Alasan delay pada patient delay kasus TB BTA + di wilayah kerja PKC
persoalan kecil akibatnya pasien tersebut banyak mengeluh tentang masalah yang sepele Sunaryo, 2004.
Faktor psikologis yang terdapat pada patient delay tidak hanya terjadi pada saat pencarian pengobatan, melainkan saat penelitian dilakukan. Mereka
mengaku bahwa mereka menyesal akibat dari keterlambatan pencarian pengobatannya. Mereka menyesal telah menunda untuk memeriksakan diri ke
Puskesmas seperti hasil wawancara di bawah ini:
ER
:”Iya mbaa nyesel kenapa saya nggak cepet-cepet berobat”
SM :”Iya nyesel”
MU
:”Ada, iya saya nyesel mba”
Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, yang menemukan bahwa tidak ada penyesalan bagi patient delay. Mereka beralasan keterlambatannya
bukan hal yang disengaja tetapi karena sibuk dengan pekerjaannya Kuznetsov, dkk, 2014.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor psikologis yang mempengaruhi kejadian patient delay adalah rasa malu dan takut. Faktor ini
dapat diminimalisir dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat agar dapat terbuka dengan penyakit yang dideritanya kepada orang lain terlebih
kepada dokter. Sehingga penanganan yang diberikan oleh dokter sesuai dengan kondisi mereka. Selain itu, dalam memberikan pemahaman kepada
masyarakat, petugas kesehatan dari Puskesmas ataupun kader TB perlu menyampaikan kepada masyarakat bahwa mereka agar lebih waspada
terhadap TB dan mencegah terjadinya delay, sehingga tidak sama dengan patient delay
yang menyesal akan keterlambatannya memeriksakan diri ke Puskesmas.
M. Karakteristik Patient Delay pada Kasus TB BTA + di WIlayah Kerja
PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti dapat mendiskripsikan karakteristik patient delay pada kasus TB BTA + di wilayah kerja PKC
Kramat Jati tahun 2014 seperti pada bagan 6.1 di bawah ini:
Bagan 6.1 Karakteristik
Patient Delay pada Kasus TB BTA+ di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Tahun 2014
Berdasarkan bagan di atas, dapat diketahui bahwa karakteristik patient delay
pada kasus TB BTA + di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014 menurut orang yaitu patient delay berusia 35-44 tahun,
berjenis kelamin laki-laki, memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta dan berstatus ekonomi kaya. Di samping itu, patient delay memiliki riwayat
jenjang pendidikan dasar dengan tingkat pengetahuan rendah tentang TB karena patient delay memiliki pemahaman yang salah tentang TB dan juga
mereka memiliki kebiasaan merokok yang sudah lama, rata-rata selama 22,82 Patient
Delay
Delay 2,53
bulan
Jenjang Pendidikan
Dasar Pengetahuan
tentang TB rendah
Jarak tempat tinggal dan
Puskesmas 5Km Tidak mendapat
dukungan kader TB Usia 35-44 tahun
Wiraswasta Status
Ekonomi kaya
Merokok Laki-
laki
Merasa batuk biasa
tahun serta yang melatar belakangi patient delay adalah karena merasa batuk yang dialaminya adalah batuk biasa.
