Persamaan dan Perbedaan antara serat Wulangreh dengan serat

clxxvi mulai dari lahir manusia, harus melaksanakan rukun islam yang lima, tidak boleh ditinggalkan, itu adalah sarana agung, bagi orang hidup di dunia, Dari uraian tembang di atas, memberikan ajaran bahwa manusia sebagi makhluk Tuhan harus selalu tunduk dan patuh. Manusia sebagai mahkluk Tuhan yang memiliki keyakinan terhadap agama, harus diwajibkan untuk melaksanakan syariat dan ajaran yang telah ditentukan. Yakni pada agama Islam yang dalam ajarannya terdapat tentang kewajiban dalam menjalankan syariatnya berupa rukun Islam yang berjumlah lima. Dalam serat Wulangreh bait di atas menjelaskan tentang menjelaskan tentang kewajiban manusia untuk bisa memperoleh kebahagiaan hidup di dunia. Sarana yang baik untuk memperoleh kebahagiaan bagi orang yang menganut Agama Islam yaitu dengan menjalankan rukun Islam. Rukun Islam merupakan rukun agama Islam yang berjumlah lima, yaitu sahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji. Dalam larik tembang di atas, selain memberikan ajaran tentang Islam juga merupakan syiar terhadap agama untuk membentuk pribadi manusia yang baik.

4. Persamaan dan Perbedaan antara serat Wulangreh dengan serat

Wedhatama 1. K.G.P.A.A. Mangkunagara IV dan teks Serat Wedhatama Dalam masyarakat Jawa Serat Wedhatama merupakan karya sastra yang terkenal baik dijamannya maupun sampai sekarang. Serat Wedhatama yang clxxvii menurut para ahli merupakan karangan dari K. G. P. A. A. Mangkunegaran IV pada jamannya sangat terkenal baik di kalangan Mangkunegaran maupun dimasyarakat. Berikut di sajikan tentang Mangkunegara dan Teks Serat Wedhatama secara sekilas. Mangkunegara IV merupakan keturunan dari K. P. H. Hadiwidjojo di Kartosuro dengan puteri Sri Mangkunagara II. Mangkunegara IV lahir pada sabtu malam menjelang Akhad legi tanggal 1 sapar taun Jumakir 1736 atau tahun Masehi 1809. Mangkunegara IV pada masa kecilnya bernama R.M Soedira yang pada waktu anak-anak diasuh oleh kakeknya Sri Mangkunegara II. Pada usia 15 tahun R.M Soedira masuk menjadi Taruna Infanteri Legium Mangkunagaran. R.M. Soedira menikah dengan puteri K.P.H. Soerjomataram yang kemudian bergelar R. M.H. Gondokusumo. Dari bakat keahliannya memimpin, kemudian diangkat menjadi menantu dan dikawinkan dengan puteri sulung Mangkunagara III yang bernama Ajeng Doenoek. Ketika Mangkunagara III wafat, R.M.H Gondokusumo diangkat menjadi penggantikanya pada tanggal 14 robiul awal tahun Jimawal atau 24 Maret 1853. Ketetapan menjadi K.G.P.A.A. Mangkunagara IV pada waktu berusia 47 tahun, jatuh pada hari Rabu Kliwon tanggal 27 Sura tahun Jimakir 1786 Supanta, 2008: 103. Beliau wafat pada tanggal 2 September 1881 atau 8 Syawal 1810 tahun Jumakir, windu Hadi hari jum’at. Beliau dimakamkan di Astana Giri Layu terletak di lereng Lawu Anjar Any, 1993 : 83 . Secara etimologi wedhatama berasal dari kata rangkaian dua kata yaitu kata wedha yang berarti ngelmu, paugeran,atau ajaran ‘pengetahuan atau clxxviii ajaran’, dan tama yang berarti misuwur ‘utama, luhur’. Dari rangkaian dua kata di atas dapat disimpulkan bahwa Wedhatama berarti suatu ajaran tentang ilmu mengahdapi hidup dan cara-cara bersikap untuk dirinya sendiri, dengan sesame maupun dengan Tuhan. Jadi Serat Wedhatama adalah ajaran tentang budi luhur. Ajaran dari serat Wedhatama semula ditujukan untuk keluarga raja yaitu untuk putra-putri Mangkunagaran, supaya dalam menempuh hidup, dan dalam bermasyarakat mampu menunjukan sikap-sikap yang utama, sesuai dengan kedudukannya sebagai keluarga raja. Dari isi ajaran yang terdapat dalam Wedhatama yang bersifat umum sehingga Wedhatama sampai juga pada kalangan rakyat, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Berdasar pada sumber tentang Wedhatama yaitu pada buku Wedhatama Winardi cetakan ke 2 terbitan dari citra Jaya Surabaya 1985. Dijelaskan bahwa serat Wedhatama karangan Mangkunagara IV ditulis dengan huruf jawa dan berbentuk tembang. Jumlah tembang yang ada pada Serat Wedhatama berjumlah lima tembang Macapat yakni tembang Pangkur, Sinom, Pocung, gambuh, dan Kinanthi. Jumlah bait atau pada pada serat Wedhatama Winardi berjumlah 100 seratus bait. Berikut jumlah pada masing-masing tembang, pada tembang Pangkur memiliki 14 bait tembang, Sinom memiliki 18 bait tembang, pocung memiliki 15 bait tembang, pupuh Gambuh memiliki 35 bait, dan pupuh Kinanthi memiliki 18 bait tembang. Dalam Wedatama pencantuman tahun penciptaan tidak didapati dalam teksnya. Tidak seperti karya sastra yang lain yang selalu dicantumkan pada bait clxxix terakhir. Sehingga sulit juga ditentukan kapan Serat Wedatama itu dibuat. Penyusun hanya dapat memperkirakan bahwa Wedatama ditulis pada waktu berkuasanya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV, yaitu antara tahun 1782 sampai dengan tahun 1810 tahun Jawa atau dalam Masehu 1853 sampai dengan 1881.

2. Konvensi dalam Serat wedhatama