juga dapat dilihat dari analisis makanan dan ikan famili Chaetodontidae merupakan pemakan polip karang Reese 1981. Pada Tabel 9 terlihat jenis makanan dari ikan Chaetodontidae beragam dan ada tiga jenis makanan yang dominan pada ikan Chaetodontidae seperti; Detritus, Zooxanthellae dan Plankton. Bila dilihat dari jenis makanan yang dimakan oleh ikan Chaetodontidae, C. octofasciatus, C. collare dan Chelmon rostratus lebih banyak mempunyai pilihan makanan dibandingkan dengan spesies Chaetodon trifascialis. Hal ini terlihat dari jenis makanan yang ditemukan dalam isi lambung dari masing-masing ikan Chaetodontidae tersebut. Kondisi seperti ini menunjukan kalau spesies trifascialis lebih sensitif terhadap perubahan tutupan terumbu karang, yang dikarenakan jenis makanan yang di konsumsi lebih sedikit dibandingkan dengan tiga spesies lainnya atau lebih menyukai tipe makanan Zooxanthela. Chaetodon collare dan Chelmon rostratus merupakan spesies omnivora, dimana pilihan makanan jelas lebih banyak dan tidak tergantung pada satu jenis makanan tertentu saja walaupun secara umum famili ikan ini lebih menyukai jenis makanan polip karang. Table 7 “Indekx of Preponderance” makanan ikan Spesies Jenis Makanan Index of Preponderance Chaetodon octofasciatus Detritus 30.27 Zooxanthellae 66.32 Plankton  Bacillarophyceae  Cyanophyceae 1.14 0.33 Bag. Tanaman 0.05 Bag. Hewan 1.61 Algae 0.14 Malacosraca 0.14 Chaetodon collare Detritus 12.53 Zooxanthellae 64.07 Plankton  Bacillarophyceae  Cyanophyceae 17.19 2.48 Bag. Tanaman 1.83 Bag. Hewan 0.98 Algae 0.91 Chaetodon trifascialis Detritus 19.98 Zooxanthellae 79.97 Plankton  Bacillarophyceae 0.05 Chelmon rostratus Detritus 56.26 Zooxanthellae 19.50 Plankton  Bacillariophyceae  Cyanophyceae 22.12 0.23 Bag. Tanaman 1.83 Algae 0.06

5.5. Persepsi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Terumbu Karang

Persepsi masyarakat Sidodadi dan Pulau Tegal terhadap sumberdaya sangat beragam, namun sebagian besar mengatakan kondisi sumberdaya terumbu karang masih dalam kondisi baik 67 dan sebagian besar 90 dari mereka yang tidak setuju dengan kegiatan-kegitan yang sifatnya merusak dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut Gambar 26, 29 dan 30. Bila dilihat dari sisi nilai ekonomi sumberdaya tersebut, hasil survey menunjukan bahwa seluruh masyarakat responden mengetahui manfaat ekonomi. Sekitar 43 menjawab sebagai lokasi menangkap ikan, 37 sebagai lokasi wisata dan 20 sebagai lokasi budidaya Gambar 28. Pengetahuan yang beragam ini didasarkan pada bentuk-bentuk aktifitasyang memang sudah ada dilokasi penelitian yang masih memberikan hasil, walaupun dari jumlah telah jauh berkurang. Dari sisi ekologi, sekitar 67 Gambar 27 masyarakat menjawab sebagai tempat hidup ikan, bertelur dan mencari makan dan 33 menjawab sebagai perlindungan pantai. Hasil wawancara mengenai pengetahuan akan sikap terhadap alat tangkap dan bahan yang merusak sumberdaya, mereka mempunyai kesadaran untuk menjaga dan memelihara. Hampir seluruh 90 responden menjawab tidak setuju dengan aktifitas-aktifitas yang merusak tersebut dan mereka mengetahui akan adanya larangan terhadap aktifitas-aktifitas tersebut. Keinginan masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya sebagai lokasi wisata bahari sangat tinggi, yakni sekitar 87 setuju Gambar 31.

