Parameter Oseanografi Perairan Kabupaten Bangka 1 Suhu permukaan laut

20 Gambar 7 Sebaran SPL perairan Kabupaten Bangka tahun 2005 – 2013 21 2Klorofil-a Tingkat kesuburan perairan dapat diduga dengan melihat sebaran klorofil-a di perairan tersebut. Klorofil-a merupakan jenis klorofil yang lebih banyak ditemukan pada fitoplankton. Fitoplankton merupakan organisme planktonik yang mampu menghasilkan senyawa organik melalui reaksi fotosintesis sehingga dikatakan sebagai produsen primer Nontji 2005. Populasi fitoplankton pada suatu perairan selanjutnya akan berpengaruh terhadap produktivitas sekunder. Sebaran klorofil-a di perairan Kabupaten Bangka tahun 2005 – 2013 disajikan pada Gambar 9. Dari gambar tersebut terlihat sebaran klorofil-a beerfluktuasi setiap bulannya, dengan kisaran antara 0,27 – 1,21 mgm 3 . Rerata bulanan sebaran klorofil-a disajikan pada Lampiran 3. Kandungan klorofil–a cenderung meningkat pada bulan Desember dan Januari atau saat musim Barat serta pada bulan Juni dan Juli atau saat musim Timur. Tinggi kandungan klorofil- a pada bulan Desember dan Januari disebabkan oleh tingginya curah hujan pada bulan-bulan tersebut. Hasil penelitian Nababan dan Simamora 2012 menemukan konsentrasi klorofil-a di bagian Utara Pulau Bangka berkisar antara 0,23 – 0,84 mgm3, dengan nilai tertinggi terjadi pada musim Barat dan nilai terendah pada musim Timur. Hal ini diduga karena curah hujan mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sekitar pesisir daerah tersebut. Pada tahun 2012 dan 2013 sebaran klorofil-a cenderung rendah dan tidak memiliki perubahan yang signifikan setiap bulannya. Kondisi ini diduga akibat pengaruh rendahnya curah hujan yang terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Sebagaimana diketahui bahwa curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan kandungan nutrien dari deposisi atmosfir maupun aliran sungai ke perairan. Berdasar data stasiun BMKG Pangkalpinang BPS 2016 diketahui bahwa pada tahun 2012 dan 2013 curah hujan di Provinsi Bangka Belitung yaitu 2.018 mm dan 2.839 mm. Nilai curah hujan tersebut lebih rendah dibanding tahun 2010 dan 2011 yang masing-masing mencapai 3.444 mm dan 2.921 mm. Berdasarkan data rerata bulanan sebaran klorofil-a terlihat bahwa kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan Desember 0.88 mgm 3 dan terendah terjadi pada bulan Maret 0,43 mgm 3 dan Oktober 0,44 mgm 3 seperti terlihat pada Gambar 10. Dari gambar tersebut terlihat bahwa klorofil-a relatif tinggi pada dua bulan awal musim Barat Desember dan Januari dan dua bulan awal musim Timur Juni dan Juli. Gambar 10 Rerata bulanan sebaran klorofil-a di perairan Kabupaten Bangka 22 Gambar 9 Sebaran klorofil-a di perairan Kabupaten Bangka tahun 2005 - 2013 23 2.4 Pembahasan 2.4.1 Hubungan Sebaran SPL dengan Klorofil-a Data SPL dan klorofil-a pada suatu perairan dapat digunakan untuk menduga terjadi upwelling. Hasil penelitian Kemili dan Mutiara 2012 di perairan Selatan Jawa menemukan bahwa upwelling terjadi pada saat perubahan sebaran klorofil-a berbanding terbalik dengan perubahan sebaran SPL. Daerah upwelling memiliki suhu perairan yang lebih rendah dibanding suhu perairan sekitarnya dan memiliki sebaran klorofil-a yang tinggi. Dari Gambar 11 terlihat bahwa SPL dan klorofil-a di perairan Kabupaten Bangka pada Musim Barat MB, yaitu Bulan Desember atau Januari, memiliki hubungan yang terbalik dimana ketika suhu relatif rendah maka kandungan klorofil-a menjadi rendah. Pada kisaran waktu tersebut diduga terjadi upwelling. Sebaran klorofil-a pada selain Musim Barat searah atau berbanding lurus dengan sebaran SPL. Menurut Nontji 2005 SPL diantaranya dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari. Sinar matahari diperlukan oleh fitoplankton sebagai energi yang akan mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik. Hal ini juga menyebabkan jumlah fitoplankton meningkat ketika SPL meningkat. Hasil uji korelasi Pearson dengan menggunakan data bulanan tahun 2005 – 2013 menunjukan bahwa sebaran SPL dan sebaran klorofil-a memiliki nilai korelasi 0,022. Hal ini menunjukan variabel SPL memiliki korelasi positif dengan jumlah klorofil-a, meskipun korelasinya sangat rendah. Hubungan SPL dengan klorofil-a memiliki nilai p-value 0,821 yang menunjukkan hubungan kedua variabel tersebut tidak signifikan. Hasil uji signifikansi korelasi disajikan pada Lampiran 4. Hasil penelitian yang menghitung korelasi antara sebaran SPL dengan klorofil-a di perairan Palabuhanratu menunjukan tingkat korelasi yang rendah serta hubungan negatif.

