Anak yang tereksploitasi dari segi upah sebagian besar bekerja di lapangan usaha nonpertanian, sebanyak 71,86 persen, sedangkan 28,14 persen anak bekerja
di lapangan usaha pertanian. Demikian juga apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan proporsi anak yang
tereksploitasi dari segi upah di lapangan usaha nonpertanian menunjukkan persentase yang lebih besar. Bahkan untuk daerah perkotaan, proporsi anak yang
tereksploitasi dari segi upah sangat didominasi oleh anak yang bekerja di lapangan usaha nonpertanian, yaitu sebesar 90,49 persen.
Tabel 20 Persentase anak yang tereksploitasi dari segi upah menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011
Jenis Kelamin Daerah Tempat Tinggal
Perdesaan Perkotaan
D + K
Pertanian 45,12
9,51 28,14
Nonpertanian 54,88
90,49 71,86
Jumlah 100,00
100,00 100,00
Sumber: data diolah dari BPS, 2011
Apabila dibedakan berdasarkan status kedudukan dalam pekerjaan, terdapat 61,82 persen anak yang tereksploitasi dari segi upah bekerja di sektor
formal, yaitu sebagai buruhkaryawanpegawai, sedangkan 38,18 persen anak bekerja di sektor informal Tabel 20. Anak-anak yang bekerja di sektor formal
biasanya telah terikat dengan peraturan ditempat kerja baik perusahaan maupun pabrik, termasuk aturan mengenai jam kerja. Mereka bekerja layaknya pekerja
dewasa dengan jam kerja normal bahkan bisa melebihi batas jam kerja normal, namun upah yang mereka terima tidak sama atau lebih rendah dengan upah yang
diterima pekerja dewasa. Sesuai dengan teori yang dikemukakan Tjandraningsih 1995, bahwa majikan mempekerjakan anak-anak karena anak-anak mau dibayar
murah, sehingga para majikan dapat melipatgandakan keuntungannya. Jika upah tenaga kerja anak-anak dibandingkan dengan upah tenaga kerja dewasa, maka
upah tenaga kerja anak-anak akan selalu lebih kecil dibandingkan upah tenaga kerja dewasa dalam sektor lapangan usaha yang sama.
Tabel 20 memperlihatkan perbedaan proporsi anak-anak yang tereksploitasi dari segi upah yang dilihat dari status kedudukan dalam pekerjaan
untuk daerah perdesaan dan perkotaan. Di daerah perdesaan, persentase anak yang tereksploitasi dari segi upah yang bekerja di sektor informal lebih besar daripada
mereka yang bekerja di sektor formal, namun di daerah perkotaan terjadi sebaliknya.
Tabel 21 Persentase anak yang tereksploitasi dari segi upah menurut status pekerjaan dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011
Sumber: data diolah dari BPS, 2011
Tingkat keparahan eksploitasi dari segi upah ditunjukkan pada Tabel 21. Nilai Indeks FGT Indonesia dari segi upah sebesar 0,07. Terdapat 10 provinsi
yang memiliki tingkat keparahan melebihi nilai indeks nasional. Tingkat keparahan eksploitasi dari segi upah terbesar dialami oleh anak-anak yang bekerja
di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jambi, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan, sedangkan tingkat keparahan eksploitasi upah terkecil terjadi di Provinsi Jawa
Tengah dan Papua. Tingkat keparahan eksploitasi dari segi upah tertinggi yang terjadi di DKI Jakarta bisa dihubungkan dengan besarnya persentase anak-anak
yang tereksploitasi dari segi jam kerja di provinsi tersebut. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan persentase anak-anak yang tereksploitasi dari segi
jam kerja terbesar di Indonesia, yaitu 76,23 persen, dan UMP tertinggi keempat setelah Papua Barat, Papua, dan Aceh, yaitu sebesar Rp. 1.290.000,00 atau Rp.
