1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah diketahui bahwa Air Susu Ibu ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. ASI mengandung protein, karbohidrat, dan lemak dengan proporsi
yang tepat untuk kebutuhan bayi. ASI merupakan sumber terbaik dari zat-zat gizi tersebut dalam enam bulan pertama. ASI juga mengandung asam lemak khusus,
enzim pencernaan, vitamin, dan hormon yang dibutuhkan bayi pada enam bulan pertama. ASI juga dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Moore
dan De Costa, 2006 Pentingnya ASI bagi bayi pada enam bulan pertama kemudian
memunculkan program ASI eksklusif. Badan Kesehatan Dunia WHO menganjurkan program ASI eksklusif selama enam bulan karena terbukti bayi
yang memperoleh ASI eksklusif menjadi lebih cerdas, sehat, dan tidak mudah terinfeksi penyakit Sutomo dan Anggarini, 2010. Di Indonesia, pemerintah juga
telah menetapkan program pemberian ASI eksklusif. Ketetapan tersebut tertuang dalam
Keputusan Menteri
Kesehatan Republik
Indonesia Nomor
450MENKESSKIV2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu ASI secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 33
Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dijelaskan bahwa ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 enam bulan,
tanpa menambahkan danatau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Oleh karena itu, menyusui menjadi suatu aktivitas rutin ibu setelah melahirkan.
Setelah pemberian ASI eksklusif, yaitu selama enam bulan pertama, pemberian ASI dapat dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun. Hal ini
sebagaimana yang direkomendasikan oleh World Health Organization WHO dan United International Childrens Emergency Fund UNICEF dalam Global
Strategi for Infant and Young Child Feeding, bahwa salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai tumbuh kembang anak yang optimal selain
memberikan ASI secara eksklusif sejak bayi lahir sampai bayi berusia enam bulan adalah meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih
Depkes RI, 2006 dalam Kusumaningsih, 2009. Selain itu, di dalam Al- Qur’an
juga dianjurkan bahwa selambat-lambatnya waktu menyapih adalah setelah anak berumur dua tahun. Firman Allah SWT dalam Surat Luqman Ayat 14 sebagai
berikut:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-
Ku lah kembalimu.”
Menyusui adalah kegiatan alamiah memberikan ASI kepada bayi atau balita dari payudara ibu Fredregill, 2010. Kegiatan menyusui sangat penting
dilakukan, karena dengan menyusui, ibu dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bayi.
Selain itu, menyusui juga memiliki banyak manfaat, baik bagi bayi maupun bagi ibu. Manfaat bagi bayi antara lain mengurangi frekuensi penyakit infeksi, dapat
melancarkan pencernaan, memperkecil kejadian kelumpuhan, mengurangi alergi, memperkecil risiko obesitas, dan memperkecil risiko kerusakan gigi. Sedangkan
manfaat bagi ibu antara lain mempermudah penurunan berat badan, lebih dekat dan lebih akrab dengan bayi, serta mengurangi risiko kanker payudara Moore
dan De Costa, 2006. Pada umumnya, menyusui merupakan kegiatan yang dilakukan setiap hari
oleh ibu pasca melahirkan. Kegiatan menyusui dilakukan selama berjam-jam dan berkali-kali setiap harinya selama masa menyusui. Menurut Fredregill 2010,
menyusui sebaiknya dilakukan sesering mungkin sesuai dengan permintaan bayi karena hanya bayi yang tahu kapan dia lapar dan akan memberikan isyarat saat
dia siap untuk makan. Biasanya bayi baru lahir ingin minum ASI setiap 2-3 jam atau 10-12 kali dalam 24 jam Bahiyatun, 2009. Selain itu, dalam buku An Easy
Guide to Breastfeeding juga disebutkan bahwa menyusui dilakukan minimal 2 jam sekali, namun waktu menyusui ini tidak boleh dijadwal secara ketat karena
semakin sering bayi menyusu, maka akan menstimulasi payudara ibu untuk memproduksi lebih banyak ASI U.S. Departement of Health and Human
Services Office on Woman’s Health, 2006. Menyusui dilakukan selama bayi mau, rata-rata 15 sampai 30 menit pada
beberapa minggu pertama Fredregill, 2010. Sutjiningsih 1997 menyatakan bahwa setelah produksi ASI cukup, bayi dapat disusukan pada kedua buah
payudara secara bergantian, tiap payudara sekitar 10-15 menit tidak boleh lebih dari 20 menit dan Fredregill 2010 menyatakan bahwa untuk mengosongkan
payudara, sangat jarang dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit per payudara. Semakin sering menyusui, selain kebutuhan ASI bayi terpenuhi, juga untuk
memberikan isyarat kepada tubuh ibu untuk memproduksi ASI lebih banyak sebagai persiapan kebutuhan pertumbuhan bayi Fredregill, 2010.
