Analisis Sikap Konsumen dengan pendekatan Multiatribut Fishbein

17 Menurut Soetopo 1993 keunggulan benih bersertifikat dibandingkan dengan benih tidak bersertifikat adalah: 1. Penghematan penggunaan benih, misalnya untuk padijagung dari rata-rata 40-50 kgha menjadi 20-25 kgha. 2. Keseragaman pertumbuhan, pembungaan dan pemasakan buah sehingga dapat dipanen sekaligus. 3. Rendemen tinggi dan mutunya seragam. 4. Penggunaan benih bersertifikat mampu meningkatkan hasil panen 5-15 persen per hektar. 5. Meningkatkan mutu produksi yang dihasilkan. 6. Mutu benih dapat menentukan kebutuhan dan respon sarana produksi lainnya, dinaman peran sarana produksi tidak akan terlihat apabila benih yang digunakan tidak bermutu.

2.3. Analisis Sikap Konsumen dengan pendekatan Multiatribut Fishbein

Teori-teori sikap mengemukakan bahwa sikap konsumen terhadap suatu produk mempengaruhi perilaku atau tindakan konsumen terhadap produk tersebut. Pengukuran sikap yang paling populer digunakan adalah model multiatribut dari Fishbein Schiffman dan Kanuk, 1994; Minor dan Mowen, 1998 Beberapa penelitian telah menggunakan Model Fishbein untuk menganalisis sikap konsumen terhadap produk sayuran anorganik dan organik Deliana, 2011, produk bakso ikan Setiadi, 2000, produk dodol garut Soenarya, 2000, produk ayam goreng Rizal, 1997. Dari semua atribut yang diteliti ternyata responden menganggap bahwa atribut produk memiliki hubungan dengan sikap konsumen. Penelitian yang dilakukan oleh Sayaka et al. 2006 menunjukkan bahwa pada dasarnya alasan petani menggunakan benih bersertifikat adalah karena benih jenis ini mampu memberikan produksi yang lebih tinggi dari benih tidak bersertifikat. Dengan penggunanan input produksi yang relatif tidak banyak berbeda, benih bersertifikat mampu memberikan produksi sekitar 10-30 lebih tinggi dari benih tidak bersertifikat. Peningkatan produksi tertinggi terutama terjadi pada penggunaan benih jagung bersertifikat hibrida mencapai 30, 18 disusul benih padi bersertifikat 15-25, dan benih kedelai bersertifikat 10. Dengan demikian, walaupun dibutuhkan biaya benih lebih banyak ternyata usahatani padi, jagung, dan kedelai yang menggunakan benih bersertifikat mampu memberikan keuntungan yang lebih menarik dibanding dengan usahatani dengan yang menggunakan benih tidak berlabel. Usahatani akan mampu memberikan keuntungan yang lebih atraktif lagi jika harga outputnya semakin tinggi. Selain produktivitas, alasan petani menggunakan benih bersertifikat karena penampakan tanaman lebih serempat sedikit campuran varietas lainnya, CVL, sehingga pada akhirnya lebih memudahkan dalam pemeliharaan. Daya beli petani terhadap benih bersertifikat cukup tinggi. Hal ini terlihat dalam memutuskan untuk menentukan jenis benih yang akan ditanam lebih banyak ditentukan oleh kualitas benih, bukan harga. Petani akan memilih benih dengan kualitas yang lebih baik walaupun harganya lebih mahal. Fakta di lapang menunjukkan bahwa hampir 80 petani padi di Jawa Timur lebih memilih benih bersertifikat kelas SS yang notabene kualitasnya lebih baik dari kelas ES, walaupun benih jenis ini harganya jauh lebih mahal dibanding dengan ES. Sebaliknya benih padi kelas ES yang sebagian besar diproduksi oleh PT. SHS dan PT. Pertani permintaannya sangat terbatas di Jawa Timur. Sama-sama benih kelas ES, petani lebih cenderung membeli dari produksi penangkar lokalswasta yang harga lebih mahal, karena kualitasnya relatif lebih baik. Karena keterbatasan petani, secara eksplisit mereka tidak pernah mengadu langsung ke PT. SHS dan PT. Pertani berkaitan dengan mutu benih, namun