Hubungan antara persentase tutupan karang hidup dengan jumlah ikan Chaetodontidae

6. PEMBAHASAN

6.1. Kondisi Kualitas Perairan

Kondisi fisik perairan yang baik sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Untuk pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang memerlukan suhu sekitar 25 C – 30 C, karang tidak dapat tumbuh dan berkembang pada perairan yang suhu tahunan minimumnya berada di bawah 18 C namun terumbu karang dapat mentolerir suhu pada kisaran 36 C – 40 C. Menurut Nybakken 1992, salinitas merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran dari terumbu karang, karang dapat hidup dengan baik pada kisaran salinitas 32 00 namun terumbu karang masih dapat mentoleransi salinitas hingga 42 00 . Keadaan suhu di perairan Sidodadi dan Pulau Tegal masih tergolong dalam kondisi yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Salinitas yang terukur selama penelitian berkisar pada 30 00 , hal ini masih dalam kisaran normal faktor pembatas penyebaran terumbu karang. Kecerahan merupakan jarak pandang yang dapat ditembus oleh cahaya ke dalam kolom air, jarak tembus cahaya masuk ke perairan sangat ditentukan oleh intensitasnya. Namun, intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Dengan kata lain, cahaya yang mengalami penghilangan extinction dan pengurangan attenuation semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Selain itu intensitas cahaya masuk ke perairan bervariasi menurut sudut datang cahaya dan musim Effendi, 1997. Tingkat kecerahan perairan pada lokasi penelitian 100 artinya cahaya mampu menebus sampai pada kedalaman 5 meter, hal ini sangat membantu proses fotosintesis algae simbiotik zooxanthellae. Kecepatan arus sangat membantu terumbu karang dalam memperoleh makanan berupa plankton-plankton yang ada di dalam kolom air. Selain membantu polip dalam mengambil makanan, arus juga berfungsi membantu dalam substrat yang menempel pada koloni karang. Stasiun 5 lima merupakan stasiun yang memiliki kecepatan arus yang sangat kecil atau lambat. Dikarenakan stasiun 5 merupakan daerah Teluk dan biasa digunakan oleh nelayan-nelayan untuk mendaratkan kapal atau untuk berlindung dari ombak. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan 2, dimana pada daerah ini mewakili kawasan yang sedikit terbuka.

6.2. Kondisi Terumbu Karang

Secara umum, rerata persentase tutupan karang hidup di Perairan Sidodadi dan Pulau Tegal adalah 59.57 yang artinya kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian masih dalam kategori baik berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang oleh Kementerian Lingkungaan Hidup 2001. Pada stasiun 2 dan 4 terlihat tutupan terumbu karang hidup lebih tinggi dibandingkan dengan 4 stasiun yang lainnya, ini berkaitan erat dengan bentuk pemanfaatan dari sumberdaya terumbu karang untuk keramba jaring apung KJA yang dilakukan oleh beberapa pengusaha, baik dari daerah Lampung maupun dari luar Provinsi Lampung. Sehingga terumbu karang yang ada di daerah tersebut dapat dijaga. Namun bukan berarti kegiatan yang merusak terus dibiarkan tanpa harus dicegah, karena kegiatan seperti itu sangat mempercepat kerusakan terumbu karang. Dilihat dari kategori bentuk pertumbuhan karang penyusun habitat dasarnya, stasiun 1 didominasi oleh Acropora. Tingginya pertumbuhan Acropora di stasiun 1 dikarenakan kecepatan tumbuh karang ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan karang Massive. Secara umum karang dari marga Acropora mempunyai kecepatan tumbuh lebih besar jika dibandingkan dengan karang Massive seperti Favites dan Goniastrea. Perbedaan kecepatan tumbuh karang bercabang dan karang massif diduga karena adanya perbedaan dalam besarnya rasio antara kerangka dan jaringan karang Suharsono 1984. Jumlah jaringan karang Acropora adalah 2 dari berat total sedangkan Goniastrea hanya 0.5. Selain itu kecepatan metabolisme karang Massive seperti Goniastrea ternyata juga lebih rendah Drew 1973 in Suharsono 1984. Kecepatan kalsifikasi yang tinggi ditemukan pada ujung cabang atau “ramose”. Pada karang bercabang atau “ramose” kecepatan kalsifikasi cenderung berkurang secara sistematis dari titik paling ujung ke arah pangkal. Di bagian tengah relatif lambat dan yang terendah terdapat di bagian pangkal Goreau 1982 in Suharsono 1984. Hal ini sangat sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Mortalitas dapat disebabkan oleh beberapa aktivitas, baik alam maupun kegiatan manusia yang merusak antrophogenic, proses alam seperti sedimentasi dan bleaching. Proses sedimentasi ini dimulai ketika partikel sedimen yang menutupi permukaan karang tidak seimbang dengan kemampuan karang dalam memindahkan sedimen. Respon karang terhadap sedimen melalui mekanisme polip mengembang oleh masuknya air, pergerakan partikel dan cilia produksi mucus yang berlebihan Schuhmacher 1977; Stafford-Smith 1992; Riegl et al., 1996. Adanya partikel tersuspensi pada permukaan karang menyebabkan abrasi pada permukaan akibat hilangnnya mucus dan mati lemas. Akibat lainnya dapat menurunkan densitas zooxanthelae pada polip karang dan berkurang sel-sel mucus pada jaring epithelia karang Riegl et al., 1996; Putranto 1997 in Hamdani 2006. Kekeruhan sedimentasi juga dapat mengurangi laju fotosintesis dan mengakibatkan bleaching karena hilangnnya zooxanthelae Rogers 1979 in Hamdani 2006. Tingginya tingkat mortalitas pada stasiun 1 diduga karena lokasi tersebut tidak adanya suatu bentuk pengawasan oleh masyarakat sekitar terhadap terumbu karang, sehingga dengan mudah kegiatan-kegiatan perikanan yang merusak berlangsung. Sedangkan pada stasiun 5, tingginya mortalitas ini disebabkan karena lokasi ini merupakan daerah teluk yang mempunyai arus relatif lebih tenang sehingga kapal-kapal nelayan sering berlindung di daerah tersebut. Jangkar-jangkar dari kapal yang dibuang ke laut tersebut menyebabkan karang menjadi patah dan hancur oleh jangkar tersebut. Untuk stasiun 6, karena merupakan daerah atau lokasi untuk pengambilan batu karang oleh masyarakat Sidodadi dan Pulau Tegal juga masyarakat di luar dari lokasi penelitian. Lokasi- lokasi yang tidak ada pengawasannya stasiun 1, 5 dan 6 lebih tinggi peluang terjadinya kegiatan-kegiatan perikanan yang merusak dibandingkan dengan yang ada pengawasan. Berbeda dengan stasiun 2 dan 4 yang digunakan sebagai lokasi Keramba Jaring Apung KJA, maka kegiatan-kegiatan yang merusak tersebut dapat ditekan dengan adanya pengawasan secara tidak langsung tersebut. Walaupun stasiun 2 dan 4 dimanfaatkan potensinya sebagai kawasan keramba jaring apung KJA, namun bukan berarti lokasi tersebut tidak menimbulkan masalah. Limbah yang berasal dari pakan tersebut akan menyebabkan pengkayaan nutrient di perairan. Menurut Walker dan Ormond 1982 in Poanganan 2008 tingginya nutrien yang masuk ke dalam ekosisitem