Setiap ibu yang menyusui harus berada pada posisi yang tepat dan dalam kondisi nyaman karena hal ini akan mempengaruhi proses laktasi Roesli, 2009.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Behrman 2000 dalam Rahayu dan Sudarmiati 2012 bahwa kegagalan dalam menyusui seringkali disebabkan oleh
kesalahan posisi menyusui sehingga menyebabkan puting ibu lecet, lalu ibu enggan untuk menyusui. Akibatnya, produksi ASI menurun dan bayi tidak puas
menyusu. Selama kegiatan menyusui berlangsung, ibu dipaksa untuk memposisikan diri dan bayi secara tepat agar proses menyusui dapat berjalan
lancar. Ibu akan berada pada posisi tertentu selama 20-30 menit jika rentang waktu menyusui 10-15 menit per payudara dan berkali-kali sesering mungkin,
sesuai dengan permintaan bayi setiap harinya hingga beberapa bulan selama masa pemberian ASI. Menurut Widodo 2011, posisi yang paling banyak
digunakan ibu saat menyusui terutama pada masa-masa awal menyusui adalah posisi duduk berupa posisi cradle hold, cross cradle, dan football hold.
Posisi ibu selama menyusui menentukan bagaimana postur tubuh ibu selama kegiatan menyusui berlangsung. Edy dan Samad 2011 menyebutkan
bahwa postur tubuh merupakan salah satu dari hal yang paling sering dihubungkan dengan faktor risiko ergonomi. Suryana 2001 dalam Rahmawati
dan Sugiharto 2011 menyatakan bahwa seorang pekerja bila bekerja tidak pada posisi ergonomis, maka akan cepat merasa lelah, sering mengeluh sakit leher,
sakit pinggang, rasa semutan, pegal-pegal di lengan dan tungkai serta gangguan kesehatan lainnya.
Sebelum masuk ke dalam keluhan-keluhan tersebut, maka pekerja yang bekerja tidak pada posisi ergonomis, akan terlebih dahulu merasakan
ketidaknyamanan, karena menurut Stanton et. al 2005, ketidaknyamanan merupakan tanda peringatan dari tubuh yang menunjukkan adanya masalah
ketidaksesuaian pekerja dengan pekerjaan, artinya ada faktor pekerjaan yang harus diubah. Ketidaknyamanan ini mempunyai dampak jangka panjang yang
berupa perubahan patologis dalam jaringan otot maupun jaringan lunak yang lain. Secara umum, rasa sakit datang seiring dengan adanya beban fisik dalam waktu
singkat dan kurangnya waktu istirahat. Pada poin ini, bukan ketidaknyamanan lagi yang terjadi, tetapi lebih kepada cedera fisik dan proses penyakit Pheasant,
2003. Oleh karena itu, prinsip ergonomi juga harus diterapkan pada ibu menyusui.
Ergonomi adalah ilmu tentang kerja, dimana mempertimbangkan faktor manusia sebagai pelaku pekerjaan, bagaimana cara melakukan pekerjaan tersebut,
peralatan yang digunakan, tempat dilakukannya pekerjaan, dan aspek psikososial dari situasi pekerjaan Pheasant, 2003. Menurut Occupational Safety and Health
Administration OSHA, ergonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana menyesuaikan kondisi tempat kerja dan tuntutan pekerjaan dengan
kemampuan pekerja. The Joy Institute 1998 dalam Widhyasari 2011 mengungkapkan tujuan akhir dari ergonomi adalah meningkatkan produktivitas,
keselamatan, kenyamanan dan kualitas hidup. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kenyamanan dapat tercipta salah satunya dengan menerapkan prinsip ergonomi.
Oleh karena itu, dalam banyak penelitian sering dikaitkan antara kenyamanan dengan ergonomi.
Kenyamanan adalah unsur perasaan manusia yang muncul sebagai akibat minimalnya atau tidak adanya gangguan pada sensasi tubuh Manuaba, 1993
dalam Rusdjijati dan Widodo, 2008. Kenyamanan sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan antara faktor dalam diri manusia dengan faktor lingkungan yang
mempengaruhinya. Dengan kondisi yang nyaman, membuat manusia merasa sehat, betah melakukan aktivitas, dan mampu berprestasi Grandjean, 1993 dalam
Rusdjijati dan Widodo, 2008. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah munculnya ketidaknyamanan.
Secara umum ketidaknyamanan digunakan dalam ilmu ergonomi untuk menunjukkan suatu masalah fisik antara pekerja dengan pekerjaan Karwowski
dan Marras, 2003. Menurut Stanton et. al 2005, adanya sensasi ketidaknyamanan merupakan tanda peringatan dari tubuh bahwa ada beberapa
faktor dari pekerjaan yang harus diubah. Banyak cedera muskuloskeletal yang berawal dari ketidaknyamanan. Jika dibiarkan, maka ketidaknyamanan ini akan
menjadi faktor risiko untuk memunculkan atau meningkatkan keparahan gejala, dan dari ketidaknyamanan ini akan berkembang menjadi sakit atau
Musculoskeletal Disorders MSDs. Dalam Karwowski dan Marras 2003 juga disebutkan
bahwa Work-Related
Musculoskeletal Disorders WMSDs
merupakan sesuatu yang kompleks dan etiologinya kurang jelas sehingga menyebabkan kesulitan dalam melakukan penilaian faktor risiko. Oleh karena itu,
secara luas dipercaya bahwa ketidaknyamanan merupakan indikator risiko terjadinya WMSDs. Stanton et. al 2005 juga menambahkan bahwa
ketidaknyamanan juga akan mempengaruhi work performance, kuantitas dan kualitas kerja menurun bahkan dapat meningkatkan error rates.