demikian secara implisit protes yang dilakukan petani terhadap kedua produsen benih ini terlihat dari beralihnya petani ke produsen lain atau lebih bahkan ada yang memproduksi benih sendiri memilih dari hasil panennya sendiri tanpa label. Hal yang sama juga terjadi pada petani jagung dan kedelai. Daya petani terhadap benih berlabel cukup tinggi. Terbukti petani cukup mampu membeli benih jagung hibrida walaupun harganya mencapai Rp. 36.000kg. Untuk jagung komposit, petani lebih memilih produksi perusahaan multinasional dibanding dari PT SHS dan PT Pertani, karena kualitasnya lebih baik, walaupun harga benih jagung dari perusahaan mutinasional lebih tinggi Rp. 10.000 berbanding Rp. 19 6.000. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani cukup mampu untuk membeli benih bersertifikat, asalkan dimbangi dengan kualitas yang semakin baik. Petani cukup akses terhadap benih bersertifikat. Pada umumnya, ketersediaan benih berlabel di kios-kios cukup memadai baik dilihat dari volume maupun jenis varietas serta asal produsen. Bahkan seperti kasus di di Kabupaten Mojekerto, Jombang, dan Kediri di Provinsi Jawa Timur, akses petani terhadap benih tidak sebatas pasar kabupaten dan provinsi saja, melainkan sudah antar provinsi. Di kios-kios banyak dijumpai benih padi yang di produksi oleh produsen-produsen swasta di luar kabupaten dan provinsi, seperti Perusahaan Penangkar Benih Santosa dari Kabupaten Banyuwangi dan Perusahaan Penangkar Benih Kerja PP KERJA dari Jawa Tengah. Frekuensi penggunaan benih bersertifikat di tingkat petani cukup bervariasi. Untuk benih padi, dalam setahun 2x tanam padi, frekuensi penggunaan benih padi bersertifikat berkisar 1- 2 kali. Bagi petani yang menggunakan benih bersertifikat 1 kali ditemui pada petani yang pada MH menggunakan benih SS, sehingga benih untuk MK dapat diperoleh dari hasil seleksi panen MH. Sementara penggunaan benih berlabel 2 kali setahun umumnya dijumpai pada petani baik MH maupun MK menggunakan benih ES. Namun demikian, frekuensi penggunaan benih berlabel 2 kali setahun juga sering dijumpai pada petani yang menggunakan benih SS baik pada MH maupun MK, karena kelompok petani ini ingin penampakan tanamannya tetap seragam. Sementara pada petani jagung, penggunaan benih bersertifikat dilakukan pada setiap musim tanam. Frekuensi penggunaan benih kedelai bersertifikat di Provinsi Jawa Timur sangat beragam, mengingat masa kadaluarsa benih ini sangat pendek. Salah satu kesulitan yang dihadapi BPSB dalam melakukan pengawasan dan sertifikasi untuk benih kedelai adalah perdagangannya di tingkat petani sangat cepat. Hal ini juga diungkapkan oleh para penangkar. Seringkali ada keterlambatan dalam proses pelabelan, padahal benih yang didaftarkan untuk dilabel sudah lebih dulu ditanam petani. Padahal itu sebenarnya sudah termasuk katagori benih bersertifikat. Penyebaran benih berlabel untuk benih kedelai oleh PT. SHS dan PT. Pertani pada umumnya melalui program intensifikasi yang dicanangkan oleh 20 pemerintah. Sementara di tingkat petani, pasar kedelai tanpa intervensi pemerintah lebih banyak jalinan arus benih antar lapang dan musim JABALSIM. Tampaknya pasar benih kedelai dengan sistem JABALSIM sudah cukup bagus. Peranan pemerintah sebaiknya sebagai pengawasan dan fasilitator saja. Untuk daerah-daerah yang pasar kedelai dengan sistem JABALSIM sudah jalan, subsidi benih kedelai akan lebih baik jika dialihkan pada pembinaan penangkar lokal. Tidak ada jaminan benih bersertifikat yang beredar di kiospetani memberikan tingkat produksi yang lebih baik dari benih yang tidak bersertifikat merupakan