Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Purwanto, “belajar adalah proses yang menimbulkan terjadinya perubahan dalam tingkah laku atau kecakapan. Sampai di mana perubahan itu dapat tercapai, berhasil atau tidaknya belajar, tergantung kepada bermacam- macam faktor, di antaranya yaitu guru dan cara mengajarnya ” 2011, hlm. 102. Dalam belajar di sekolah, guru dan cara mengajarnya merupakan faktor yang penting. Sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan cara guru mengajarkan pengetahuan kepada siswa turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai Purwanto, 2011, hlm. 104-105. Bagi guru, mengajar tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran tapi juga merupakan proses mengatur lingkungan yang memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya Sanjaya, 2008, hlm.102. Hal ini senada dengan pandangan Van Petergem, dkk. 2005, hlm. 34 yang mengemukakan bahwa pada beberapa kasus terdapat guru yang lebih menyukai lingkungan disiplin untuk belajar, sedangkan beberapa yang lain ingin menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, dimana siswa dapat merasa aman untuk mengambil risiko dan menjadi kreatif. Di dalam kelas, proses belajar mengajar terdiri atas serangkaian perbuatan guru dan siswa berdasarkan hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif. Interaksi timbal balik antara guru dan siswa merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar Usman, 2005, hlm. 4. Rencana interaksi antara siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu pada umumnya didefinisikan sebagai strategi pembelajaran. Salah satu cara untuk dapat memahami strategi pembelajaran tersebut yaitu melalui pemahaman pada pola hubungan guru dan siswa Mulyasa, 2014, hlm. 132. Hubungan guru dan siswa dipahami sebagai interaksi interpersonal yang terjadi antara guru dengan siswa yang mengikat mereka satu sama lain. Hubungan ini diasumsikan berasal dari bentuk interaksi tersebut. Pendekatan terhadap hubungan interpersonal guru dan siswa dikonseptualisasikan melalui pengaturan kelas berdasarkan level perilaku interpersonal guru Wubbels, dkk. 2015, hlm. 364-365. Hubungan guru dan siswa dapat dipelajari melalui dua kerangka teori yaitu teori interpersonal Wubbels dkk. 1985 dan kerangka berbasis teori pelengkap Pianta, 2001. Teori interpersonal mendeskripsikan persepsi dari perilaku guru dengan siswa yang berhubungan dan berinteraksi dalam sebuah sistem. Dalam teori ini, hubungan guru dan siswa dikarakterisasi berdasarkan kombinasi dari dua dimensi, yaitu dimensi pengaruh influence dan kedekatan proximity dalam Model Perilaku Interpersonal Guru atau Model of Interpersonal Teacher Behaviour MITB. Sedangkan, pada kerangka berbasis teori pelengkap yang dipopulerkan oleh Pianta 2001, hubungan guru dan siswa dapat diketahui dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu kedekatan closeness, konflik conflict, dan kepercayaan dependency Wubbels, dkk. 2015, hlm. 366-367. Dalam MITB yang dikembangkan oleh Wubbels, dkk 1985, yang merupakan hasil adaptasi dari model Interpersonal Diagnosis of Personality di dalam kelas yang dikembangkan oleh Leary 1957, perilaku guru dipetakan menjadi dua dimensi yaitu dimensi pengaruh influence dan dimensi kedekatan proximity Maulana, dkk. 2012, hlm. 254. Dimensi pengaruh influence memiliki dua sumbu yaitu dominance D dan submission S. Dimensi kedekatan proximity memiliki dua sumbu yaitu cooperation C dan opposition O. Dimensi pengaruh influence menggambarkan orang yang mengontrol atau mengarahkan proses komunikasi dan seberapa sering hal itu terjadi di kelas. Sedangkan, dimensi kedekatan proximity menunjukkan tingkat kerja sama atau kedekatan di antara guru-siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran di kelas Goh, 2004, hlm. 32. Kedua sistem dimensi koordinat tersebut kemudian dibagi menjadi delapan skala perilaku interpersonal guru, yaitu perilaku kepemimpinan leadership behaviour DC, perilaku membantubersahabat helpingfriendly behaviour CD, perilaku pengertian understanding behaviour CS, perilaku memberi tanggung jawabkebebasan siswa student responsibilityfreedom behaviour SC, perilaku ragu-ragu uncertain behaviour SO, perilaku tidak puas dissatisfied behaviour OS, perilaku menegur admonishing behaviour OD dan perilaku disiplin strict behaviour DO Maulana, dkk. 2012, hlm. 254. Setelah menyempurnakan formulasi dari MITB, Wubbels dan rekan- rekannya merintis alat yang digunakan untuk memetakan hubungan interpersonal guru dan siswa yang dikenal dengan nama Questionnaire on Teacher Interaction QTI. Para peneliti menggunakan QTI untuk memahami saling keberpengaruhan antara cara guru mengajar dan hasil belajar siswa di kelas. Instrument ini kemudian digunakan untuk memetakan gaya perilaku interpersonal guru pada budaya yang berbeda di berbagai negara Maulana, dkk. 2011, hlm. 34. Perbedaan terhadap gaya perilaku interpersonal guru ini kemudian menghasilkan pemetaan lanjutan terhadap profil perilaku guru yang menjelaskan lingkungan pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. Guru dapat dikategorikan ke dalam delapan tipe profil, yaitu direktif directive, otoritatif authoritative, toleranotoritatif tolerantauthoritative, toleran tolerant, ragu-ragutoleran uncertaintolerant, ragu-raguagresif uncertainaggressive, menekan repressive, dan membosankan drudging Maulana, dkk. 2011, hlm. 35. