HUBUNGAN ANTARA FAKTOR FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI ORGANIK DI KECAMATAN SAMBIREJO KABUPATEN SRAGEN

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI

ORGANIK DI KECAMATAN SAMBIREJO KABUPATEN SRAGEN

Jurusan / Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian

Disusun Oleh :

HARI PURNOMO ARIF SUDARMAWAN H0405032

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

NASKAH PUBLIKASI

Untuk Penelitian Sarjana dan Telah Disetujui Oleh Tim Pembimbing :

Pembimbing Utama :

Ir. Supanggyo, MP ( )

NIP. 194710071981031001

Pembimbing Pendamping :

Widiyanto, SP, M.Si ( )


(3)

commit to user

PERNYATAAN

Dengan ini kami selaku Tim Pembimbing Skripsi Mahasiswa Program Sarjana Nama : Hari Purnomo Arif Sudaramawan

NIM : H. 0405032

Jurusan : Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Program Studi : Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian

Menyetujui Naskah Publikasi Ilmiah atau Naskah Penelitian Sarjana yang disusun oleh yang bersangkutan dan dipublikasikan (dengan/tanpa *) mencantumkan nama Tim Pembimbing Sebagai Co-Auditor.

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ir. Supanggyo, MP Widiyanto, SP, M.Si

NIP. 194710071981031001 NIP. 198102212005011003

*) coret yang tidak perlu


(4)

Hari Purnomo Arif Sudarmawan, H0405032 ” HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI ORGANIK DI KECAMATAN

SAMBIREJO KABUPATEN SRAGEN”. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas

Maret Surakarta. Dibawah bimbingan Ir. Supanggyo, MP. Dan Widiyanto, SP. MSi. Kondisi pertanian di Indonesia saat ini yang dinilai masih jauh dari tujuan Pembangunan pertanian berkelanjutan sehingga menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat pertanian Indonesia. Kondisi lingkungan yang semakin rusak, produktifitas tanah yang semakin menurun, kebersihan dan keamanan bahan makana yang menurun akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang berlebihan menjadi permasalahan yang perlu segera diatasi di pertanian, terkhusus adalah dalam rangka menciptakan pertanian berkelanjutan. Dibutuhkan sistem yang bisa menjalankan dan mewujudkan cita-cita tersebut. Saat ini isu pertanian organik menjadi isu penting dalam dunia pertanian, dan saat ini ada daerah-daerah yang berusaha menjalankan sistem ini, salah satunya adalah Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. Banyak faktor yang mempengaruhi pertanian organik salah satunya adalah Faktor sosial ekonomi pertanian, sajauh mana pengaruh sosial ekonomi petani terhadap tingkat penerapan teknologi padi organik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi sosial ekonomi petani padi organik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen, mengkaji tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen, dan mengkaji hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamaan Sambirejo Kabupaten Sragen.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen dengan menggunakan metode kuantitatif. Penentuan sample dilakukan dengan metode Snowball sampling di Kecamatan Sambirejo. Jumlah responden yang diambil sebanyak 40 orang. Metode analisis yang digunakan adalah Uji Koefisien Korelasi Rank Spearman (rs) pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukan bahwat terdapat hubungan yang signifikan antara umur petani, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan petani, lingkungan sosial dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik, sedangkan faktor sosial ekonomi yang berupa luas lahan, pengalaman usahatani padi organik, dan kosmopolitan dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik tidak terdapat hubungan yang signifikan.


(5)

commit to user

Hari Purnomo Arif Sudarmawan, H0405032 "RELATIONSHIP BETWEEN FARMER SOCIO-ECONOMIC FACTORS WITH APPLICATION OF ORGANIC RICE CULTIVATION TECHNOLOGY AT SUB DISTRICT

SAMBIREJO SRAGEN". Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University of

Surakarta . Under the guidance of Ir. Supanggyo, MP. And Widiyanto, SP. MSi. Agricultural condition in Indonesia in this time which is evaluated still far from the aim of sustainable agricultural development, so this condition become homework for the agricultural society in Indonesia. Environmental condition are getting damaged, declining of soil productivity, declining of hygiene and food safety caused by over using of chemicals. All of these problems need to be solved in agriculture, to create sustainable agriculture. It takes a system that can run and realize that goal. Currently organic agriculture becomes important issues in world agriculture, and there are areas that are trying to run this system, one of which is Sambirejo District Sragen Regency. Many factors that influence the organic farming, one of them is socio-economic factor of agriculture, and how far the impact farmers socio-economic on level application of organic rice cultivation technology.

The aims of this research were to study the socio-economic condition of organic rice farmers in sub district Sambirejo Sragen, to study the level of application of organic rice cultivation technology in sub district Sambirejo Sragen and to study the relationship between socio-economic factors with a level application of organic rice cultivation technology in the sub district Sambirejo Sragen.

This research had done in the Sambirejo District of Sragen Regency and using quantitative method. Determination of sample was conducted using snoowball sampling method in Sambirejo District. The number of respondents that were taken as many as 40 peoples. The analytical method was used the Spearman Rank Correlation Coefficient Test (rs) at 95% confidence level.

The result showed that there was a significant relationship between age of farmers, formal education, non formal education, farmer’s income, social environment with the level of application of organic rice cultivation technology, and there was no significant relationship between land area, farming experience in organic rice and cosmopolitan with a level application of organic rice cultivation technology.