salah satu satu alasan yang menyebabkan petani menggunakan benih yang tidak bersertifikat. Banyak petani yang mengeluh dan mempertanyakan kenapa benih padi berlabel khususnya yang diproduksi oleh PT. SHS dan PT. Pertani tidak ada jaminan daya tumbuh dan produktivitas benih lebih baik dari benih tidak berlabel. Kurang percayanya petani terhadap benih berlabel ES diindikasikan oleh banyaknya petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan benih sendiri pada MK merupakan hasil seleksi dari hasil panen pada MH yang menggunakan benih SS. Sehingga kebanyakan petani dalam setahun membeli benih berlabel hanya sekali saja yaitu pada MH dan pada musim berikutnya MK I menggunakan benih produksi sendiri. Produksi benih ini memberikan tingkat produksi yang hampir sama dengan benih padi berlabel kelas ES. Kurang bagusnya kualitas benih yang dihasilkan terutama oleh dua BUMN yang ditunjuk pemerintah, karena juga sering kali disebabkan oleh adanya proyek-proyek dari pemerintah yang bersifat dadakan diadakan pada tahun berjalan yang membutuhkan benih dalam jumlah yang cukup besar, sehingga untuk memenuhi permintaan akan benih tersebut, sebenarnya dari lahan milik PT. SHS atau PT. Pertani sendiri tidak mencukupi, sehingga kekurangannya harus didatangkan dari pertanaman padi petani yang sebelumnya ditujukan untuk konsumsi, bukan untuk benih dengan cara opkup. Benih yang diproduksi dari hasil panen padi untuk konsumsi, mutunya tidak akan jauh berbeda dari benih produksi petani sendiri yang bersumber dari hasil seleksi panen sebelumnya. Alasan berikutnya petani tidak menggunakan benih berlabel adalah masalah harga. Petani menjadikan harga benih berlabel cukup mahal sebenarnya 21 lebih dikaitkan dengan kualitas benih itu sendiri. Artinya antara harga yang dibayarkan petani tidak sebanding dengan kualitas benih itu sendiri. Namun kalau dicermati secara mendalam, pada umumnya petani yang tidak menggunakan benih berlabel sebenarnya mempunyai daya beli yang cukup memadai, walaupun pada sebagian kecil petani mengatakan karena terbatasnya permodalan merupakan salah satu alasan juga belum menggunakan benih bersertifikat. Petani mengatakan mau membeli benih dengan harga relatif mahal asalkan mutunya terjamin. Fenomena ini menunjukkan sekalipun pada kelompok petani yang belum menggunakan benih bersertifikat pada dasarnya cukup respon terhadap kualitas benih. Permintaan benih di tingkat petani relatif dominan dipengaruhi oleh kualitas dibanding oleh pergerakan harganya. Seperti diungkap sebelumnya, fenomena ini dapat dicermati pada petani padi di Provinsi Jawa Timur yang cukup banyak menggunakan benih padi jenis SS terutama hasil produksi dari penangkar swasta, padahal dari segi harga benih kelas ini tentunya lebih mahal dari jenis ES. Faktanya menunjukkan petani lebih memilih untuk menggunakan benih padi jenis SS. Menurut petani, benih padi jenis SS disamping kualitasnya lebih baik terbukti dari daya tumbuhnya lebih tinggi serta terhindarnya dari CVL campuran varietas lain. Indikasinya adalah tinggi pertanaman padi di persawahan serempak, dan hasil panen dapat dipilih untuk benih musim berikutnya yang kualitasnya tidak kalah dengan benih kelas ES. Selain masalah kualitas, harga, dan permodalandaya beli, tidak aksesnya petani terhadap benih bersertifikat juga merupakan salah satu penyebab kenapa petani tidak menggunakan benih bersertifikat. Alasan ini terutama terjadi pada petani yang lokasinya terisolasiterpencil, sehingga belum ada kios saprodi di tempat sebagai penyedia benih bersertifikat.

2.4. Analisis Hubungan Kepuasan dan Loyalitas