4.031,50 per jam. Dari data SAKERNAS 2011 didapat rata-rata upah anak perjam di DKI Jakarta adalah Rp. 2.588,20, besaran ini nilainya jauh di bawah
UMP perjam, padahal anak-anak bekerja sesuai jam kerja normal bahkan lebih besar dari jam kerja normal pekerja dewasa.
Status Pekerjaan Daerah Tempat Tinggal
Perdesaan Perkotaan
D+K
Informal 51,47
23,60 38,18
Formal 48,53
76,40 61,82
Jumlah 100,00
100,00 100,00
Tabel 22 Tingkat keparahan eksploitasi dari segi upah menurut provinsi di Indonesia, tahun 2011
Sumber: data diolah dari BPS, 2011
Provinsi Tingkat Keparahan
Eksploitasi dari Segi Upah
Aceh 0,05
Sumatera Utara 0,04
Sumatera Barat 0,06
Riau 0,09
Jambi 0,15
Sumatera Selatan 0,09
Bengkulu 0,05
Lampung 0,08
Kep. Bangka Belitung 0,07
Kep. Riau 0,09
DKI Jakarta 0,33
Jawa Barat 0,13
Jawa Tengah 0,01
DIY 0,05
Jawa Timur 0,08
Banten 0,16
Bali 0,06
NTB 0,07
NTT 0,07
Kalimantan Barat 0,07
Kalimantan Tengah 0,06
Kalimantan Selatan 0,07
Kalimantan Timur 0,06
Sulawesi Utara 0,07
Sulawesi Tengah 0,04
Sulawesi Selatan 0,09
Sulawesi Tenggara 0,05
Gorontalo 0,02
Sulawesi Barat 0,03
Maluku 0,02
Maluku Utara 0,03
Papua Barat 0,03
Papua 0,01
Indonesia 0,07
6.1.3. Eksploitasi dari Segi Terhambatnya Akses Pendidikan
Sesuai kriteria yang diberikan oleh UNICEF mengenai eksploitasi terhadap anak yang bekerja, bahwa salah satu jenis pekerjaan yang eksploitatif
adalah pekerjaan yang menghambat ke akses pendidikan. Oleh karena itu, perlu diteliti tentang partisipasi sekolah anak yang bekerja sebagai indikator hambatan
terhadap akses pendidikan bagi anak-anak yang bekerja. Pengolahan data SAKERNAS 2011 memberikan hasil bahwa dari
keseluruhan anak yang bekerja, terdapat 59,90 persen anak yang tidakbelum pernah bersekolah. Tabel 22 memperlihatkan sebaran anak-anak bekerja yang
tidakbelum pernah bersekolah berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur. Sebanyak 65,73 persen anak-anak yang terhambat akses pendidikannya adalah
anak laki-laki, sedangkan sisanya sebanyak 34,27 persen adalah anak perempuan. Tabel 23 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut jenis kelamin
dan kelompok umur di Indonesia, tahun 2011
Jenis Kelamin Kelompok Umur
10-12 tahun 13-15 tahun
16-17 tahun
Laki-laki 64,55
68,00 64,89
Perempuan 35,45
32,00 35,11
L+P 1,43
29,23 69,34
Sumber: data diolah dari BPS, 2011
Apabila dilihat berdasarkan kelompok umur, sebagian besar anak-anak yang terhambat akses pendidikannya adalah pada kelompok umur 16-17 tahun,
yaitu sebesar 69,34 persen. Hal ini mengindikasikan banyak anak bekerja yang putus sekolah atau tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi
rumah tangga yang berpendapatan rendah, anak-anak pada kelompok ini biasanya akan lebih memilih untuk bekerja membantu orang tua. Untuk kelompok umur
10-15 tahun, persentase anak bekerja yang belumtidak bersekolah sebesar 30,66 persen. Angka ini cukup tinggi mengingat anak-anak pada umur ini merupakan
target utama program wajib belajar sembilan tahun yang sedang gencar digiatkan oleh pemerintah.
