orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
3. Pendidikan
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir pada malam Kamis, pukul 3.00 waktu sahur, 15 Safar 1122 H17 Mac 1710 M, wafat pada 6 Syawal
1227 H3 Oktober 1812 M. Pendidikannya ketika kecil tidak begitu jelas, tetapi pendidikannya dilanjutkan ke Mekkah dan Madinah. Sangat
populer bahwa beliau belajar di Mekkah sekitar 30 tahun dan di Madinah sekitar 5 tahun. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut
oleh hampir semua penulis ialah Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab
Bugis, yang terakhir ini menjadi menantu beliau. Gurunya pula yang banyak disebut ialah Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh
`Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al- Madani. Selama belajar di Mekkah Syeikh Muhammad Arsyad bin
Abdullah al-Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Rumah tersebut terletak di kampung Samiyah yang disebut juga
dengan Barhat Banjar. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan kawan- kawannya selain belajar kepada ulama-ulama bangsa Arab, juga belajar
kepada ulama-ulama yang berasal dari dunia Melayu. Di antara guru mereka yang berasal dari dunia Melayu ialah: Syeikh Abdur Rahman bin
Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-
Falimbani, dan masih banyak lagi.
4. Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan
dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di
tanah suci Mekkah. Maka disampaikannya hasrat hatinya itu kepada istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengabulkan niat suci suaminya
dan mendukung dalam meraih cita-citanya. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan
cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu, di antara guru beliau adalah:
a. Syekh ‘Athoillah bin Ahmad
al-Mishry, b.
al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi 3.
c. al-‘Arif Billah Syekh
Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani. Syekh yang disebutkan terakhir merupakan guru Muhammad
Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannya Muhammad
Buku Pedoman Siswa Sejarah Kebudayaan Islam
Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran istri
yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan
1772 M, sampailah
Muhammad Arsyad di kampung halamannya Martapura
, pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi Sultan Tahlilullah
yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan
Tahmidullah II bin
Sultan HW, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada saat itu memerintah
Kesultanan Banjar , beliau sangat menaruh perhatian
terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan
Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan
upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari
seluruh Kerajaan Banjar. Aktifitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah
dia raja yang ‘alim lagi wara’.
5. Pengajaran dan bermasyarakat