Eksploitasi dari Segi Terhambatnya Akses Pendidikan

Tabel 25 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut lapangan usaha dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 Lapangan Usaha Daerah Tempat Tinggal Perdesaan Perkotaan D + K Pertanian 65,44 11,77 46,44 Nonpertanian 34,56 88,23 53,56 Jumlah 100,00 100,00 100,00 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Apabila dilihat dari lapangan usaha anak, persentase anak bekerja yang terhambat akses pendidikan lebih besar di sektor nonpertanian dibandingkan sektor pertanian, yaitu masing-masing 53,56 persen dan 46,44 persen. Perbedaan yang signifikan terlihat antara proporsi anak-anak bekerja yang terhambat akses pendidikan di daerah perdesaan dan perkotaan. Di daerah perdesaan, sebanyak 65,44 persen anak yang terhambat akses pendidikan bekerja di sektor pertanian. Hal ini sesuai kondisi yang ada bahwa sebagian besar anak yang bekerja di perdesaan berada di sektor pertanian. Demikian juga untuk daerah perkotaan yang lapangan usaha anak didominasi sektor modernnonpertanian, maka sebagian besar anak yang terhambat akses pendidikannya juga bekerja di sektor nonpertanian. Perbedaan proporsi anak yang bekerja di sektor formal dan informal yang terhambat akses pendidikannya terlihat pada Tabel 25. Sebagian besar anak yang terhambat akses pendidikan tidakbelum pernah bersekolah bekerja di sektor informal, yaitu 63,33 persen, sedangkan sisanya 36,67 persen bekerja di sektor formal. Sektor informal sering dikaitkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan dan berkualitas rendah karena sektor ini dapat dengan mudah menampung angkatan kerja muda yang masih belum berpengalaman atau angkatan kerja yang pertama kali masuk pasar kerja. Selain itu sistem jam kerja di sektor informal cenderung tidak teratur, berbeda dengan sistem jam kerja di sektor formal yang cenderung teratur. Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, terlihat proporsi yang berbeda. Di daerah perdesaan, sebagian besar anak yang tereksploitasi akses pendidikan bekerja di sektor informal, sedangkan di daerah perkotaan terjadi kondisi yang sebaliknya, anak-anak yang tereksploitasi akses pendidikan sebagian besar bekerja di sektor formal. Tabel 26 Persentase anak yang terhambat akses pendidikan menurut status pekerjaan dan daerah tempat tinggal di Indonesia, tahun 2011 Sataus Pekerjaan Daerah Tempat Tinggal Perdesaan Perkotaan D + K Formal 23,63 60,45 36,67 Informal 76,37 39,55 63,33 Jumlah 100,00 100,00 100,00 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Tidak seperti eksploitasi anak bekerja dari segi jam kerja dan upah yang tingkat keparahannya dapat dihitung dengan Indeks FGT, tingkat keparahan eksploitasi dari segi terhambat akses pendidikan anak hanya dapat didekati dengan persentase anak bekerja yang terhambat akses pendidikan belum pernah bersekolahtidak bersekolah lagi. Jika dilihat dari persentase anak-anak bekerja yang terhambat akses pendidikannya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase yang tertinggi, yaitu sebesar 81,90 persen, yang diikuti oleh Provinsi Jawa Barat 79,30 persen, Kalimantan Barat 78,00 persen, DKI Jakarta 77,90 persen, dan Provinsi Banten 72,30 persen. Sedangkan Provinsi Bali memiliki persentase terkecil, yaitu 32,80 persen. Tingginya persentase anak-anak yang terhambat akses pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diduga berkaitan dengan lapangan kerja anak-anak. Sebagian besar anak-anak bekerja di sektor pertambangan dan pertanian dengan waktu yang panjang. Provinsi ini merupakan penghasil timah dan hasil perkebunan seperti karet dan sawit, anak-anak cenderung memilih bekerja dan meninggalkan bangku sekolah. Dari data SAKERNAS 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 55,32 persen anak di provinsi ini bekerja lebih dari 40 jam perminggu, atau lebih dari delapan jam perhari dengan asumsi lima hari kerja perminggu. Tabel 27 Persentase anak yang bekerja yang terhambat akses pendidikan menurut provinsi di Indonesia, tahun 2011 Provinsi Persentase Anak yang Terhambat Akses Pendidikan Aceh 37,30 Sumatera Utara 36,40 Sumatera Barat 45,90 Riau 61,00 Jambi 64,20 Sumatera Selatan 67,00 Bengkulu 60,50 Lampung 52,50 Kep. Bangka Belitung 81,90 Kep. Riau 62,90 DKI Jakarta 77,90 Jawa Barat 79,30 Jawa Tengah 71,10 DIY 51,30 Jawa Timur 66,00 Banten 72,30 Bali 32,80 NTB 44,40 NTT 54,10 Kalimantan Barat 78,00 Kalimantan Tengah 69,40 Kalimantan Selatan 62,60 Kalimantan Timur 63,90 Sulawesi Utara 61,10 Sulawesi Tengah 46,00 Sulawesi Selatan 47,10 Sulawesi Tenggara 34,80 Gorontalo 60,50 Sulawesi Barat 48,80 Maluku 41,90 Maluku Utara 36,40 Papua Barat 65,70 Papua 54,80 Indonesia 59,90 Sumber: data diolah dari BPS, 2011

6.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja

6.2.1. Eksploitasi dari Segi Jam Kerja

Berdasarkan teori-teori yang mendasari penelitian, dan penelitian- penelitian terdahulu, maka faktor-faktor yang diduga memengaruhi terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja dari segi jam kerja dalam penelitian ini adalah umur anak, jenis kelamin anak, lapangan usaha anak, status pekerjaan anak, umur KRT, jenis kelamin KRT, pendidikan KRT, status perkawinan KRT, jumlah anggota rumah tangga, dan daerah tempat tinggal. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi logistik dengan variabel dependen terdiri atas dua kategori, yaitu tereksploitasi dari segi jam kerja dan tidak tereksploitasi dari segi jam kerja. Prosedur yang digunakan untuk membentuk regresi logistik terbaik pada penelitian ini adalah stepwise backward wald. Berdasarkan output SPSS, diperoleh model terbaik melalui satu tahap iterasi.

