108 lainnya juga perlu diberi pelatihan, pendampingan dan pembinaan yang
terkait dengan aspek pengetahuan dan keterampilan usaha penangkapan yang berkelanjutan atau mata pencaharian alternatif untuk mengurangi tekanan
terhadap kondisi sumberdaya cumi-cumi.
9 Pelaksanaan kebijakan pengelolaan yang meliputi pengaturan upaya
penangkapan, pengaturan ukuran minimum yang boleh ditangkap, standarisasi alat tangkap, dan pengaturan daerah penangkapan. Pelaksanaan
kebijakan dimulai dengan menyusun instrumen hukum dalam bentuk penyusunan peraturan yang mengatur upaya penangkapan cumi-cumi, ukuran
minimum yang boleh ditangkap, standarisasi alat tangkap dan pengaturan daerah penangkapan. Setelah ditetapkan sebagai peraturan selanjutnya
dilakukan sosialisasi peraturan tersebut kepada nelayan dan stakeholder lainnya agar diketahui dan dipatuhi ketentuannya.
10 Pendataan jumlah dan ukuranjenis kapal dan alat tangkap cumi-cumi, serta jumlah dan nilai produksi cumi-cumi hasil tangkapan secara berkala harian
dan bulanan. Pendataan diperlukan sebagai upaya untuk mengetahui
perkembangan keragaan perikanan cumi-cumi yang dicapai. Pencapaian keragaan tersebut akan berguna sebagai bahan evaluasi apakah tujuan
pengelolaan peningkatan stok cumi-cumi sudah tercapai atau belum sehingga dapat dilakukan langkah-langkah lanjutan untuk memperbaikimeningkatkan
hasil yang diperoleh.
11 Pemantauan, pengendalian dan pengawasan kebijakan dan operasional pengelolaan.
Pemantauan, pengendalian dan pengawasan perlu dilakukan untuk memastikan aturan yang ditetapkan dipatuhi oleh pelaku usaha
penangkapan. Pengawasan sebaiknya dilakukan secara terpadu, baik oleh pengawas Dinas Kelautan dan Perikanan maupun instansi terkait lainnya
seperti Polisi Air dan Udara, serta Perhubungan Laut. Pengawasan akan lebih efektif dilakukan dengan melibatkan nelayan dan masyakarat karena mereka
berada di lapangan sepanjang waktu.
8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN
8.1 Simpulan Umum
1 Suhu permukaan laut di perairan Kabupaten Bangka bervariasi menurut
waktu, dengan kisaran suhu pada periode 2005 – 2013 antara 27,1 – 31,7 C.
Sebaran klorofil-a pada tahun 2005 – 2013 berfluktuasi setiap bulannya dengan kisaran antara 0,27 – 1,21 mgm
3
. CPUE cumi-cumi memiliki
korelasi positif yang rendah dengan SPL, namun korelasinya signifikan. Nilai CPUE tertinggi umumnya terjadi pada suhu rata-rata berkisar antara
29,58 – 30,09 C. Diduga cumi-cumi menyukai kisaran suhu antara 29 – 30
C sebagai habitat hidupnya. Sebaran klorofil-a memiliki korelasi negatif yang
sangat rendah dengan CPUE cumi-cumi dan korelasinya tidak signifikan. 2
Pertumbuhan cumi-cumi P. chinensis di perairan Kabupaten Bangka bersifat allometrik negatif baik untuk jantan maupun betina. Pertumbuhan cumi
betina lebih cepat dibanding cumi jantan. Panjang maksimum cumi-cumi yang tertangkap di perairan Kabupaten Bangka yaitu 421,71 mm, koefesien
pertumbuhan 0,47 per bulan, dan umur teoritis atau t
nilainya 0,17 bulan. Pada 4 bulan pertama pertumbuhan panjang cumi-cumi sangat cepat yaitu
84,89 mm per bulan. Penangkapan cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka sudah mencapai tangkap lebih dengan laju eksploitasi 0,86 sudah melebihi
batas penangkapan optimum E
opt
0.5. 3
Penangkapan cumi-cumi sudah mengalami tangkap lebih secara biologi dan berdasarkan analisis optimasi statik dan optimasi dinamik juga sudah
mengalami tangkap lebih secara ekonomi. Berdasar analisis optimasi statik tingkat biomassa cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka pada kondisi
MEY dan MSY masing-masing 1.684,21 ton dan 1.620,07 ton per tahun. Produksi pada kondisi MEY dan MSY masing-masing 767,13 ton dan 768,33
ton per tahun. Upaya penangkapan pada kondisi MEY dan MSY masing- masing 5.544 trip dan 5.773 trip per tahun.
