Karakteristik Nelayan SOSIO-EKOLOGI NELAYAN

ikanbinatang air lainnyatanaman air. Nelayan penuh di Ciawitali juga diartikan sebagai nelayan yang tidak beralih profesi ketika musim paceklik tiba. Nelayan seperti ini jika cuaca tidak memungkinkan untuk mencari ikan biasanya tetap menunggu dan mencari celah untuk dapat pergi ke laut. Jika musim paceklik tiba, mereka tetap mencari ikan ataupun mencari alternatif tangkapan lainnya. Para nelayan penuh di Ciawitali biasanya juga melakukan ekspansi wilayah tangkapan dan aktif mencari informasi dari satu nelayan ke nelayan lainnya tentang lokasi- lokasi penangkapan ikan yang berpotensi pada saat itu.

5.2 Karakteristik Nelayan

Karakteristik masyarakat nelayan Ciawitali sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi dapat dilihat dari berbagai aspek berdasarkan uraian Satria 2002 tentang karakteristik masyarakat pesisir: 1 Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan serta teknik-teknik penangkapan ikan yang diterapkan oleh nelayan Ciawitali merupakan pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun dan hasil pengalaman empirik dari nelayan-nelayan sebelumnya. Pengetahuan ini telah menjadi kekayaan intelektual berupa pengetahuan lokal indigenous knowledge masyarakat setempat. Sistem pengetahuan yang diterapkan oleh masyarakat nelayan Ciawitali dalam musim penangkapan ikan berupa sistem penanggalan yang biasa disebut Pranata Mangsa atau tata masa. Setiap mangsa memiliki artinya masing- masing. Adapun susunan Pranata Mangsa tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pranata Mangsa Musim penangkapan ikan biasanya dimulai pada mangsa empat hingga mangsa enam. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan lokal masyarakat Ciawitali yang beranggapan bahwa musim mijah ikan-ikan berlangsung pada mangsa-mangsa tersebut. Sebagaimana pendapat seorang sesepuh desa HD 61: “....nelayan di sini biasa melaut pada mangsa kapat empat sampai mangsa enam. Karena dari mangsa kapat sampai mangsa enam itu musim mijahnya ikan, jadi banyak ikan-ikan yang ke pinggir.” Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat para nelayan yang hampir seluruhnya menjawab: “…musim menangkap ikan biasanya memang jatuh pada mangsa empat sampai mangsa enam. Bulan-bulan yang berakhiran dengan –ber. September, Oktober, sampai Desember.” Perhitungan Pranata Mangsa ini juga disertai dengan pengetahuan lokal berupa perhitungan masa ngember atau pasang-surut air lautan. Para nelayan Ciawitali menghitung periode ngember terbagi menjadi empat periode dalam setiap satu mangsa dimana terdapat dua periode surut ngember dan dua periode pasang yang saling bergantian. Perhitungan pasang-surut air laut ini juga mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan. Terlebih kondisi ekosistem di sekitar perairan Ciawitali yang telah Mangsa Awal Akhir 1 22 Juni 1 Agustus 2 2 Agustus 24 Agustus 3 25 Agustus 17 September 4 18 September 12 Oktober 5 13 Oktober 8 November 6 9 November 21 Desember 7 22 Desember 2 Februari 8 3 Februari 29 Februari 9 1 Maret 25 Maret 10 26 Maret 18 April 11 19 April 11 Mei 12 12 Mei 21 Juni mengalami pendangkalan akibat sedimen yang terbawa aliran sungai Citanduy. 2 Kepercayaan Menurut Satria 2002 secara teologi, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Demikian pula pada nelayan Ciawitali. Pada masa-masa ketika terjadi panen raya, atau hasil tangkapan yang melimpah secara serempak dialami oleh nelayan melakukan ritual Berkah Bumi sebagai ungkapan syukur kepada alam semesta. 3 Peran Wanita Selain dalam urusan domestik rumah tangga, peran wanita juga merupakan satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian nelayan. Seringkali para suami nelayan melakukan perjalanan mencari ikan melaut selama berhari-hari. Di masa-masa ini, biasanya para istri nelayan akan berinisiatif mencari hasil tangkapan di wilayah mangrove, seperti ikan belanak, kepiting serta kerang-kerangan. Hasil tangkapan ini biasanya menjadi konsumsi rumah tangga selama menunggu para nelayan kembali dari melaut. Sekembalinya nelayan dari melaut, para istri nelayan juga biasanya menunggu langsung di lokasi pelelangan ikan. Hal ini tidak hanya semata-mata tugas moral menyambut suami sepulang melaut, namun juga berperan dalam tawar-menawar dengan tengkulak serta memastikan keamanan hasil tangkapan dari pencuri-pencuri ikan di TPI Tempat Pelelangan Ikan. 4 Struktur Sosial Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi perikanan nelayan Ciawitali seperti layaknya struktur hubungan produksi di kebanyakan lingkungan nelayan di wilayah lainnya di Indonesia. Struktur ini dicirikan oleh kuatnya ikatan patron-klien. Menurut Satria 2002 kuatnya ikatan tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Hubungan para nelayan kien dengan tengkulak atau bos patron tidak hanya sebatas hubungan produksi, dimana nelayan menjual ikan kepada tengkulak. Ketergantungan nelayan kepada tengkulak timbul karena pada musim paceklik, para tengkulak memberikan pinjaman kepada nelayan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Hal ini kemudian menimbulkan ikatan sosial yang kuat dimana para nelayan memiliki loyalitas yang tinggi kepada tengkulak tersebut bukan semata-mata karena kewajibannya membayar pinjaman. 5 Posisi Sosial Nelayan Posisi sosial nelayan Ciawitali tidak berbeda jauh dengan posisi sosial nelayan di banyak tempat di Indonesia, yaitu berada dalam status yang cenderung lebih rendah. Keterasingan serta keterbatasan kapital yang dimiliki oleh nelayan menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya status sosial nelayan ini. Secara geografis, perkampungan nelayan Ciawitali berada cukup jauh dari wilayah pemukiman masyarakat bukan nelayan. Hal ini disertai dengan alokasi waktu keluarga nelayan yang tinggi terhadap usaha perikanan menyebabkan rendahnya interaksi masyarakat nelayan dengan masyarakat bukan nelayan.

5.3 Pola Produksi Nelayan