commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Telinga sebagai indera pendengaran manusia merupakan organ untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui penglihatan. Berdasar hal tersebut,
kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan pendengaran berarti kehilangan kemampuan menyimak secara utuh peristiwa di sekitarnya, sehingga
semua peristiwa yang terekam oleh penglihatan anak tunarungu tampak seperti
terjadi secara tiba-tiba tanpa dapat memahami gejala awalnya.
Tunarungu merupakan suatu keadaaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama
melalui indera pendengaran. Akibat dari hal tersebut, anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif,
sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan aktifitas berbahasa dan komunikasi secara verbal.
Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli
adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 70 dB yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa
melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu
dengar. Orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran sekitar 27 sampai 69 dB yang biasanya dengan
menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya
masih memungkinkan untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat
memahami pembicaraan orang lain di sekitarnya. Ocha, 2010 dalam, http:ochamutz91.wordpress.com20100529karakteristik-dan-
pendidikan-anak-tuna-rungu.
Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati 1996: 13 “anak
tunarungu mempunyai daya abstraksi yang kurang dibandingkan anak mendengar
”. Daya abstraksi yang kurang pada beberapa tugas hanya akibat dari kemampuan berbahasa anak, bukan merupakan suatu keterbelakangan mental.
Kemampuan mengabstraksi juga bertambah, jika kemampuan berbahasanya
commit to user 2
ditingkatkan. Anak tunarungu yang tidak mempunyai kelainan lain, potensi kecerdasannya normal bahkan mungkin supernormal, namun karena daya ingat
anak tunarungu ini kurang terhadap hal-hal yang diverbalisasikan, ditambah dengan kemampuan yang kurang dalam kemampuan daya abstraksinya, anak
tunarungu pada umumnya menunjukkan prestasi yang lebih rendah dibanding anak mendengar.
Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu mengalami masalah dalam hal pendengaran yang mengakibatkan kesulitan dalam
memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan aktivitas berbahasa dan komunikasi
secara verbal. Hal tersebut berpengaruh terhadap penerimaan dan pengolahan informasi dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga mengakibatkan prestasi
akademik mereka rendah. Prestasi akademik yang rendah pada anak tunarungu mengakibatkan pendidikan anak tunarungu menjadi lebih lambat dibanding anak
mendengar. Anak yang mengalami kelainan pendengaran akan menanggung
konsekuensi sangat kompleks, tidak terkecuali dalam pendidikannya. Berdasar hal tersebut, maka untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara optimal
praktis memerlukan layanan atau kebutuhan pendidikan secara khusus. Kebutuhan pelayanan pendidikan khusus ini, tidak lepas dari penggunaan indera Anak
tunarungu dalam masalah transfer of knowledge yang hanya terbatas pada indera visual atau penglihatan saja. Permasalahan anak tunarungu dalam transfer of
knowledge ini berlaku bagi seluruh mata pelajaran, tidak terkecuali mata pelajaran matematika.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang selalu diajarkan pada jenjang pendidikan sejak TK, SD, SLTP, SMA bahkan tidak
terkecuali di SLB. Matematika merupakan ilmu yang membutuhkan fungsi kerja otak, karena matematika merupakan ilmu yang berkenaan dengan ide-ide atau
konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalaran deduktif yang membutuhkan pemahaman secara bertahap dan berurutan.
commit to user 3
Parwoto 2007: 125 mengatakan “matematika adalah ilmu tentang
struktur-struktur abstrak karena penelaahan bentuk-bentuk dalam matematika membawa matematika itu ke dalam struktur-struktur abstrak pengetahuan
”. Pengetahuan matematika merupakan ilmu yang abstrak bagi peserta didik, terlebih
bagi peserta didik tunarungu yang daya abstraksinya rendah. Banyak alasan perlunya peserta didik belajar matematika.
Cornelius dalam Mulyono Abdurrohman, 1999: 253 mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika karena matematika merupakan
1 sarana berpikir yang jelas dan logis, 2 sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, 3 sarana mengenal pola-pola hubungan
dan generalisasi pengalaman, 4 sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan 5 sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap
perkembangan budaya.
