Odds Ratio GAMBARAN UMUM ANAK-ANAK YANG BEKERJA DI INDONESIA

5. Jika variabel yang lain konstan, maka kecenderungan anak untuk bekerja pada rumah tangga dengan KRT berjenis kelamin perempuan sebesar 1,400 kali dari pada anak pada rumah tangga dengan KRT laki-laki. Hal ini dapat disebabkan beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung karena suami sudah meninggal atau hidup terpisah. 6. Koefisien umur KRT bertanda negatif, yang berarti bahwa semakin bertambahnya umur KRT, maka peluang anak dalam rumah tangga itu untuk bekerja semakin menurun. Dengan nilai odds ratio yang sebesar 0,986 dapat diartikan bahwa apabila umur KRT meningkat satu tahun, maka kecenderungan anak untuk bekerja menjadi lebih kecil 0,986 kali. Hal ini diduga antara lain karena semakin tua umur KRT maka sudah ada anggota rumah tangga yang dewasa yang menjadi pencari nafkah kedua selain KRT. 7. Odds ratio untuk perbandingan partisipasi sekolah anak adalah sebesar 10,370. Berarti, anak-anak yang belumtidak bersekolah lagi memiliki peluang untuk bekerja sebesar 10,370 kali dibandingkan anak yang masih bersekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Tjandraningsih 1995 bahwa ketika anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah, maka pilihan hidupnya hanya dua, yaitu masuk angkatan kerja atau tidak, dan apabila kondisi orang tuanya kurang mampu dalam hal ekonomi, anak cenderung memilih untuk bekerja. 8. Anak dari KRT yang bekerja di sektor informal memiliki kecenderungan untuk bekerja sebesar 1,653 kali dibandingkan anak dari KRT yang bekerja di sektor formal. KRT yang bekerja di sektor informal tidak memiliki pendapatanupah yang tetap dan jam kerja yang pasti, sehingga dengan bekerja, anak dapat membantu menambah pendapatan keluarga. 9. Pendidikan KRT dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu KRT tidak pernah bersekolahtidak tamat SD, KRT berpendidikan SD-SMP, dan KRT berpendidikan lainnya. Oleh karena itu, faktor ini terdiri atas dua variabel bebas, yaitu tdktamatSD1 dan tamatSDSMP1. Nilai odds ratio tdktamatSD1 adalah 1,279 artinya anak dengan KRT yang tidak pernah bersekolahtidak tamat SD memiliki peluang untuk bekerja sebesar 1,279 kali dibandingkan anak dengan KRT yang berpendidikan lainnya. Sedangkan variabel tamatSDSMP1 memiliki nilai odds ratio sebesar 0,942, yang berarti anak dengan KRT berpendidikan SD-SMP memiliki kecenderungan untuk bekerja sebesar 0,942 kali anak dari KRT yang berpendidikan lainnya. SMERU 2003 menyatakan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih sedikit melibatkan anak-anaknya untuk bekerja dibandingkan rumah tangga dengan KRT yang berpendidikan rendah. Setidaknya ada dua penjelasan untuk mendukung penelitian ini. Pertama, KRT dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kemungkinan untuk memeroleh pendapatan yang lebih besar untuk keluarganya, sehingga mereka tidak perlu melibatkan anaknya untuk bekerja. Kedua, orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi memiliki pemahaman yang lebih baik tentang manfaat dan pentingnya pendidikan berdasarkan pengalaman mereka sendiri, sehingga mereka akan berusaha memberikan pendidikan yang tinggi juga untuk anak-anaknya. 10. Faktor lapangan usaha terdiri atas dua kategori, yaitu pertanian dan lainnya nonpertanian. Variabel KLUI11 memiliki koefisen 0,268 yang berarti bahwa anak-anak yang memiliki KRT yang bekerja di sektor pertanian lebih berpeluang untuk bekerja dibandingkan anak-anak yang memiliki KRT yang bekerja di sektor lainnya. Dengan nilai exp B yang sebesar 1,307 menunjukkan bahwa besarnya peluang anak-anak dari KRT yang bekerja di sektor pertanian untuk bekerja lebih besar 1,307 kali dibandingkan anak-anak dari KRT yang bekerja di sektor lainnya. 11. Koefisien status perkawinan KRT bertanda positif. Koefisien tersebut menunjukkan bahwa anak yang bekerja dari KRT yang berstatus singlecerai mempunyai peluang lebih besar untuk bekerja dibandingkan dengan anak dari KRT yang berstatus kawin. Dengan nilai odds ratio sebesar 1,231 dapat diartikan bahwa anak yang bekerja dari KRT yang berstatus singlecerai mempunyai peluang 1,231 kali lebih besar untuk bekerja dibandingkan dengan anak dari KRT yang berstatus kawin. Hal ini diduga karena KRT yang berstatus singlecerai memiliki beban tanggungan yang lebih besar dari KRT yang berstatus kawin sehingga anak-anak mereka diharapkan dapat membantu dengan terjun ke dunia kerja.