6. PEMBAHASAN

6.1. Kondisi Kualitas Perairan

Kondisi fisik perairan yang baik sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Untuk pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang memerlukan suhu sekitar 25 C – 30 C, karang tidak dapat tumbuh dan berkembang pada perairan yang suhu tahunan minimumnya berada di bawah 18 C namun terumbu karang dapat mentolerir suhu pada kisaran 36 C – 40 C. Menurut Nybakken 1992, salinitas merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran dari terumbu karang, karang dapat hidup dengan baik pada kisaran salinitas 32 00 namun terumbu karang masih dapat mentoleransi salinitas hingga 42 00 . Keadaan suhu di perairan Sidodadi dan Pulau Tegal masih tergolong dalam kondisi yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Salinitas yang terukur selama penelitian berkisar pada 30 00 , hal ini masih dalam kisaran normal faktor pembatas penyebaran terumbu karang. Kecerahan merupakan jarak pandang yang dapat ditembus oleh cahaya ke dalam kolom air, jarak tembus cahaya masuk ke perairan sangat ditentukan oleh intensitasnya. Namun, intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Dengan kata lain, cahaya yang mengalami penghilangan extinction dan pengurangan attenuation semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Selain itu intensitas cahaya masuk ke perairan bervariasi menurut sudut datang cahaya dan musim Effendi, 1997. Tingkat kecerahan perairan pada lokasi penelitian 100 artinya cahaya mampu menebus sampai pada kedalaman 5 meter, hal ini sangat membantu proses fotosintesis algae simbiotik zooxanthellae. Kecepatan arus sangat membantu terumbu karang dalam memperoleh makanan berupa plankton-plankton yang ada di dalam kolom air. Selain membantu polip dalam mengambil makanan, arus juga berfungsi membantu dalam substrat yang menempel pada koloni karang. Stasiun 5 lima merupakan stasiun yang memiliki kecepatan arus yang sangat kecil atau lambat. Dikarenakan stasiun 5 merupakan daerah Teluk dan biasa digunakan oleh nelayan-nelayan untuk mendaratkan kapal atau untuk berlindung dari ombak. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan 2, dimana pada daerah ini mewakili kawasan yang sedikit terbuka.

