siswa. Pada pertemuan ini kuis tidak dilaksanakan dan soal kuis dijadikan tugas rumah untuk dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya setelah tes.
4.2.2 Hasil Tes Kemampuan Problems Solving Siswa yang Dikenai Model
PBL dengan Teknik Radiant Thinking
Hasil analisis data tes kemampuan problems solving menunjukkan bahwa skor kemampuan problems solving siswa kelas eksperimen mencapai KKM yang
ditetapkan, yakni 70. Berdasarkan uji proporsi, kelas eksperimen juga mencapai ketuntasan belajar secara klasikal pada tes kemampuan problems solving.
Hasil tersebut diperoleh karena pembelajaran menggunakan model PBL dengan teknik radiant thinking memberi pengalaman pada siswa untuk
melaksanakan pemecahan masalah dan melatih kemampuan problems solving-nya melalui masalah-masalah non rutin yang disajikan dalam LTS. Siswa juga terbiasa
melakukan kegiatan pemecahan masalah secara individu melalui tugas rumah berupa soal bertipe masalah yang diberikan oleh guru. Soal-soal tipe masalah ini
menjadi hal baru bagi siswa, karena dalam pembelajaran mereka terbiasa menyelesaikan soal-soal rutin saja. Selain itu diskusi kelompok dan kelas yang
dilakukan siswa memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan interaksi sosial, bertukar pikiran dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah, serta
menambah wawasan siswa mengenai beragam cara penyelesaian masalah yang dapat dilakukan. Pengalaman siswa dalam menyelesaikan LKS, LTS, dan diskusi
mengakibatkan berkembangnya kognitif siswa kelas eksperimen. Hasil uji hipotesis 1 tersebut didukung oleh hasil pengamatan aktivitas
siswa yang menunjukan bahwa persentase aktivitas siswa semakin meningkat. Sehingga dapat dinyatakan pula bahwa siswa semakin aktif dan antusias dalam
melaksanakan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap pertemuan siswa aktif mengumpulkan informasi, menyusun pengetahuannya, melaksanakan
langkah-langkah pemecahan masalah, dan berdiskusi sehingga pengetahuan siswa terhadap prisma dan limas serta kemampuan kognitif siswa, khususnya
kemampuan problems solving pun berkembang. Selain didukung oleh hasil pengamatan aktivitas siswa, hasil uji hipotesis
1 juga didukung oleh penugasan mind map. Berdasarkan evaluasi mind map yang dapat dilihat pada lampiran 61 diketahui bahwa pada pertemuan II jumlah siswa
yang mengumpulkan tugas mind map adalah 60,51 atau 23 siswa. Pada pertemuan III jumlah siswa kumulatif siswa yang mengumpulkan tugas mind map
adalah 94,74 atau 36 siswa .
Berikut ini adalah contoh mind map buatan siswa.
a
b Gambar 4.1 Mind Map Siswa
Pada gambar 4.1 siswa mematuhi aturan pembuatan mind map. Siswa menggunakan kertas polos dengan orientasi landscape. Mind map pada gambar
4.1 menunjukkan banyak konten materi dan pengembangan ide menunjukkan pemahaman yang mendalam. Sehingga pada indikator kedalaman materi mind
map di atas ada di level 4 sangat baik. Ide sudah dituliskan dalam bentuk kata kunci, namun masih ada frasa yang digunakan. Sehingga pada indikator kata
kunci mind map di atas ada di level 3 baik. Dilihat dari warna, siswa sudah menggunakan lebih dari satu warna, setiap cabang utama sudah menggunakan
warna yang berbeda, dan informasi yang berkaitan erat mempunyai warna yang sama.Ini menunjukkan bahwa indikator warna sudah dipenuhi siswa dengan
sangat baik. Mind map siswa sudah menggunakan gambar yang berkaitan dengan ide, menonjol dan memahamkanmemperjelas ide. Ini menunjukkan bahwa
gambar yang dibuat siswa sudah sangat baik. Cabang yang dibuat siswa juga sudah memenuhi aturan mind map, yakni melengkung, menyebar ke segala arah
dan semakin mendekati pusat mind map semakin tebal, sedangkan semakin menjauhi garis cabang semakin tipis, serta kemiringannya pun tidak lebih dari 45
°
. Ini menunjukkan bahwa cabang buatan siswa sudah sangat baik.