Pada ibu menyusui, ketidaknyamanan posisi dapat menjadi salah satu hal yang mempengaruhi aktivitas proses pemberian ASI seperti berkurangnya durasi
menyusui atau pemberian ASI menjadi tidak maksimal. Jika ibu sering mengalami ketidaknyamanan, selain akan mengganggu aktivitas pemberian ASI,
juga akan memunculkan risiko terjadinya kesakitan pada ibu atau berkembang menjadi MSDs karena aktivitas menyusui dilakukan ibu berulang-ulang setiap
hari. Munculnya ketidaknyamanan posisi pada saat menyusui diperkirakan
disebabkan karena prinsip ergonomi belum diterapkan dalam kegiatan menyusui yang dilakukan oleh ibu menyusui pada umumnya, padahal menyusui merupakan
kegiatan sehari-hari ibu yang baru melahirkan. Sehingga masalah yang kemudian muncul adalah ketidaknyamanan ibu selama kegiatan menyusui berlangsung
sebagai akibat dari posisi menyusui ibu yang bertahan selama 20-30 menit berkali-kali setiap hari. Hal ini diperkuat dengan hasil studi pendahuluan yang
dilakukan pada bulan Januari 2013 terhadap 10 ibu menyusui di Kelurahan Pisangan.
Studi pendahuluan dilakukan dengan mengobservasi posisi ibu saat menyusui, dimana 80 ibu lebih sering menggunakan posisi duduk saat
menyusui. Selanjutnya, dilakukan pengukuran kenyamanan posisi duduk ibu saat menyusui dengan kuesioner Body Part Discomfort Scale yang diisi oleh ibu
setelah ibu selesai menyusui. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa ada dua macam sikap duduk
ibu saat menyusui, yaitu duduk di atas kursi sofa 25 dan duduk tanpa menggunakan kursi yaitu duduk di atas lantai dengan danatau tanpa alas duduk
75. Berdasarkan hasil observasi, ditemukan bahwa ibu yang duduk dengan menggunakan kursi saat menyusui tidak menggunakan sandaran punggung dan
sandaran tangan yang ada. Selain itu juga ditemukan bahwa postur tubuh ibu saat menyusui dengan duduk tersebut tidak berada pada postur duduk yang baik.
Berdasarkan hasil analisis postur dengan menggunakan metode Rapid Upper Limb Assesment RULA diperoleh bahwa 75 postur duduk ibu saat menyusui
berada pada level risiko tinggi dan 25 berada pada level risiko sedang. Berdasarkan kuesioner Body Part Discomfort Scale, dari 80 ibu yang
menyusui dengan duduk, 75 ibu 6 ibu: 1 ibu yang duduk di sofa dan 5 ibu yang duduk tanpa menggunakan kursi mengalami ketidaknyamanan pada beberapa
bagian tubuh. Beberapa bagian tubuh tersebut yaitu leher 23, punggung bagian atas 23, punggung bagian bawah 17, lengan bawah 12,
pergelangan tangan 10, bahu 10, dan pinggul 5. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti ingin mengetahui gambaran
kenyamanan posisi duduk ibu saat menyusui di Kelurahan Pisangan lebih lanjut dengan meninjau juga faktor-faktor lain yang dimungkinkan berkontribusi
mempengaruhi kenyamanan posisi duduk ibu saat menyusui, antara lain seperti karakteristik tempat duduk, karakteristik individu, dan karakteristik aktivitas
menyusui. Kelurahan Pisangan dipilih karena terdapat relatif banyak ibu menyusui.
Penelitian ini merupakan penelitian di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja K3 yang diterapkan pada aktivitas menyusui. Aktivitas menyusui
merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh ibu-ibu pasca melahirkan pada umumnya. Perlunya penerapan K3 terutama aspek ergonomi pada aktivitas
menyusui bertujuan untuk meminimalisir risiko-risiko ergonomi pada ibu menyusui, terutama terkait ketidaknyamanan posisi duduk ibu saat menyusui.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperbaiki posisi duduk ibu saat menyusui menjadi lebih ergonomis, dimana posisi duduk
merupakan posisi yang paling banyak digunakan ibu saat menyusui, sehingga dapat membantu meningkatkan kelancaran pemberian ASI di Kelurahan Pisangan
Ciputat Timur.
B. Rumusan Masalah