VI. EKSPLOITASI TERHADAP ANAK YANG BEKERJA

Eksploitasi terhadap anak-anak yang bekerja yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas tiga kondisi, yaitu anak yang bekerja melebihi jam kerja normal yang diperbolehkan, anak yang tidak bersekolah terhambat akses pendidikan, dan anak yang mendapatkan upah di bawah Upah Minimum Provinsi UMP yang telah disesuaikan dengan jam kerja dan produktivitas anak. Tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja dihitung dengan pendekatan Indeks FGT. Namun indeks ini tidak dapat digunakan untuk menghitung tingkat keparahan eksploitasi dari segi terhambatnya akses pendidikan karena data akses pendidikan merupakan data kategori, sehingga tingkat keparahan eksploitasi terhadap anak yang bekerja yang dihitung dalam penelitian ini hanya dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi jam kerja dan upah anak. Sedangkan dari segi terhambatnya akses pendidikan hanya bisa ditampilkan dalam bentuk persentase anak bekerja yang tidak bersekolah. 6.1. Tingkat Keparahan Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja 6.1.1. Eksploitasi dari Segi Jam Kerja Anak-anak dikatakan tereksplotasi dari segi jam kerja apabila termasuk dalam kategori: 1. Anak-anak yang berumur kurang dari 15 tahun dengan jam kerja lebih dari jam kerja normal yang diperbolehkan. Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, batasan jam kerja untuk anak-anak yang berumur kurang dari 15 tahun adalah tiga jam perhari dengan asumsi hari kerja dalam seminggu adalah lima hari. Dengan demikian, batasan jam kerja yang diperbolehkan adalah maksimal 15 jam perminggu. 2. Anak-anak yang berumur 15-17 tahun yang bekerja melebihi jam kerja normal yang diperbolehkan. Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, anak-anak berumur 15 tahun ke atas sudah diperbolehkan untuk bekerja, dan memiliki batas jam kerja normal 40 jam perminggu, dengan asumsi jam kerja perhari delapan jam kerja dan hari kerja seminggu adalah lima hari. Berdasarkan data SAKERNAS 2011, terdapat 41,80 persen anak yang tereksploitasi berdasarkan jam kerja. Tabel 13 menunjukkan persentase anak-anak yang tereksploitasi berdasarkan jam kerja per minggu menurut jenis kelamin dan kelompok umur. Tabel 14 Persentase anak yang tereksploitasi jam kerja menurut jenis kelamin dan kelompok umur di Indonesia, tahun 2011 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Apabila dilihat perbandingan antarjenis kelamin anak, terlihat bahwa persentase anak laki-laki yang tereksploitasi lebih besar daripada anak perempuan, yaitu sebesar 59,36 persen sedangkan anak perempuan sebesar 40,64 persen. Hal ini diduga karena anak laki-laki lebih kuat secara fisik sehingga dapat melakukan pekerjaan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan anak perempuan. Dalam hal umur, persentase anak yang mengalami eksploitasi lebih besar untuk anak- anak dengan kelompok umur 15-17 tahun, yaitu sebesar 66,51 persen sedangkan pada anak yang berumur kurang dari 15 tahun sebesar 33,49 persen. Salah satu alasan yang diduga mendukung kondisi ini adalah bahwa anak yang berumur 15- 17 tahun lebih memiliki fisik yang kuat untuk bekerja lebih lama daripada anak yang berumur kurang dari 15 tahun. Anak-anak yang bekerja pada umur 15-17 tahun juga memiliki persentase putus sekolah yang tinggi, sehingga mereka bisa bekerja penuh waktu atau bahkan melebihi jam kerja orang dewasa. Sedangkan apabila dilihat dari daerah tempat tinggal, persentase anak yang tereksploitasi lebih besar terjadi di daerah perdesaan dibandingkan daerah perkotaan, yaitu sebesar 54,61 persen untuk daerah perdesaan dan 45,39 persen untuk daerah perkotaan Tabel 14. Jenis Kelamin Kelompok umur 15 tahun 15-17 tahun 10-17 tahun Laki-laki 61,49 58,28 59,36 Perempuan 38,51 41,72 40,64 L+P 33,49 66,51 100,00 Tabel 15 Persentase anak yang tereksploitasi jam kerja menurut jenis kelamin, dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Apabila dilihat berdasarkan lapangan usaha, eksploitasi dari segi jam kerja anak terjadi di semua sektor. Lapangan usaha dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu sektor pertanian dan sektor lainnya nonpertanian. Anak- anak yang bekerja di sektor nonpertanian memiliki persentase mengalami eksploitasi jam kerja yang lebih tinggi, yaitu sebesar 70,63 persen, sedangkan sektor pertanian sebesar 29,37 persen. Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Gambar 14 Persentase anak yang tereksploitasi jam kerja menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal, tahun 2011. Demikian juga apabila dibedakan menurut daerah tempat tinggal, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, persentase anak-anak yang tereksploitasi selalu lebih besar pada lapangan usaha nonpertanian. Bahkan di daerah perkotaan hampir semua anak yang tereksploitasi dari segi jam kerja adalah anak-anak yang Jenis Kelamin Daerah Tempat Tinggal Perdesaan Perkotaan D+K Laki-laki 67,07 50,08 59,36 Perempuan 32,93 49,92 40,64 L+P 54,61 45,39 100,00