Dari analisis
hasil penilaian mind map diketahui bahwa mind map buatan siswa sudah baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam membuat mind map
sudah baik pula. Pada saat siswa membuat mind map, siswa akan membaca materi prisma
dan limas untuk mengetahui gambaran secara umum dari materi prisma dan limas. Kemudian saat siswa mencari kata kunci, siswa membaca untuk kedua kalinya.
Tanpa sadar siswa telah melakukan pengulangan belajar sebanyak dua kali. Jika dibandingkan dengan belajar biasa, membaca dua kali berturut-turut sudah
membosankan dan melelahkan bagi otak. Selanjutnya pada saat siswa menyusun kata kunci-kata kunci yang telah ditentukannya menjadi mind map, siswa
menggunakan otak kirinya untuk menentukan hubungan dan hierarki antar kata kunci. Penggunaan gambar dan warna oleh siswa membutuhkan peran otak
kanannya. Sehingga pembelajaran materi prisma dan limas, suatu materi matematika, tidak hanya menggunakan otak kiri saja, namun menggunakan otak
kanan pula. Menurut Windura 2008b: 60, keseimbangan otak kiri dan kanan akan meningkatkan konsentrasi dalam belajar dan sete lah mind map jadi,
biasanya materi yang dirangkum sudah dimengerti dan dihafal 75. Pendapat tersebut sesuai pendapat Mangen Velay 2010: 385 bahwa menulis akan
mencerdaskan otak dibanding mengetik. Aktivitas menulis menimbulkan pengalaman sensorik yang mengaktifkan kedua belahan otak. Proses ini akan
mendorong kemampuan visual dalam mengenal huruf dan angka
.
Sehingga diharapkan kegiatan membuat mind map akan membantu pemahaman siswa
dibandingkan dengan mencatat dengan cara biasa, membaca buku yang berisi terlalu banyak tulisan atau bahkan merangkum materi dari internet dalam bentuk
ketikan dengan komputer. Berdasarkan proses pembuatan mind map yang dilaksanakan siswa,
pendapat Windura dan hasil evaluasi mind map dapat disimpulkan bahwa pada pertemuan II, 60,51 siswa telah sudah mempunyai informasi, mengerti, dan
menghafal kurang lebih 75 materi prisma dan limas yang akan diajarkan pada pertemuan II dan yang telah diajarkan pada pertemuan I. Sehingga siswa akan
lebih mudah mempelajari materi volume prisma pada pertemuan II karena telah mempelajari materi tersebut saat membuat mind map. Begitupula dapat
disimpulkan bahwa 94,74 siswa telah sudah mempunyai informasi, mengerti, dan menghafal kurang lebih 75 materi prisma dan limas yang akan diajarkan
pada pertemuan III dan materi prisma dan limas lainnya yang telah dirangkum dalam mind map. Sehingga siswa akan lebih mudah mempelajari materi volume
limas pada pertemuan III karena telah mempelajari materi tersebut dan yang terkait saat membuat mind map. Hal ini disebabkan karena saat membuat mind
map siswa melakukan pengulangan belajar materi prisma dan limas seperti yang diuraikan pada paragraf sebelumnya. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil
wawancara terkait pembuatan dan penggunaan mind map siswa yang dapat dilihat
pada lampiran 66. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 5 dari 6 yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka membaca materi prisma dan limas
dalam buku paket untuk membuat mind map. Siswa menyatakan bahwa mind map adalah ringkasan, sehingga jika tidak melihat materi akan sulit untuk membuat
mind map. Selain itu 5 dari 6 siswa juga menyatakan bahwa lebih mudah memahami materi menggunakan mind map. Hal ini sejalan dengan penelitian Toi
2009, sebagaimana dikutip dari ThinkBuzan.Com, yang menunjukkan bahwa mind map dapat membantu anak mengingat kembali secara lebih efektif daripada
menggunakan list dengan peningkatan sebesar 32 . Berdasarkan penjabaran hasil analisis uji hipotesis 1, analisis hasil
pengamatan aktivitas siswa, dan analisis hasil mind map dapat disimpulkan bahwa model PBL dengan teknik radiant thinking efektif terhadap kemampuan problems
solving siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, yakni 1 penelitian Padmavathy Mareesh 2013 yang menunjukkan bahwa PBL lebih efektif untuk
mengajar matematika dan dapat menciptakan sejumlah pemikir, pembuat keputusan kritikal, dan pemecahan masalah; 2 penelitian Maemanah 2014
yang menunjukkan bahwa PBL berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian siswa; dan 3 penelitian Yuspriyati 2014
yang menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan pemberian tugas mind map dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
4.2.3 Kemampuan Problems Solving Siswa Kelas Eksperimen pada