Karakteristik lain yang terdapat pada patient delay kasus TB BTA + di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014 menurut tempat
dapat diketahui baik secara fisik maupun soial. Secara fisik, tempat tinggal patient delay
berjarak 5 km ke puskesmas. Sedangkan, secara sosial patient delay
tidak mendapat dukungan kader TB baik berupa edukasi tentang TB, dukungan untuk segera memeriksakan diri ke Puskesmas ataupun mengantar
memeriksa diri ke Puskesmas. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa yang
mendasari kejadian patient delay pada kasus TB BTA + di wilayah kerja PKC Kramat Jati tahun 2014 adalah karena pengetahuan yang rendah dan
juga tidak adanya dukungan dari lingkungan sosial berupa dukungan kader TB. Kedua hal tersebut dikarenakan strategi DOTS yang diterapkan dalam
pengendalian TB lebih berfokus pada kuratif terbukti dari indikator keberhasilan program yang dimulai pada suspek TB tidak pada pengetahuan
masyarakat umum yang merupakan risiko tinggi terhadap TB. Dampak negatif dari sisi epidemiologi yang ditimbulkan akibat
tingginya angka patient delay adalah semakin meningkatnya risiko penularan TB BTA + di masyarakat, mengingat di wilayah Kecamatan Kramat Jati
selain angka patient delay yang tinggi juga merupakan wilayah berisiko tinggi kasus TB BTA +. Hal ini tentu saja perlu ditingkatkannya
pengendalian TB secara paripurna berupa promosi, pencegahan, penemuan kasus, pengobatan dan rehabilitatif di pelayanan kesehatan dalam hal ini
adalah Puskesmas. Selain itu, sangat diperlukan pengendalian TB komprehensif pada kelompok rentan termasuk wilayah risiko tinggi TB,
tempat kerja dan kontak erat dengan pasien TB Kemenkes, 2014. Kecamatan Kramat Jati merupakan wilayah risiko tinggi TB karena
memiliki prevalensi TB lebih dari 100 per 100.000 penduduk. Oleh karena itu, promosi kesehatan dan pencegahan TB di wilayah tersebut sangat perlu di
tingkatkan untuk mengurangi angka patient delay dan juga mengurangi risiko penularan kepada masyarakat lebih luas. Promosi kesehatan secara umum
dapat dilakukan dengan menyebarluaskan informasi mengenai TB di masyarakat secara merata tanpa terkecuali terkhusus terkait dengan gejala
yang perlu diwaspadai TB. Selain itu, dibutuhkan promosi kesehatan secara khusus yang dilakukan kepada kelompok yang memiliki kontak erat dengan
penderita TB anggota keluarga dan rekan kerja ataupun tetangga di sekitar tempat tinggal penderita TB. Ketiga kelompok tersebut merupakan
kelompok rentan dan berisiko tinggi tertular TB. Perilaku pencegahan penularan TB yang dapat dilakukan oleh
masyarakat bukan penderita TB adalah dengan mengurangi faktor risiko TB seperti meningkatkan status gizi dan menjaga lingkungan tempat tinggal agar
tetap bersih dan tidak lembab. Namun, rekomendasi cara pencegahan yang tepat untuk menghindari kontak langsung dengan penderita belum dapat
dilakukan oleh peneliti. Hal ini disebabkan tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah dengan diketahuinya karakteristik patient delay dan
alasannya, masyarakat akan segera mengetahui gejala TB, sehingga segera mendapat pengobatan dan juga memutus rantai penularan TB. Untuk itu, bagi
peneliti lain diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut terkait investigasi kontak dan juga pemberdayaan pasien sebagai agen pencegahan
penularan TB karena berdasarkan observasi di masyarakat, masyarakat sulit untuk mencegah atau menghindari penderita TB karena masyarakat tidak tahu
bahwa si penderita TB yang kontak dengannya adalah penderita TB. Di samping itu, agar dapat menurunkan angka patient delay peneliti
merekomendasikan kepada Kementerian Kesehatan untuk mengkaji kembali startegi DOTS yang digunakan agar memperhatikan juga kondisi masyarakat
umum yang merupakan penduduk berisiko tinggi terhadap TB. Selain itu, peneliti merekomendasikan kepada PKPU, petugas Puskesmas dan juga kader
TB untuk membuat target dan juga SOP dalam melakukan promosi kesehatan terkait dengan TB sejak dini di masyarakat agar semua masyarakat dapat
dipastikan terjangkau oleh kader TB dan juga dipastikan semua KK mendapatkan informasi mengenai TB sejak dini terkhusus di wilayah sekitar
tempat tinggal seseorang penderita TB BTA +. Namun, dalam pelaksanaannya tidak hanya petugas kesehatan saja yang berperan, melainkan
masyarakat setempat juga sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam menyebarluaskan inforrmasi TB yang telah didapatkannya tersebut. Dengan
demikian, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang TB yang merupakan salah satu cara menurunkan angka patient delay di
wilayah tersebut. Selain itu, perlu melakukan evaluasi terkait dengan catatan dan
pelaporan kader TB kepada PKPU terkait dengan penemuan suspek, evaluasi Puskesmas kepada dokter dalam melakukan anamnesis informasi onset