1. Likelihood Ratio Test

Untuk mengetahui peran seluruh variabel penjelas di dalam model secara bersama-sama, dapat digunakan uji Likelihood Ratio atau uji signifikansi model. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai observasi terhadap nilai dugaan yang diperoleh pada model yang terbentuk dengan model penuh. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah : Ho: tidak ada pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen. H 1 : ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Uji kelayakan secara keseluruhan overall fit test dilihat dari nilai -2 log likelihood. Nilai -2 log likelihood yang semakin rendah dibandingkan dengan nilai awal, menunjukkan bahwa model akan semakin fit secara keseluruhan. Dari hasil run data menggunakan SPSS terlihat bahwa nilai -2 log likelihood pada awalnya adalah 16.006,590, kemudian semakin menurun menjadi 13.709,794, sehingga nilai G yang dihasilkan adalah 2.296,796. Uji kemaknaan koefisien regresi overall fit test juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan uji Chi Square. Nilai signifikansi yang didapat dari hasil pengolahan lebih kecil dari 0,05. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 berarti dapat disimpulkan bahwa terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja dapat diprediksi dengan menggunakan variabel-variabel dependen tersebut.

2. Output Classification Model

Classification model digunakan untuk menentukan kesesuaian model dalam memprediksi terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja. Semakin tinggi nilai overall percentage mendekati 100 maka ketepatan model dalam memprediksi akan semakin baik. Berdasarkan output classification table terlihat bahwa nilai overall percentage sebesar 68,80 persen. Angka ini menunjukkan bahwa model secara keseluruhan memiliki tingkat kesesuaian sebesar 68,80 persen dalam memprediksi terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja dari segi jam kerja. Artinya, model tersebut memiliki kemampuan yang cukup baik untuk memprediksi dan layak dipakai.

3. Uji Wald

Setelah secara simultan model dinyatakan berpengaruh nyata dan dapat digunakan, tahap selanjutnya adalah menguji keberartian masing-masing parameter dalam model secara parsial. Untuk menguji pengaruh masing-masing variabel penjelas dalam model digunakan statistik uji Wald. Parameter yang digunakan adalah dengan membandingkan antara nilai signifikansi setiap variabel dengan taraf nyata 5 persen 0,05. Apabila signifikansi kurang dari 0,05, maka variabel bebas tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat dan berlaku pula sebaliknya. Uji Wald memberikan hasil bahwa semua variabel yang dimasukkan ke dalam model memiliki signifikansi kurang dari 0,05 yang berarti secara signifikan memiliki pengaruh terhadap terjadinya eksploitasi terhadap anak yang bekerja dari segi jam kerja. Nilai B yang bertanda positif + menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh secara positif terhadap variabel terikat, begitu pula sebaliknya. Fungsi regresi logistik yang diperoleh adalah: x g = 5,253 - 0,239 anak_B19051 – 0,140 anak_JK1 – 0,243 anak_UMUR + 0,049 anak_JART0 – 0,292 krt_JK1 - 0,009 krt_UMUR + 0,347 statuskawin1 – 0,715 KLUIanak1 + 0,319 tamatSDSMP1 + 0,690 tdktamatSD1-2,010 statuskerjaanak1 …………………………6.1       − 1 x x π π Tabel 28 Hasil estimasi koefisien model, nilai uji Wald, signifikansi, dan nilai odd ratio dari model regresi logistik faktor-faktor yang memengaruhi eksploitasi dari segi jam kerja di Indonesia, tahun 2011 Nama Variabel B Wald Signifikansi ExpB anak_B1P051 -0,239 19,067 0,00 0,788 anak_JK1 -0,140 10,103 0,00 0,870 anak_UMUR -0,243 494,549 0,00 0,784 anak_JART0 0,049 18,349 0,00 1,050 krt_JK1 -0,292 8,396 0,00 0,747 krt_UMUR -0,009 19,282 0,00 0,991 statuskawin1 0,347 13,382 0,00 1,415 KLUIanak1 -0,715 189,265 0,00 0,489 tamatSDSMP1 0,319 23,896 0,00 1,376 tdktamatSD1 0,690 101,069 0,00 1,994 statuskerjaanak1 -2,010 972,944 0,00 0,134 intersep 5,253 615,231 0,00 191,183 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Berdasarkan fungsi regresi logistik yang didapat, terlihat bahwa koefisien jumlah anggota rumah tangga bertanda positif, yang berarti bahwa semakin banyak anggota rumah tangga dimana anak yang bekerja tersebut tinggal, maka peluang anak untuk tereksploitasi dari segi jam kerja akan semakin besar. Sedangkan umur anak dan umur KRT yang bertanda negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi umur anak dan umur KRT, maka peluang anak untuk tereksploitasi dari segi jam kerja akan semakin rendah.