UpahGajiPendapatan Karakteristik Anak 1. Anak-anak yang Bekerja menurut Provinsi

Rata-rata upahgajipendapatan yang diterima anak-anak yang bekerja berdasarkan data SAKERNAS 2011 adalah Rp.171.190,00 perbulan. Besaran ini jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata upahgajipendapatan pada tahun 2010 yang sebesar Rp. 270.000,00 perbulan BPS, 2011. Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Gambar 12 Persentase anak yang bekerja menurut upahgajipendapatan dan umur di Indonesia, tahun 2011. Secara umum, sebanyak 72,37 persen anak menerima upahgajipendapatan maksimal Rp. 100.000,00 perbulan dan hanya 2,77 persen anak yang menerima upahgajipendapatan lebih dari Rp.1.000.000,00 perbulan. Gambar 12 menunjukkan variasi yang besar dalam upahgajipendapatan yang diterima oleh anak-anak yang bekerja. Dari gambar dapat dilihat bahwa proporsi anak-anak dengan pendapatan yang rendah 0-100 ribu akan cenderung lebih tinggi untuk umur yang lebih muda dibandingkan anak-anak yang lebih tua. Pada anak-anak bekerja yang berumur 10 tahun, penerima pendapatan maksimal Rp.100.000,00 perbulan sebanyak 95,35 persen. Persentase ini semakin menurun untuk anak-anak yang lebih tua, dan pada anak-anak yang berumur 17 tahun penerima pendapatan maksimal Rp.100.000,00 perbulan sebanyak 57,98 persen anak. Kondisi yang berlawanan terjadi pada kelompok upahgajipendapatan yang lebih tinggi. Pada kelompok upahgajipendapatan yang lebih tinggi, persentase anak penerima upahgajipendapatan cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan umur anak. Apabila diperbandingkan antarjenis kelamin, terlihat bahwa untuk persentase anak laki-laki yang mendapatkan upah rendah maksimal Rp.100.000,00 perbulan lebih besar dibandingkan anak perempuan. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok upah Rp.251.000-500.000 perbulan, dimana persentase anak perempuan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Namun demikian, secara umum tidak terdapat perbedaan yang terlalu besar dalam hal upahgajipendapatan yang diterima baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Tabel 8 Persentase anak yang bekerja menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal pada enam kelompok upahgajipendapatan di Indonesia, tahun 2011 Kelompok Upahgajipendapatan ribu rupiah Jenis Kelamin Daerah Tempat Tinggal Laki-laki Perempuan Perdesaan Perkotaan 0-100 74,26 69,32 80,01 51,22 101-250 4,49 5,15 4,05 6,65 251-500 8,43 12,35 7,08 17,80 501-750 6,26 7,32 4,13 13,69 751-1000 3,40 3,73 2,68 5,86 1000 3,17 2,14 2,05 4,78 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Persentase anak yang mendapat upah rendah maksimal Rp.100.000,00 perbulan di daerah perdesaan ternyata lebih tinggi di perdesaan dibandingkan daerah perkotaan. Di sisi lain, persentase yang menerima upah tinggi lebih rendah dibandingkan perkotaan. Hal tersebut dapat dimengerti, mengingat upah di daerah perkotaan umumnya lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan. Berdasarkan lapangan usaha, terlihat bahwa persentase terbesar anak yang menerima upah terendah terdapat pada sektor pertanian, yaitu 81,87 persen. Pertanian dikenal sebagai sektor tradisional. Pada umumnya pengusaha yang bergerak di sektor pertanian merupakan pengusaha kecil yang tidak mampu memberikan upah yang tinggi, terutama kepada tenaga kerja anak-anak, sehingga diduga mengakibatkan persentase anak-anak dengan upah rendah di sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Anak-anak yang bekerja di sektor nonpertanian cenderung mendapat upahgajipendapatan yang lebih baik dibandingkan sektor pertanian. Anak dengan pendapatan terendah di sektor ini persentasenya lebih rendah dibandingkan pada sektor pertanian. Sedangkan untuk tingkat pendapatan yang lebih tinggi, anak yang bekerja di sektor nonpertanian persentasenya lebih besar dibandingkan anak yang bekerja di sektor pertanian. Kondisi ini mungkin terjadi karena anak-anak yang bekerja di sektor nonpertanian lebih banyak yang tinggal di daerah perkotaan, sehingga upah yang diterima menjadi tinggi. Berbeda dengan sektor pertanian dimana anak-anak yang bekerja lebih banyak yang tinggal di daerah perdesaan sehingga mereka mendapatkan upah yang relatif lebih rendah. Tabel 9 Persentase anak yang bekerja menurut lapangan usaha dan jam kerja pada enam kelompok upahgajipendapatan di Indonesia, tahun 2011 Kelompok UpahGaji Pendapatan ribu rupiah Lapangan Usaha Jam Kerja Pertanian Nonpertanian 0-15 jam 16-30 jam 31-40 jam 40 