2.4.2 Hubungan Produksi Cumi-cumi dengan Parameter Oseanografi

Suhu merupakan parameter utama yang menduduki rangking teratas mempengaruhi distribusi dan keberadaan ikan pada suatu perairan. Setiap jenis ikan memiliki karakteristik penyesuaian acclimatization kisaran suhu optimum dan batas toleransi suhu yang berbeda-beda. Fenomena seperti ini dapat terjadi seiiring dengan perubahan musim. CPUE cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka memiliki korelasi yang rendah dengan SPL 0,22 meskipun nilai korelasinya berbanding lurus atau positif. Menurut Misbahuddin dan Hasan 2013 nilai r pada kisaran 0,2 r 0,4 menunjukan korelasi yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa variabel CPUE cumi-cumi hanya 22 ditentukan oleh SPL, sedang 88 ditentukan oleh faktor lainnya. Hubungan CPUE dengan SPL memiliki nilai p-value 0,022 yang menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut signifikan. Hasil uji signifikansi korelasi disajikan pada Lampiran 4. Menurut Halim 2005 kisaran suhu yang disukai oleh ikan akan mempengaruhi kondisi metabolisme ikan tersebut. Hasil korelasi yang rendah ini sesuai dengan hasil penelitian Setyohadi 2011 yang menyatakan bahwa SPL tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Hasil penelitian Simbolon et al. 2009 juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan hubungan antara SPL dengan hasil tangkapan ikan cakalang di Teluk Palabuhanratu. 24 Gambar 11 Hubungan sebaran SPL dengan klorofil-a di perairan Kabupaten Bangka tahun 2005-2013 25 Dari Gambar 12 terlihat bahwa nilai CPUE tertinggi umumnya terjadi pada musim peralihan 2 MP2. Suhu rata-rata pada MP2 berkisar antara 29,58- 30,09 C. Berdasarkan hal ini maka diduga cumi-cumi menyukai kisaran suhu antara 29 – 30 C sebagai habitat hidupnya karena akan mendukung metabolisme kehidupan cumi-cumi. Suhu merupakan salah satu faktor oseanografi yang mencirikan massa air di lautan. Pola distribusi suhu permukaan laut dapat digunakan untuk mengidentifikasi parameter-parameter laut seperti arus laut, upwelling dan front. Simbolon 2011 menyatakan pengaruh suhu perairan terhadap sebaran ikan sangat tergantung pada variabilitas suhu itu sendiri. Jika sebaran suhu perairan masih berada pada kisaran nilai yang dapat ditoleransi ikan, maka suhu perairan umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap keberadaan ikan. Hal ini diduga tidak terjadi pada cumi-cumi yang berada di perairan Kabupaten Bangka dimana SPL berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan cumi-cumi. Konsentrasi klorofil-a di laut dapat dijadikan gambaran terdapatnya unsur nutrien yang tinggi pada suatu wilayah perairan. Klorofil-a menempati ranking kedua setelah suhu karena tingkat kepentingan nutrien tidak lebih tinggi dari suhu bagi kehidupan ikan di laut. Keberadaan klorofil-a yang tinggi atau berlimpah dapat diidentifikasi dengan adanya fenomena upwelling offshore dan onshore dan thermal front. Kandungan klorofil-a yang tinggi pada perairan akan meningkatkan produktivitas zooplankton sehingga akan tercipta rantai makanan yang menunjang tingginya produktivitas ikan di perairan. Data dan informasi keberadaan upwelling dan thermal front menunjukkan tingginya kandungan unsur zat hara di perairan tersebut. Informasi ini menunjukkan keberadaan ikan, umumnya ikan pelagis kecil, dalam jaring rantai makanan. Tempat terjadinya upwelling dan thermal front dapat diprediksi sebagai daerah penangkapan ikan fishing ground. Sebaran klorofil-a di perairan Kabupaten Bangka memiliki korelasi yang sangat rendah dan berbanding terbalik dengan CPUE cumi-cumi. Nilai korelasi antara sebaran klorofil-a dengan CPUE cumi-cumi yaitu -0,041. Hubungan CPUE dengan klorofil-a memiliki nilai p-value 0,671 yang menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut tidak signifikan . Hasil uji signifikansi korelasi disajikan pada Lampiran 4. Gambar 13 menyajikan hubungan CPUE cumi-cumi dengan klorofil-a di perairan Kabupaten Bangka. Rendahnya korelasi tersebut karena cumi-cumi bukan termasuk dalam kelompok hewan herbivora. Cumi-cumi termasuk golongan hewan karnivora karena memakan udang dan ikan-ikan pelagis kecil Barnes 1987, rebon mysidacea, diatomae, protozoa dan larva kepiting juga merupakan komponen makanan cumi-cumi Tasywiruddin 1999. Berdasar uji korelasi berganda antara CPUE cumi-cumi dengan sebaran klorofil-a dan SPL diketahui bahwa korelasinya rendah. Nilai korelasi yang diperoleh yaitu 0.225. Korelasi yang rendah antara CPUE dengan dua parameter oseanografi tersebut diduga disebabkan adanya parameter lain yang lebih berpengaruh terhadap CPUE cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka seperti faktor oseanografi lainnya maupun faktor teknis penangkapan. 26 Gambar 12 Hubungan CPUE cumi-cumi dengan SPL di perairan Kabupaten Bangka tahun 2005-2013