Kebijakan Mengatasi Eksternalitas Kerangka Teoritis

43 sementara itu, bahan bakar alternatif belum dikembangkan. Begitulah, contoh bentuk-bentuk eksploitasi alam yang masih terus diperpanjang hingga nyaris tak berhingga. Jika kita gagal mengubah kebiasaan dan cara-cara lama berekonomian dengan segera, kemerosotan lingkungan hidup akan berimbas langsung pada kemerosotan ekonomi. Misalnya, degradasi lingkungan di sekitar perusahaan justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Perusahaan harus mengalokasikan biaya ekstra untuk memperoleh air bersih dan melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar. Tantangan lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan adalah proses desentralisasi yang menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daerah dapat termotivasi dalam arti negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus untuk kepentingan jangka pendek. Bidang yang mengalami perbenturan paling keras dengan urusan lingkungan hidup adalah ekonomi dalam sektor industri.

3.1.3 Kebijakan Mengatasi Eksternalitas

Inefisiensi pasar akibat eksternalitas tidak perlu selalu harus atau bisa diatasi dengan penegakan atau peningkatan standar moral, atau ancaman penerapan sanksi sosial. Contoh dari solusi swasta, adalah derma atau amal yang seringkali sengaja diorganisasikan untuk mengatasi suatu eksternalitas. Contohnya adalah Sierra Club, sebuah organisasi sosial swasta yang sengaja dibentuk untuk turut melestarikan lingkungan hidup. Organisasi ini mengandalkan pemasukannya dari donasi pihak-pihak yang bersimpati atau iuran anggota. Hal ini sebagai contoh untuk eksternalitas negatif. Sedangkan untuk eksternalitas positif, kita mengetahui banyak perguruan tinggi yang membentuk yayasan yang 44 menghimpun sumbangan dari para alumni, perusahaan, atau pihak-pihak lain, untuk kemudian disalurkan sebagai beasiswa. Pasar swasta terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengatasinya. Cara lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah, penyusunan kontrak atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh kepentingan. Melalui kontrak seperti ini, maka kemungkinan terjadinya inefisiensi yang bersumber dari eksternalitas negatif bisa dihindari, dan kedua belah pihak akan lebih untung dibandingkan jika keduanya menjalankan usahanya masing-masing, tanpa memperhitungkan kepentingan pihak lain. Ada sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase Coase therem mengambil nama perumusnya, yakni ekonom Ronald Coase-yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat Daraba, 2001. Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah eksternalitas yang terjadi tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya. Teorema Coase menyatakan bahwa pelaku-pelaku ekonomi pribadiswasta, dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas yang muncul diantara mereka. Terlepas dari distribusi hak pada awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu berpeluang mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan pemecahan yang efisien. 45 Jika penyelesaian swasta gagal, maka pemerintah harus turun tangan. Pemerintahan merupakan suatu institusi yang dibentuk untuk bertindak mewakili kepentingan bersama. Eksternalitas mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan pasar tidak efisien, pemerintah melakukan salah satu dari dua pilihan tindakan yang ada. Pilihan pertama adalah menerapkan kebijakan-kebijakan atau pendekatan komando dan kontrol command-and-control policies, atau menerapkan kebijakan-kebijakan berdasarkan pendekatan pasar market-base policies . Bagi para ekonom, pilihan kedua lebih baik, karena kebijakan berdasarkan pendekatan pasar akan mendorong para pembuat keputusan di pasar swasta, untuk secara sukarela memilih mengatasi masalahnya sendiri. 1. Regulasi Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagi contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari pada keuntungan pihak-pihak yang melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi. Namun, kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karena polusi merupakan efek sampingan tak terhindarkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua kendaraan bermotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. 46 Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk menentukan ambang aman tersebut, kita harus menghitung segala untung ruginya secara cermat. Di Amerika Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup EPA, Environmental Protection Agency adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup. Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam- macam. Adakalanya EPA langsung menetapkan batasan polusi yang diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenissektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit didapatkan. 2. Pajak Pigovian dan Subsidi Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadiswasta dengan efisiensi sosial. Sebagai contoh, seperti telah disinggung diatas pemerintah dapat 47 menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari suatu eksternalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian Pigovian tax, mengambil nama ekonom pertama yang merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou 1877-1959. Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan berniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni: regulasi EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun, pajak Pigovian EPA mengenakan pajak sebesar 50.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik. Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya. Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Penerapan pajak itu tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi. Namun, EPA juga harus 48 hati-hati karena pajaknya terlalu tinggi maka polusi akan hilang, karena semua pabrik memilih tidak beroperasi. Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik misalkan pabrik kertas, lebih mampu biayanya lebih murah untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain pabrik baja. Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja. Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada perusahaan atau pabrik, yang paling sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi misalkan karena biaya alat penyaring polusinya sangat mahal. Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini. Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan 49 kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal misalkan 300 ton per tahun, maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar. Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada umumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis turunnya surplus produsen dan surplus konsumen, yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi. 50 3. Izin Polusi yang Dapat Diperjualbelikan Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena keduanya secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi. Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA memangmengizinkan hal itu, maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan- kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif di pasar itu, karena membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal itu akan memberinya pendapatan. Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasipembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika 51 yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase. Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apa pun alokasi awal tersebut. Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh jika menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi. 52

3.2 Kerangka Operasional

Dokumen yang terkait

Analisis Dampak Keberadaan Kawasan Industri Medan (Kim) Belawan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Kim Belawan

31 145 75

Analisis Willingness To Pay Masyarakat Terhadap Mata Air Aek Arnga di Desa Sibanggor Tonga, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal

12 92 53

Resolusi Konflik Lingkungan PT Kawasan Industri Medan (PT KIM) dengan Masyarakat Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan

0 36 107

Pengaruh kesadaran, persepsi dan preferensi konsumen terhadap perilaku konsumen dalam mengkonsumsi buah lokal: studi kasus kawasan industri di Jakarta Utara

1 6 167

Kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan industri Jababeka (Studi kasus Desa Pasir Gombang, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat)

0 13 150

Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness to Accept Masyarakat akibat Pencemaran Air Tanah dan Udara di Sekitar Kawasan Industri: Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor

2 7 191

Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Akibat Pencemaran Air Tanah di Sekitar Kawasan Industri (Studi Kasus Industri Keramik di Kelurahan Nanggewer, Kabupaten Bogor)

5 36 94

LINGKUNGAN SEKITAR KAWASAN INDUSTRI DI KECAMATAN SOLOKAN JERUK KABUPATEN BANDUNG.

0 1 35

Estimating willingness to pay by risk ad

0 0 11

Budaya masyarakat di lingkungan kawasan industri: kasus industri rotan di Desa Tegalwangi Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

0 5 105