Aspek-aspek pemahaman suatu konsep termasuk pemahaman rumus- rumus dan aplikasinya merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki
peserta didik dalam pembelajaran matematika, akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
permasalahan matematika, hal ini dikarenakan pemahaman konsep yang dimiliki peserta didik kurang.
Berdasar beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas, bila
dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain, maka pembelajaran matematika sebaiknya tidak disamakan dengan ilmu yang lain. Matematika sebagai suatu ilmu
mengenai struktur dan hubungan-hubungannya sangat memerlukan simbol-simbol dan lambang-lambang.
Matematika berperan sangat penting untuk menyelesaikan berbagai masalah di dalam kehidupan sehari-hari , untuk itu setiap anak yang mengenyam
pendidikan berhak mendapatkan mata pelajaran matematika, tidak terkecuali anak tunarungu. Mata pelajaran matematika khususnya materi penjumlahan dan
pengurangan merupakan konsep dasar yang harus dimiliki peserta didik, oleh karena itu penguasaan konsep kedua jenis operasi hitung tersebut perlu mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh dari para guru SLB. Perhatian yang sungguh- sungguh dari para guru SLB diperlukan karena pembelajaran Matematika
commit to user 4
merupakan proses berjenjang bertahap, dimulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sukar. Pembelajaran Matematika harus dimulai dari
tahapan konkrit ke semikonkrit, dan berakhir pada yang abstrak. Pembelajaran Matematika hendaknya mengikuti metode spiral yang artinya dalam
memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari, tidak terkecuali materi penjumlahan dan pengurangan.
Materi penjumlahan dan pengurangan memegang peranan penting di dalam mata pelajaran matematika, karena merupakan dasar yang harus dimiliki
oleh seseorang untuk mempelajari matematika lebih lanjut. Konsep penjumlahan dan pengurangan harus dilakukan dengan benar dalam mengajarkannya. Materi
penjumlahan dan pengurangan menjadi landasan untuk mempelajari operasi- operasi hitung yang lebih tinggi, seperti perkalian dan pembagian, serta operasi-
operasi hitung yang lainnya. Ini berarti bahwa dengan memahami penjumlahan dan pengurangan, peserta didik tidak terkecuali peserta didik tunarungu akan
mudah mempelajari operasi hitung lainnya. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa guru sebagai individu, dituntut untuk menguasai berbagai macam
kemampuan, di antaranya kemampuan memilih dan menentukan materi maupun media pembelajaran.
Menurut Piaget
dalam Mulyono
Abdurrohman, 1999:
34 Perkembangan intelektual meliputi empat tahap berikut: 1 tahap sensori-motorik
0:0-2:0 tahun, 2 tahap praoperasional 2-7 tahun, 3 tahap operasional konkrit 7-11 tahun, dan 4 tahap operasional formal usia 11 tahun ke atas.
Bruner dalam Mulyono Abdurrohman, 1999:34 berpendapat terdapat tiga tahapan dalam proses Pembelajaran yaitu: 1 Tahapan Enactive
adalah tahap dalam proses belajar yang ditandai oleh manipulasi secara langsung objek-objek berupa benda atau peristiwa konkret; 2 tahap
Econic ditandai oleh penggunaan perumpamaan atau tamsilan imagery; 3 sedangkan tahapan Symbolic ditandai oleh penggunaan simbol dalam
proses belajar. Fenomena di lapangan menunjukan bahwa materi operasi hitung
penjumlahan dan pengurangan dalam mata pelajaran matematika disajikan secara abstrak tanpa mempedulikan tahapan belajar peserta didik. Guru menyajikan
materi penjumlahan
dan pengurangan
dengan menggunakan
metode
commit to user 5
konvensional. Metode konvensional yang digunakan oleh guru lebih berfokus dengan metode ceramah dan tidak melibatkan aktivitas peserta didik sehingga
kemampuan peserta didik dalam memecahkan operasi hitung khususnya penjumlahan dan pengurangan kurang maksimal.
