Sejarah Desa Gambaran Umum Desa Doulu

22 ke Desa Doulu. Tarif biaya yang dikenakan dari Berastagi sampai ke Desa Doulu adalah Rp. 4000orang. Jika penumpang membawa barang bawaan maka akan diminta tambahan biaya. Besarnya tambahan biaya ditentukan dari jenis tempat bawaan mereka. Jika menggunakan keranjang besar, tarif barang yang dikenakan adalah Rp. 7000keranjang, jika menggunakan goni, tarif yang dikenakan adalah Rp. 4000goni. Sedangkan waktu tempuh dari kota Berastagi ke Desa Doulu kurang lebih 15-20 menit.

2.2 Sejarah Desa

Menurut cerita masyarakat Desa Doulu, Desa Doulu sudah ada sejak tahun 1901 pada saat masa penjajahan Belanda. Pada awalnya yang simanteki kuta pendiri desa adalah bermarga Karo-karo Purba. Jumlah yang bermarga Karo- karo Puba ada sekitar 6-8 orang. Pada awalnya marga Karo-karo Purba tersebut juga adalah simanteki desa Rumah Berastagi, Lau Gumba dan Peceren. Namun pada tahun 1901 marga Karo-karo Purba tersebut membuka lahan di Desa Doulu. Lahan-lahan tersebut masih berupa kerangen hutan yang ditumbuhi dengan pohon-pohon besar. Kemudian marga Karo-karo Purba tersebut mulai ngerabi menebangi pohon. Seberapa banyak pohon yang dirabi oleh si marga Karo-karo Purba maka luas tanah yang dia miliki sampai batas pohon yang ditebangi marga Karo-karo Purba tersebut. Oleh karena itu tanah yang dimiliki oleh Karo-karo Purba sangat luas karena jumlah pohon yang ditebangi oleh masing-masing marga Karo-karo Purba sangat banyak. Maka siapa yang lebih banyak menebang pohon ngerabi maka tanah yang ia miliki sangat luaas dan siapa yang lebih luas memiliki lahan tersebut dia lah yang paling kuat. Jika dibandingkan keadaan Desa Universitas Sumatera Utara 23 Doulu pada saat ini, lahan yang di rabi oleh marga Karo-karo Purba berada di tengah-tengah Desa Doulu. Setelah marga Karo-karo Purba mempunyai lahan yang banyak, selanjutnya marga Karo-karo Purba memanggil anak beru nya yaitu marga Perangin-angin dan marga Sembiring. Marga Karo-karo Purba juga memanggil Kalimbubu nya yaitu marga Ginting dan marga Tarigan untuk ikut serta membuka lahan baru. Maka seberapa banyak pohon yang ditebang dirabi anak beru marga Perangin- angin dan marga Sembiring dan Kalimbubu marga Ginting dan marga Sembiring, maka luas tanah yang dimiliki oleh anak beru dan kalimbubu sangat sedikit karena lahan tanah lebih banyak dimiliki oleh Marga Karo-karo Purba. Menurut penuturan masyarakat Desa Doulu, marga Karo-karo Purba suka pindah ke daerah baru untuk menikah kedua kalinya atau yang ketiga kalinya poligami. Hal tersebut sudah biasa pada saat dulu. Sebagai kebiasaan dalam hal mengurus perkawinan diserahkan kepada pihak anak beru yakni marga Perangin- angin dan marga Sembiring. Dana yang diperlukan sebagai uang mahar dan biaya pesta perkawinan, digantikan dengan tanah yang Karo-karo Purba miliki. Oleh sebab itu, tanah yang dimiliki Karo-karo Purba sangat luas semakin hari semakin sedikit karena marga Karo-karo Purba selalu mempunyai keinginan untuk mempunyai istri lebih dari satu. Sehingga tanah yang dimiliki oleh anak beru semakin luas. Hal ini menjadi kenyataan hingga saat ini bahwasannya marga- marga lain tanahnya lebih luas daripada tanah yang dimiliki marga Karo-karo Purba sendiri. Sedangkan asal nama Desa Doulu berawal dari beberapa penduduk yang pergi dari Desa Doulu ke daerah lain sekitar tahun 1930-an. Pada saat itu masih Universitas Sumatera Utara 24 masa penjajahan Belanda. Setelah masa penjajahan tidak ada lagi sekitar pada tahun 1950-an beberapa penduduk desa yang pergi tersebut kembali lagi ke Desa Doulu. Penduduk yang berada di Desa Doulu bertanya kepada beberapa penduduk yang kembali ke Desa Doulu, penduduk bertanya “Ku ja kam lawes?” mau kemana kam pergi? dan beberapa penduduk yang kembali tersebut menjawab “Ateku lawes ku kuta dahulu” mau kembali ke desa dahulu, karena mendengar beberapa penduduk tersebut mengatakan ingin kembali ke desa dahulu sehingga penduduk Desa Doulu menamakan desa mereka dengan nama Desa Doulu.

2.3 Keadaan Penduduk