Tabel 23 memperlihatkan bahwa persentase anak yang terhambat akses pendidikan lebih besar di daerah perdesaan dibandingkan daerah perkotaan.
Sebanyak 64,58 persen anak yang terhambat akses pendidikan tinggal di perdesaan, sedangkan sisanya tinggal di perkotaan. Besarnya persentase anak
yang terhambat akses pendidikan di daerah perdesaan ini diduga selain karena masalah ekonomi juga karena kondisi lingkungan. Fasilitas pendidikan di
perdesaan kurang lengkap dibandingkan di daerah perkotaan. Selain itu, faktor kultural di daerah perdesaan yang mendukung anak untuk bekerja agar melatih
kemandirian sejak kecil. Tabel 24 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut jenis kelamin
dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011
Jenis Kelamin Daerah Tempat Tinggal
Perdesaan Perkotaan
D+K
Laki-laki 71,99
54,32 65,73
Perempuan 28,01
45,68 34,27
L+P 64,58
35,42 100,00
Sumber: data diolah dari BPS, 2011
Perbandingan antardaerah tempat tinggal juga terlihat dari Tabel 23. Di daerah perdesaan, proporsi anak laki-laki yang mengalami hambatan akses
pendidikan lebih tinggi dibandingkan proporsi anak laki-laki yang tinggal di daerah perkotaan. Sebaliknya untuk anak perempuan, proporsi anak perempuan di
daerah perkotaan yang terhambat akses pendidikan lebih besar dibandingkan proporsi anak perempuan yang tinggal di daerah perdesaan. Di daerah perdesaan
anak laki-laki biasanya lebih dituntut untuk dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga sehingga mereka terancam putus sekolah karena masuk ke
dunia kerja, sedangkan di daerah perkotaan meskipun persentase anak laki-laki yang terhambat akses pendidikan lebih tinggi dibandingkan persentase anak
perempuan namun perbedaan persentase tidak terlalu besar.
Tabel 25 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011
Lapangan Usaha Daerah Tempat Tinggal
Perdesaan Perkotaan
D + K
Pertanian 65,44
11,77 46,44
Nonpertanian 34,56
88,23 53,56
Jumlah 100,00
100,00 100,00
Sumber: data diolah dari BPS, 2011
Apabila dilihat dari lapangan usaha anak, persentase anak bekerja yang terhambat akses pendidikan lebih besar di sektor nonpertanian dibandingkan
sektor pertanian, yaitu masing-masing 53,56 persen dan 46,44 persen. Perbedaan yang signifikan terlihat antara proporsi anak-anak bekerja yang terhambat akses
pendidikan di daerah perdesaan dan perkotaan. Di daerah perdesaan, sebanyak 65,44 persen anak yang terhambat akses pendidikan bekerja di sektor pertanian.
Hal ini sesuai kondisi yang ada bahwa sebagian besar anak yang bekerja di perdesaan berada di sektor pertanian. Demikian juga untuk daerah perkotaan yang
lapangan usaha anak didominasi sektor modernnonpertanian, maka sebagian besar anak yang terhambat akses pendidikannya juga bekerja di sektor
nonpertanian. Perbedaan proporsi anak yang bekerja di sektor formal dan informal yang
terhambat akses pendidikannya terlihat pada Tabel 25. Sebagian besar anak yang terhambat akses pendidikan tidakbelum pernah bersekolah bekerja di sektor
informal, yaitu 63,33 persen, sedangkan sisanya 36,67 persen bekerja di sektor formal. Sektor informal sering dikaitkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan
dan berkualitas rendah karena sektor ini dapat dengan mudah menampung angkatan kerja muda yang masih belum berpengalaman atau angkatan kerja yang
pertama kali masuk pasar kerja. Selain itu sistem jam kerja di sektor informal cenderung tidak teratur, berbeda dengan sistem jam kerja di sektor formal yang
cenderung teratur. Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, terlihat proporsi yang berbeda. Di daerah perdesaan, sebagian besar anak yang tereksploitasi akses