52 menyentuhnya. Keesokan harinya kedua orang tua anak tersebut melakukan apa
yang disuruh oleh anaknya, akan tetapi untuk bertatap muka dengan anak tersebut sang orang tua tidak bisa menahan diri sehingga memeluk kedua anaknya dan
seketika itu juga kedua anaknya tersebut menghilang dan tidak pernah lagi manampakkan diri.
3.2.5 Deleng Sibayak
Deleng Sibayak merupakan kedua yang tertinggi setelah Deleng Sinabung . Deleng Sibayak mempunyai ketinggian 2170 meter dari permukaan laut
sedangkan Deleng Sinabung mempunyai ketinggian 2417 meter di atas permukaan laut. Terdapat berbagai macam jenis flora dan fauna yang dapat
dijumpai. Jenis flora yang tumbuh di Deleng Sibayak yaitu pohon pinus, pohon rotan, pohon jati dan pohon-pohon kecil sedangkan fauna yaitu terdapat kera,
imbau , musang, tupai, ular, tikus dan berbagai jenis burung. Deleng Sibayak mempunyai sejarah cerita yang sama dengan Mata Air
Nini Penawar, Deleng Pertektekken dan Lau Debuk-debuk. Menurut penuturan Nd. Desi 54 Tahun pada jaman dahulu Deleng Sibayak dan Deleng Sinabung
mempunyai ketinggian yang sama. Tetapi karena perkelahian antara Dewa Raja Umang Deleng Sinabung dan Dewa Raja Umang Deleng Sibayak karena maslah
Dewi Ratu Deleng Barus. Akhirnya Dewa Raja Umang Deleng Sinabung dengan kesaktiannya, memancung kepala Deleng Sibayak hingga putus, terbang ke dekat
Kampung Kaban yang dinamai dengan Deleng Sikutu, sedangkan kaki Deleng Sinabung dipancung oleh Dewa Raja Umang Deleng Sibayak maka Deleng
Sinabung tanpa kaki sekarang ini.
Universitas Sumatera Utara
53 Kepercayaan orang Karo, Box 2 : Sejarah Cerita Deleng Sibayak
Deleng Sibayak mempunyai penghuni
yaitu Dewi Beru Tandang Karo dan Dewi Beru
Tandang Riah yang keduanya diyakini beru
karo yakni Karo-karo
sitepu. Dalam pemanggilannya kedua
dewi ini disebut beru karo kertah ernala. Kedua
dewi ini mengusai deleng sibayak dan Lau debuk-
debuk. Menurut
penuturan Nd. Desi , Deleng Sibayak
mempunyai nini
yaitu Dewi Beru Tandang Karo
dan Dewi Beru Tandang Riah,
namun banyak orang yang menyebutnya
dengan Beru Karo Kertah
Pada jaman dahulu di suatu desa, di Tanah Karo, ada sebuah keluarga bernama Guru Pertawar Reme , dari Desa Kandibata.
Keluarga ini mempunyai dua orang anak yakni Bru Tandang Karo dan Bru Tandang Riah. Ayah dan ibu kedua putrid ini
merupakan guru sibaso yang sangat hebat dan terkenal dalam mengobati penyakit. Walaupun orang yang sakitnya parah
sekali dan telah meninggal dunia, jika ada seujung jarum aja tulang belulang yang meninggal tersebut tinggal, maka guru
sibaso dapat menghidupkannya kembali. Karena kehebatannya dalam mengobati penyakit, maka guru sibaso ini bukan hanya
terkenal di Tanah Karo, namun sampai ke daerah Pak-pak atau Dairi.
Pada suatu ketika, kedua anak guru petawar reme ini sakit parah. Setiap malam, kedua anak ini mengerang kesakitan.
Guru sibaso yang manapun dipanggil, namun tidak dapat menyembuhkan penyakit kedua anak ini. Sementara ayah dan
ibu kedua putrid ini sedang berada di daerah Pak-pak untuk mengobati penyakit. Karena penyakit yang diderita semakin
hari semakin parah, sehingga disuruhlah seseorang untuk memanggil kedua orang tua anak ini yang sedang sakit parah.
Tetapi ayah dan ibunya menyatakan kepada orang itu, bahwa anaknya pasti sembuh. Sebab sedikit asaja tulang belulangnya
yang tertinggal, maka ayah dan ibunya dapat menghidupkannya kembali. Setelah selesai kedua orang
tuanya mengobati di daerah tersebut ia akan dapat mengobati anaknya dan apabila telah meninggal ia akan dapat
menghidupkannya kembali. Raja Umang Deleng Sibayak mendengar kedua rintihan Dewi
Bru Tandang Karo dan Dewi Bru Tandang Riah dan merasa kasihan melihat nasib kedua putrid ini. Oleh sebab itu, Raja
Umang Deleng Sibayak datang mengambil kedua nyawa kedua putrid ini, tanpa sedikitpun dari tubuh yang tersisa, baik tulang
belulang dan membawanya ke deleng sibayak. ketika ayah dan ibunya pulang dari daerah Pak-pak, maka kedua putrinya tidak
ada lagidan tulang belulangnya seujung jarum pun tidak ada lagi yang tersisa. Orangtuanya menangis setiap hari, setiap
malam meratapi anaknya dan menyesali perbuatannya. Segala upacara telah dilakukan, namun kedua putrinya tidak kembali.
Raja Umang Deleng Sibayak mendengar ratapan orang tua putrid ini, sehingga Raja Umang Deleng Sibayak
menampakkan diri dan berkata “Jika kamu ingin bertemu kedua putrid mu maka kamu harus membuat Gendang Serune 7 hari
7 malam. Tetapi kamu hanya dapat menatap wajahnya, namun tidak boleh menyentuhnya. Karena kedua putrid ini telah
menjadi anakku”. Kedua orang tua ini bersumpah untuk menuruti permintaan Rja
Umang Deleng Sibayak , asalakan dapat melihat putrinya. Maka orang tua putrid tadi membunyikan gendang 7 hari 7
malam. Pada hari terakhir Raja Umang Deleng Sibayak menampakkan kedua putrid itu kepada kedua orang tuanya.
Orang tuanya merasa sedih melihat kedua putrinya, karena tidak dapat merangkulnya. Setelah saat itu , Bru Tandang
Karo dan Bru Tandang Riah menjadi penghuni deleng Sibayak dan sebagai tempat pemandiuannya adalah Tapin Beru Karo ,
sedangkan tempatnya untuk istirahat adalah Lau debuk-debuk, atau dalam bahasa Karo disebutkan Ingan Erngada-ngada
emkap Lau Debuk-debuk. Apabila ayah dan ibunya ingin bertemu dengan putrinya, maka harus memanggilnya melalui
erpangir dan membuat gendang serune. Brahma Putro, 1995.a dalam Septaria Elidalni Bangun1996:52
Universitas Sumatera Utara
54 Ernala. Kedua dewi ini merupakan penghuni Deleng Sibayak. Menurut cerita Nd.
Desi, kedua dewi ini dilarikan oleh Raja Umang Deleng Sibayak. Adapun ceritanya atau kisahnya hampir sama dengan kepercayaan penduduk Desa Doulu
terhadap kisah yang terdapat di Lau Debuk-debuk. Cerita kuno orang Karo menyatakan bahwa Dewi Bru Tandang Karo dan Dewi Bru Tandang Riah
menjadi penghuni Deleng Sibayak karena dilarikan oleh Raja Umang Deleng Sibayak. adapun ceritanya dapat dilihat pada box 2.
3.2.6 Buah Huta huta atau Nini Galuh Kuta