4 Dari percobaan penempatan 1 paket atraktor cumi diketahui jumlah telur
cumi-cumi yang menempel dipengaruhi oleh musim penangkapan, meskipun cumi-cumi memijah sepanjang tahun. Musim puncak pemijahan diduga
terjadi pada bulan November atau satu bulan setelah puncak musim penangkapan yang terjadi pada bulan Oktober. Dari percobaan penetasan
telur cumi-cumi diperoleh hatcing rate berkisar antara 24-37. Masa inkubasi telur sampai menetas berkisar antara 19-30 hari. Telur yang menetas
langsung memiliki organ tubuh yang lengkap.
5 Hasil pengolahan model awal dengan menggunakan sistim dinamik diperoleh
kinerja model yang membentuk pola asimptotik positif dalam bentuk model regresi. Nilai kinerja model awal stok cumi-cumi yaitu 1.900,85 tontahun,
dengan jumlah upaya tangkap 5.700 trip, dan produksi per trip 0,144 tontrip. Pada model awal diperoleh pendapatan sebesar Rp 5,09 jutatrip, biaya
produksi Rp 2,21 juta per trip, dan keuntungan Rp 2,88 juta per trip.
6 Penilaian kinerja model peningkatan stok cumi-cumi dengan introduksi
atraktor cumi dilakukan dengan membuat simulasi berdasar tiga faktor yaitu hatching rate
, mortalitas alami, dan zonasi perairan penempatan atraktor cumi.
110 Penempatan atraktor cumi pada zona 1 diprediksi akan meningkatkan
ketersediaan stok antara 0,78 - 39,63 dan pada zona 2 peningkatannya antara 7,91 - 52,33 dari kondisi stok cumi-cumi awal yaitu 1.900,85 ton.
Produksi per trip diprediksi akan meningkat antara 0,69 – 52,08 dari tingkat produksi awal yaitu 0,144 tontrip. Pendapatan per trip diprediksi akan
meningkat antara 0,79 – 52,46 dari pendapatan awal yaitu Rp 5,09 jutatrip. Keuntungan per trip diprediksi akan meningkat antara 1,39 – 92,36 dari
keuntungan awal yaitu Rp 2,88 juta per trip.
7 Penempatan atraktor cumi di perairan akan membentuk habitat baru bagi
cumi-cumi sehingga memiliki potensi meningkatkan stok sebagaimana upaya pelepasan benih hasil budidaya ke alam melalui stock enhancement atau
restocking
.
8.2 Saran
Dalam rangka implementasi teknologi atraktor cumi untuk meningkatkan ketersediaan stok cumi-cumi ini disarankan :
1 Penelitian lanjutan untuk menganalisis biaya-manfaat benefit cost analysis
pemasangan atraktor cumi-cumi dalam skala besar. 2
Penelitian lanjutan untuk memetakan perairan pesisir yang dapat dijadikan lokasi penempatan atraktor cumi. Persyaratan lokasi penempatan atraktor
cumi yaitu perairan pesisir yang merupakan lokasi tempat bertelur cumi-cumi sebelumnya.
3 Lokasi penempatan atraktor cumi sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan
konservasi guna mencegah terjadinya kerusakan atraktor dan gangguan terhadap telur yang menempel dari kegiatan manusia.
4 Penetapan kelembagaan yang mengelola kawasan penempatan atraktor cumi
yang berfungsi sebagai pengelola kawasan. 5
Penyusunan regulasi yang mengatur pembatasan upaya penangkapan, ukuran minimum cumi-cumi yang boleh ditangkap, standarisasi alat tangkap dan
pengaturan daerah penangkapan cumi-cumi.