Peneliti dalam melaksanakan observasi pembelajaran matematika di kelas I SLB-B YTRW Surakarta, khususnya pada materi penjumlahan dengan
atau tanpa teknik menyimpan dan pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam, menemukan bahwa ternyata setelah di jelaskan dan diberikan tugas
tentang operasi hitung penjumlahan dan pengurangan, kurang lebih hanya 33 yang dapat menyelesaikannya dengan baik. Mereka masih terfokus pada besar
kecilnya bilangan dan tanda operasinya saja tanpa mempertimbangkan posisi bilangan yang telah diketahui dan yang harus dicari, misalnya pada soal 33
+ … = 60, peserta didik mencari jawabannya dengan menjumlahkan kedua suku yang
diketahui sehingga jawaban peserta didik menjadi: 33 + 93 = 60. Jawaban 93, diperoleh dari hasil menjumlah 33 dengan 60. Peserta didik sering mengulang
kesalahan yang sama, meskipun pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan dan diberi latihan soal dengan jumlah yang cukup tentang operasi penjumlahan dan
pengurangan, baik suku yang tidak diketahui berada di ruas kanan maupun pada salah satu suku di ruas kiri.
Salah satu penyebab rendahnya daya retensi hasil belajar ini menurut pandangan kaum strukturalis adalah karena proses pemahaman peserta didik
terhadap konsep abstrak penjumlahan dan pengurangan tidak dilakukan melalui proses pengalaman yang nyata. Eisenhart dalam http:sutisna.comjurnaljurnal-
kependidikanpenerapan-konsep-kesetimbangan-pada-operasi-penumlahan-dan pengurangan-di-sekolah-dasar.
Berdasarkan asumsi di atas dan observsi yang telah dilakukan oleh peneliti, maka peneliti dapat mengidentifikasi beberapa kelemahan yang dimiliki
peserta didik kelas I SLB-B YRTRW Surakarta, sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan tersebut dengan
baik. Kelemahan tersebut menjadikan peneliti memilih mereka sebagai subjek penelitian. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah:
commit to user 6
1. peserta didik belum menguasai materi prasyarat untuk sebuah konsep baru.
2. peserta didik kurang mampu mengkomunikasikan konsep yang telah dipelajari
baik gagasan, tanggapan atau lambang. 3.
materi ajar matematika yang abstrak, disampaikan dengan tidak memperhatikan tahapan pembelajaran yang bersifat konkrit ke abstrak.
4. media yang digunakan tidak tepat, kurang memperhatikan tahapan kognitif
peserta didik tunarungu. Permasalahan tersebut hendaknya perlu dicarikan alternatif metode
pembelajaran yang mampu melibatkan peserta didik secara aktif sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Proses belajar mengajar juga akan
lebih variatif dan kreatif jika menggunakan media pembelajaran. Begitu juga dalam mata pelajaran matematika, terlebih lagi bagi anak tunarungu.
Hamalik dalam Azhar Arsyad, 2005: 15 mengemukakan bahwa, “pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa
pengaruh psikologis terhadap siswa”. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa media merupakan
alat yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan pelajaran agar materi yang disampaikan lebih dapat dipahami oleh peserta didik. Penggunaan media yang
menarik mampu meningkatkan prestasi peserta didik. Keberhasilan penggunaan media untuk meningkatkan prestasi peserta didik tergantung pada isi pesan, cara
menjelaskan pesan, dan karakteristik penerima pesan. Media pembelajaran dapat menghasilkan atau mendekati realitas, dapat mengganti kata-kata yang merupakan
lambang tidak sempurna. Hal ini dapat mudah membantu meningkatkan dan merangsang minat dari sebuah kelas yang apatis. Media-media pembelajaran juga
mempunyai hubungan nilai hiburan serta tidak memperkecil arti pokok pelajarannya, tetapi justru membantu memperjelas konsep yang akan
disampaikan. Tujuan utama penggunaan media pembelajaran adalah agar konsep-
konsep dan ide dalam matematika yang sifatnya abstrak dapat dikaji, dipahami, dan dicapai oleh penalaran peserta didik, terutama peserta didik yang masih
commit to user 7
memerlukan bantuan alat yang sifatnya nyata, terlihat dengan jelas dalam menangkap ide atau konsep yang diajarkan. Setiap media yang digunakan oleh
guru matematika dalam proses pengajarannya harus berdasarkan tujuan intruksional yang telah disusun. Artinya tujuan itulah yang menentukan media
karena materi yang disajikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, maka dengan sendirinya media tersebut harus mengandung ide-ide atau konsep-konsep
yang terkandung dalam materi tersebut. Sejalan dengan teori-teori tersebut, maka peneliti berusaha memecahkan
masalah tersebut melalui pengunaan media animasi kantong hitung dalam pembelajaran matematika khususnya materi penjumlahan dan pengurangan.