6.2. Kondisi Terumbu Karang

Secara umum, rerata persentase tutupan karang hidup di Perairan Sidodadi dan Pulau Tegal adalah 59.57 yang artinya kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian masih dalam kategori baik berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang oleh Kementerian Lingkungaan Hidup 2001. Pada stasiun 2 dan 4 terlihat tutupan terumbu karang hidup lebih tinggi dibandingkan dengan 4 stasiun yang lainnya, ini berkaitan erat dengan bentuk pemanfaatan dari sumberdaya terumbu karang untuk keramba jaring apung KJA yang dilakukan oleh beberapa pengusaha, baik dari daerah Lampung maupun dari luar Provinsi Lampung. Sehingga terumbu karang yang ada di daerah tersebut dapat dijaga. Namun bukan berarti kegiatan yang merusak terus dibiarkan tanpa harus dicegah, karena kegiatan seperti itu sangat mempercepat kerusakan terumbu karang. Dilihat dari kategori bentuk pertumbuhan karang penyusun habitat dasarnya, stasiun 1 didominasi oleh Acropora. Tingginya pertumbuhan Acropora di stasiun 1 dikarenakan kecepatan tumbuh karang ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan karang Massive. Secara umum karang dari marga Acropora mempunyai kecepatan tumbuh lebih besar jika dibandingkan dengan karang Massive seperti Favites dan Goniastrea. Perbedaan kecepatan tumbuh karang bercabang dan karang massif diduga karena adanya perbedaan dalam besarnya rasio antara kerangka dan jaringan karang Suharsono 1984. Jumlah jaringan karang Acropora adalah 2 dari berat total sedangkan Goniastrea hanya 0.5. Selain itu kecepatan metabolisme karang Massive seperti Goniastrea ternyata juga lebih rendah Drew 1973 in Suharsono 1984. Kecepatan kalsifikasi yang tinggi ditemukan pada ujung cabang atau “ramose”. Pada karang bercabang atau “ramose” kecepatan kalsifikasi cenderung berkurang secara sistematis dari titik paling ujung ke arah pangkal. Di bagian tengah relatif lambat dan yang terendah terdapat di bagian pangkal Goreau 1982 in Suharsono 1984. Hal ini sangat sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Mortalitas dapat disebabkan oleh beberapa aktivitas, baik alam maupun kegiatan manusia yang merusak antrophogenic, proses alam seperti sedimentasi dan bleaching. Proses sedimentasi ini dimulai ketika partikel sedimen yang menutupi permukaan karang tidak seimbang dengan kemampuan karang dalam memindahkan sedimen. Respon karang terhadap sedimen melalui mekanisme polip mengembang oleh masuknya air, pergerakan partikel dan cilia produksi mucus yang berlebihan Schuhmacher 1977; Stafford-Smith 1992; Riegl et al., 1996. Adanya partikel tersuspensi pada permukaan karang menyebabkan abrasi pada permukaan akibat hilangnnya mucus dan mati lemas. Akibat lainnya dapat menurunkan densitas zooxanthelae pada polip karang dan berkurang sel-sel mucus pada jaring epithelia karang Riegl et al., 1996; Putranto 1997 in Hamdani 2006. Kekeruhan sedimentasi juga dapat mengurangi laju fotosintesis dan mengakibatkan bleaching karena hilangnnya zooxanthelae Rogers 1979 in Hamdani 2006. Tingginya tingkat mortalitas pada stasiun 1 diduga karena lokasi tersebut tidak adanya suatu bentuk pengawasan oleh masyarakat sekitar terhadap terumbu karang, sehingga dengan mudah kegiatan-kegiatan perikanan yang merusak berlangsung. Sedangkan pada stasiun 5, tingginya mortalitas ini disebabkan karena lokasi ini merupakan daerah teluk yang mempunyai arus relatif lebih tenang sehingga kapal-kapal nelayan sering berlindung di daerah tersebut. Jangkar-jangkar dari kapal yang dibuang ke laut tersebut menyebabkan karang menjadi patah dan hancur oleh jangkar tersebut. Untuk stasiun 6, karena merupakan daerah atau lokasi untuk pengambilan batu karang oleh masyarakat Sidodadi dan Pulau Tegal juga masyarakat di luar dari lokasi penelitian. Lokasi- lokasi yang tidak ada pengawasannya stasiun 1, 5 dan 6 lebih tinggi peluang terjadinya kegiatan-kegiatan perikanan yang merusak dibandingkan dengan yang ada pengawasan. Berbeda dengan stasiun 2 dan 4 yang digunakan sebagai lokasi Keramba Jaring Apung KJA, maka kegiatan-kegiatan yang merusak tersebut dapat ditekan dengan adanya pengawasan secara tidak langsung tersebut. Walaupun stasiun 2 dan 4 dimanfaatkan potensinya sebagai kawasan keramba jaring apung KJA, namun bukan berarti lokasi tersebut tidak menimbulkan masalah. Limbah yang berasal dari pakan tersebut akan menyebabkan pengkayaan nutrient di perairan. Menurut Walker dan Ormond 1982 in Poanganan 2008 tingginya nutrien yang masuk ke dalam ekosisitem terumbu karang dapat merangsang pertumbuhan makroalga dengan cepat dan mampu mengganti komunitas karang dengan makroalga. Selanjutnya Silver dan Sowles, 1996 in Ali 2003 akibat yang ditimbulkan dari pengkayaan ini adalah pertumbuhan yang cepat blooming dari alga dan kondisi oksigen menjadi rendah. Peningkatan jumlah alga tersebut menyebabkan terjadinya persaingan, pergantian komposisi organisme dari hewan karang ke makroalga. Stasiun 1 merupakan stasiun dengan tingkat penutupan karang hidup yang paling rendah sebesar 46.24 dengan tingkat mortalitas sebesar 0,49. Dari hasil pengamatan di lapangan, stasiun 1 merupakan lokasi yang paling sering dijadikan pengeboman oleh nelayan sekitar beberapa puluh tahun yang lalu. Aktivitas pengeboman ini telah menyebabkan degradasi pada terumbu karang di perairan ini, khususnya pada stasiun 1. Selain dari hasil pengamatan, persentase patahan karang Rubbel sebesar 5.82 dan pengukuran persentase tutupan karang hidup juga sangat rendah dan hanya didominasi oleh beberapa jenis karang saja seperti Coral Foliose CF, Coral Massive CM, Acropora Branching ACB. Penurunan penutupan karang hidup secara langsung mengurangi dan menghilangkan ketersediaan sumber pakan utama sehingga akan memberikan tekanan terhadap populasi ikan pemakan karang. Secara umum persentase tutupan karang hidup adalah sebesar 59,57 , yang didominasi oleh tutupan jenis karang batu hard coral. Sedangkan stasiun 2 dan 4 merupakan stasiun dengan tingkat penutupan karang hidup yang lebih tinggi 67.28 dan 67.14 dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya, ini dikarenakan pada stasiun tersebut dimanfaatkan sebagai daerah budidaya laut khususnya ikan kerapu. Pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang budidaya ikan kerapu yang dilakukan tersebut memberikan suatu dampak positif bagi terumbu karang, yaitu dampak pangawasan secara langsung bagi terumbu karang dan juga merupakan suatu tekanan bagi para nelayan pembom yang merusak ekosistem terumbu karang. Dengan adanya pengawasan tersebut, terumbu karang mempunyai peluang untuk melakukan recovery secara alami dan ketersedian makanan bagi ikan-ikan karang kelompok Target, Mayor dan Indikator tetap terjaga. Menurut Nybakken 1992 keragaman karang dapat mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan-ikan karang. Dilihat dari kategori bentuk pertumbuhan karang penyusun habitat dasarnya, maka secara umum penyusun habitat dasar disusun oleh karang keras Non-Acropora yang memiliki persentase penutupan lebih tinggi. Tutupan karang keras Non-Acropora didominasi oleh life foam Coral massive CM, Coral foliose CF dan Coral mushroom CM.