jam 0-100 81,87 55,06 94,61 82,46 67,95 27,19 101-250 3,98 6,13 2,20 5,74 5,06 6,44 251-500 5,79 17,46 1,99 6,11 10,89 26,81 501-750 3,80 11,89 0,56 2,98 7,91 20,61 751-1000 2,61 5,18 0,24 1,39 4,63 10,77 1000 1,95 4,28 0,40 1,33 3,55 8,17 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Salah satu faktor yang diduga diperhitungkan dalam menentukan tinggi rendahnya upah adalah banyaknya jam kerja. Dari Tabel 8 terlihat bahwa lebih dari 90 persen anak-anak yang memiliki jam kerja 0-15 jam perminggu cenderung memiliki upah yang rendahmaksimal Rp.100.000,00 perbulan. Persentase kelompok penerima upah terendah cenderung menurun seiring dengan semakin meningkatnya jam kerja anak. Pada kelompok anak yang memiliki jam kerja lebih dari 40 jam perminggu, persentase anak yang mendapatkan upah maksimal Rp.100.000,00 sebesar 27,19 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok-kelompok upah yang lebih tinggi. Pada kelompok-kelompok upah yang lebih tinggi, semakin meningkat jam kerja perminggu, persentase anak penerima upah juga semakin meningkat. Namun demikian, yang perlu mendapat perhatian lebih adalah anak- anak dengan jam kerja lebih dari 40 jam perminggu. Walaupun mereka telah bekerja melebihi jam kerja normal, akan tetapi terdapat 60,44 persen anak-anak yang mendapatkan upahgajipendapatan kurang dari Rp.500.000,00 perbulan. Upahgajipendapatan ini masih sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi UMP tahun 2011 yang terendah, yaitu Rp. 675.000,00 perbulan yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Meskipun produktivitas anak diduga lebih rendah daripada produktivitas orang dewasa, namun perlu dikaji lebih dalam mengenai fenomena ini mengingat anak-anak ini telah bekerja lebih dari 40 jam perminggu. 4.2. Karakteristik Kepala Rumah Tangga KRT 4.2.1. Umur, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan KRT Pada umumnya, kepala rumah tangga KRT adalah laki-laki. Oleh karena itu, persentase terbesar anak-anak yang bekerja memiliki KRT laki-laki, yaitu 86,81 persen, sedangkan anak-anak bekerja dengan KRT perempuan sebesar 13,19 persen. Tabel 9 menunjukkan distribusi umur KRT dari anak yang bekerja yang dibedakan menurut jenis kelamin KRT. Sama seperti kondisi sebelumnya, baik pada KRT laki-laki maupun perempuan, persentase terbesar anak bekerja berada pada KRT yang berumur 36-50 tahun. Persentase ini lebih besar untuk KRT yang berjenis kelamin laki-laki daripada KRT yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan untuk kelompok umur lainnya, kondisi yang sebaliknya terjadi, persentase anak yang bekerja lebih banyak pada KRT yang berjenis kelamin perempuan. Tabel 10 Persentase anak yang bekerja menurut jenis kelamin dan status perkawinan pada empat kelompok umur KRT di Indonesia, tahun 2011 Umur tahun Jenis Kelamin Status Perkawinan Jumlah Laki-laki Perempuan SingleCerai Kawin =35 8,30 9,86 11,69 7,94 8,51 36-50 61,03 48,15 41,80 62,45 59,33 51-65 25,67 28,97 31,26 25,18 26,10 65 5,00 13,02 15,25 4,42 6,06 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: data diolah dari BPS, 2011 Sebanyak 84,87 persen anak bekerja memiliki KRT yang berstatus kawin, sedangkan sisanya atau 15,13 persen memiliki KRT yang berstatus singlecerai. Apabila distribusi umur KRT dibedakan menurut status perkawinan, terlihat bahwa baik pada KRT yang berstatus singlecerai dan yang berstatus kawin, persentase terbesar anak-anak bekerja terdapat pada KRT yang berumur 36-50 tahun. Persentase ini lebih besar untuk KRT yang berstatus kawin dibandingkan yang singlecerai. Sedangkan untuk kelompok umur lainnya, kondisi yang sebaliknya terjadi, persentase anak yang bekerja lebih banyak pada KRT yang berstatus singlecerai dibandingkan yang berstatus kawin.

4.2.2. Pendidikan KRT

Pendidikan KRT diduga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keputusan anak untuk bekerja. Pendidikan KRT bisa memengaruhi cara pandang KRT terhadap nilai anak. Anak bisa dipandang sebagai investasi, sebagai beban, maupun sebagai sumber pendapatan dengan ikut bekerja. Secara umum, pendidikan KRT dari anak-anak yang bekerja masih rendah. Lebih dari 70 persen anak bekerja memiliki KRT yang berpendidikan setingkat SD ke bawah. Dari Tabel 10 terlihat semakin tinggi tingkat pendidikan KRT, semakin rendah persentase anak yang bekerja. Hal ini merupakan salah satu bukti terjadinya lingkaran kemiskinan. KRT yang berpendidikan rendah dapat mempengaruhi produktivitasnya. Dengan produktivitas rendah, maka pendapatan