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh den Brok, Fisher, dan Koul 2005, menunjukkan bahwa guru sains yang baik dalam mengontrol tinggi pada dimensi pengaruh dan bekerja sama dengan siswa tinggi pada dimensi kedekatan mampu menciptakan sikap positif siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan. Pada level skala perilaku interpersonal, penelitian yang dilakukan oleh Reid dan Fisher 2008 menunjukkan bahwa guru sains yang memiliki perilaku kepemimpinan, membantubersahabat, pengertian serta memberikan tanggung jawab dan kebebasan pada siswa berpengaruh secara positif terhadap motivasi siswa dalam pencapaian hasil belajar pada mata pelajaran sains. Pelajaran sains, salah satunya kimia, merupakan pelajaran yang sulit bagi kebanyakan siswa, sehingga menuntut guru berusaha lebih keras untuk memotivasi siswa mempelajari konsep-konsep kimia. Tanpa minat dan motivasi belajar yang tinggi, maka konsep-konsep kimia sulit untuk dipahami oleh siswa dengan baik Suyanti, 2010, 175-176. Oleh karenanya, guru kimia harus berupaya mendesain pembelajaran kimia yang menarik melalui berbagai strategi pembelajaran. Guru dituntut untuk mampu menganalisis konsep materi kimia sehingga dalam proses pembelajaran, guru mengerti dan paham bagaimana menyampaikan materi yang sulit dipahami dan dimengerti oleh siswa. Guru juga harus mampu memvisualisasikan konsep yang abstrak agar bisa dipahami siswa secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong sekaligus juga memotivasi siswa untuk mempelajarinya lebih mendalam. Dalam The National Science Teachers Association NSTA Standards for Science Teacher Preparation 2003 dijelaskan bahwa guru mata pelajaran, khususnya guru IPA sains, dituntut untuk tidak hanya mampu dalam penguasaan konsep dan materi atau memvariasikan metode dan strategi yang digunakan dalam mengajar, namun juga diharapkan mampu menciptakan dan menjaga kondisi lingkungan pembelajaran yang nyaman dan mendukung secara psikologis maupun sosial bagi siswa National Science Teachers Association, 2003, hlm. 21. Hal ini senada dengan indikator proses pembelajaran dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menyatakan: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu, setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian ko mpetensi lulusan” Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013, hlm. 1. Dengan demikian, penting bagi guru IPA, termasuk guru kimia tidak hanya mampu dalam penguasaan konsep dan materi, namun juga menjaga kondisi lingkungan pembelajaran yang nyaman dan memotivasi siswa lewat hubungan interpersonal guru kimia dan siswa yang terbentuk melalui perilaku interpersonal guru. Hal ini dikarenakan perilaku interpersonal guru memberikan pengaruh yang besar, baik dalam sikap siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan, hasil belajar, maupun motivasi belajar siswa yang timbul dari perilaku tersebut. Namun, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fisher dan Rickards 1998, den Brok, Fisher, dan Koul 2005, Reid dan Fisher 2008, Maulana, dkk. 2012, menunjukkan bahwa studi mengenai hubungan interpersonal guru dan siswa sering kali hanya dilakukan di dalam kelas Matematika, Bahasa Inggris, dan Sains pada Pendidikan Menengah Pertama SMP. Tidak ada temuan yang menunjukkan penelitian mengenai hubungan interpersonal guru dan siswa pernah dilakukan pada kelas Kimia di Sekolah Menengah Atas di Kota Tangerang Selatan. Padahal, memahami hubungan interpersonal guru dan siswa ketika pembelajaran berlangsung dapat menjadi pertimbangan penting untuk menunjang kesuksesan siswa di sekolah dan dapat menjadi alat refleksi, baik bagi guru, siswa, maupun praktisi pendidikan untuk memahami atmosfer lingkungan pembelajaran yang terjadi di dalam kelas melalui perilaku dan profil interpersonal guru yang terukur. Uraian yang telah dipaparkan tentang pentingnya hubungan interpersonal guru-siswa terhadap pembelajaran kimia di SMA di Kota Tangerang Selatan menjadi dasar pijakan perlunya pengkajian lebih lanjut mengenai hal ini. Sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Persepsi Siswa Terhadap Hubungan Interpersonal Guru-Siswa pada Pembelajaran Kimia di SMA di Kota Tangerang Selatan”.

B. Identifikasi Masalah