Penelitian ini, akan memulai pembelajaran matematika dari tahapan konkrit menuju abstrak sebagaimana yang diungkapkan oleh Bruner. Media animasi
kantong hitung pada tahapan proses pembelajaran, menurut Bruner termasuk dalam tahap Econic yang ditandai oleh penggunaan perumpamaan atau tamsilan.
Media animasi adalah menciptakan gerakan, seperti yang sering dilihat dalam televisi maupun di layar lebar. Kata animasi berasal dari kata animation
yang berasal dari kata dasar to anime di dalam kamus Indonesia inggris berarti menghidupkan. Secara umum animasi merupakan suatu kegiatan menghidupkan,
menggerakkan benda mati. Suatu benda mati diberi dorongan, kekuatan, semangat dan emosi untuk menjadi hidup atau hanya berkesan hidup. Animasi dapat
membantu proses kegiatan belajar mengajar, jika peserta didik melakukan proses kognitif dibantu dengan animasi, sedangkan tanpa aniamsi proses kognitif sulit
dilakukan. Peserta didik yang memiliki latar belakang dan pengetahuan bahasa yang rendah cenderung memerlukan bantuan, salah satunya animasi, yang
bertujuan untuk menangkap konsep materi yang disampaikan. Animasi juga dapat dijadikan media yang menarik perhatian peserta didik agar tetap fokus dan
semangat dalam mengikuti proses belajar mengajar. Perlakuan khusus pada penggunaan media animasi untuk pembelajaran anak tunarungu adalah peran serta
dari guru sebagai fasilitator. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa animasi
merupakan suatu media elektronik yang menarik yang berupa gambar bergerak.
commit to user 8
Penggunaaan media animasi dalam sistem pengajaran diharapkan dapat lebih efektif dan membantu anak tunarungu dalam memecahkan masalah berhitung
penjumlahan dan pengurangan. Ilustrasi animasi atau gambar bergerak juga diharapkan dapat menghidupkan pemahaman peserta didik dalam pemecahan
masalah penjumlahan dan pengurangan angka-angka yang bersifat abstrak. Media animasi kantong dalam penelitian ini merupakan media animasi
yang berisi gambar-gambar animasi tiga dimensi yang dapat bergerak otomatis yang berupa kantong-kantong hitung beserta lidi-lidi. Setiap penambahan dan
pengurangan lidi dalam kantong tersebut, maka lidi akan berkurang secara otomatis. Proses berkurang dan bertambahnya lidi tersebut akan nampak secara
visual sehingga menguntungkan anak tunarungu yang inderanya terbatas pada visual. Proses visual tersebut akan membantu peserta didik untuk lebih mudah
membayangkan proses bertambahnya dan berkurangnya suatu bilangan. Berdasar pada permasalahan-permasalahan yang dijelaskan di atas, maka
mendorong penulis untuk melakukan penelitian dan mengkaji lebih lanjut ke dalam skripsi dengan judul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika
pada Materi Penjumlahan dan Pengurangan Melalui Media Animasi Kantong Hitung Siswa Kelas I Semester II SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2010
2011 ”.
B. Rumusan Masalah