6.3. Komposisi Ikan

Jenis-jenis ikan mayor utamanya atau jenis ikan yang sering dijumpai di sekitar ekosistem terumbu karang seperti; Pomacentridae, Pomachantidae, Caesio, Scaridae, Labridae, Apongongidae dan Zanclidae. Ikan mayor merupakan Genera yang mendominasi di semua stasiun dibandingkan dengan target dan indikator. Hal ini dikarenakan ikan ini sering dijumpai dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan ikan jenis lainnya, selain itu ikan ini juga lebih banyak pilihan makanannya dibandingkan dengan ikan indikator yang sangat tergantung dengan tutupan karang hidup di perairan. Menurut Hiatt Strasburg 1960 in Hukom dan Bawole 1997, ikan-ikan ini termasuk dalam kelompok omnivora yang memakan krustacea, pelecipoda, detritus dan alga. Karena termasuk dalam kelompok omnivora, berarti bahwa pilihan makanan sangat banyak sehingga tidak tergantung pada 1 jenis makanan saja. Faktor inilah yang menyebabkan jumlah kelompok ikan mayor lebih berlimpah dibandingkan dengan kelompok ikan target dan indikator. Berbeda halnya dengan famili Chaetodontidae yang sangat tergantung pada makanan, dimana jenis makanannya merupakan polip karang dan polip karang sangat ditentukan oleh karang hidup. Sehingga kelimpahan dan distribusi ikan Chaetodontidae sangat tergantung pada tutupan karang hidup di perairan tersebut. Menurut Reese 1981 sekitar 50 ikan famili Chaetodontidae merupakan pemakan polip karang. Adrim et al., 1991 mengatakan ikan Chaetodontidae sangat sensitif terhadap perubahan dan kerusakan terumbu karang. Selanjutnya Reese 1981 famili Chaetodontidae merupakan spesies indikator dan keberadaannya dapat dipakai untuk menduga kondisi terumbu