(6)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang yang dilaksanakan oleh pemerintah dan didukung oleh partisipasi masyarakat dengan menggunakan teknologi terpilih (Mardikanto, 1996). Dari pengertian diatas, pembangunan dapat diartikan sebagai proses sadar dan terencana yang dilakukan oleh kelompok atau perorangan untuk menuju perubahan yang lebih baik dengan menggunakan inovasi teknologi yang tepat sesuai dengan kebutuhan.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menopang pembangunan indonesia yang mampu memperbaiki mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat serta merupakan sektor yang strategis yang mampu mendukung sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian juga mampu menyediakan bahan mentah dan bahan setengah jadi serta membuka peluang pasar bagi sektor industri.

Permasalahan yang muncul dari sektor pertanian antara lain, menyusutnya lahan pertanian yang terkonversi ke area pemukiman. Menurut Soedarsono (1982) yang dikutip dari Mardikanto (1994), hasil sensus penduduk tahun 1980 dibandingkan dengan sensus pertanian tahun 1973 mengungkapkan adanya kenaikan jumlah petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha sebesar 7,7% per tahun, jumlah petani penggarap naik sebesar 28% per tahun, dan jumlah buruh tani (petani tak bertanah) naik sebesar 2,2% per tahun.

Selain kondisi diatas, permasalahan yang ditimbulkan dari sektor pertanian lainnya adalah rusaknya lahan pertanian karena teracuni zat kimia atau anorganik yang mengakibatkan menurunnya produktifitas lahan, sehingga produk pertanian juga ikut tercemari zat kimia yang


(7)

commit to user

berdampak pada kesehatan konsumen. Sejak akhir tahun delapan puluhan, mulai tampak tanda-tanda terjadinya kelelahan pada tanah dan penurunan produktivitas pada hampir semua jenis tanaman yang diusahakan. Hasil tanaman tidak menunjukkan kecenderungan meningkat walaupun telah digunakan varietas unggul yang memerlukan pemeliharaan dan pengelolaan hara secara intensif melalui bermacam-macam paket teknologi (Sutanto, 2002).

Sistem pertanian yang dikembangkan selama beberapa dekade yang lalu telah memberikan kontribusi besar bagi persediaan pangan di Indonesia hal itu bisa dibuktikan denan tercapainya swadaya beras pada tahun 1980-an. Sistem itu telah mampu meningkatkan produksi beras saat itu, namun sistem itu seakan-akan hanya mengeksplorasi pada satu hal saja tidak berorientasi jangka panjang dan mencakup aspek yang lebih luas. Sistem tersebut hanya menekankan pada kenaikan produk, kurang mempedulikan aspek kesehatan, kelestarian lingkungan, dan kesinambungan produksi. Kenyataan seperti ini memerlukan sistem pertanian yang memberikan fokus sebanyak perhatian yang diberikan orang pada teknologi, sumber daya produksi, jangka panjang, dan jangka pendek. Hanya sistem seperti itu yang dapat menghadapi tantangan pada masa mendatang, yang dimaksud sistem ini adalah pertanian berkelanjutan. Keberlanjutan disini dapat diartikan sebagai menjaga agar suatu upaya terus berlangsung, kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumber daya (Reijntjes, 1999).

Pertanian keberlanjutan perlu diarahkan kearah yang bisa merehabilitasi kondisi tanah yang sedang “sakit”. Menurut Sutanto (2000) yang dikutip dari Sutanto (2002) mengatakan salah satu usaha meningkatkan kesehatan tanah adalah membangun kesuburan tanah yang dilaksanakan dengan cara meningkatkan kandungan bahan organik melalui kearifan tradisional, atau menggunakan masukan dari dalam usaha tani (on


(8)

farm inputs) itu sendiri. Usaha inilah yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sragen. Melalui kegiatan-kegiatan pertanian organik diharapakan bisa diwujudkan pertanian berkelanjutan.

Asosiasi Petani Organik Kabupaten Sragen (2008) mengatakan bahwa sejarah pertanian organik di Kabupaten Sragen dimulai pada tahun 2001. Pada tahun 2001 mulai berkembang isu back to nature (kembali ke alam), yang tidak lain adalah pertanian organik. Hampir semua wacana yang dikembangkan untuk mencoba melaksanakan kembali pertanian konvensional yang mengandalkan pupuk dan pestisida kimia. Kepedulian lingkungan hidup, biohayati, dan kesehatan manusia mulai menguat setelah semakin disadari ketidakseimbangan ekosistem sebagai dampak negatif dari pemakaian pupuk dan pestisida kimia secara berlebihan.

Sragen merupakan salah satu Kabupaten yang tetap konsisten untuk selalu mengembangkan teknologi organik. Mulai tahun 2003 bupati Sragen mencanangkan program pertanian organik. Program pertanian organik di perkenalkan di desa-desa melalui pelatihan dan penyuluhan kepada kelompok tani untuk mengembangkan teknologi organik. Program pertanian organik yang dikembangkan adalah budidaya padi organik. Beberapa produk hasil padi organik antara lain beras menthik wangi organik, IR 64 organik, C-4 raja organik, beras merah unggul lokal organik, beras merah lokal organik dan sereal bekatul organik (Asosiasi Petani Organik Kabupaten Sragen, 2008).

Pengembangan pertanian organik di Kabupaten Sragen mengalami bebarapa hambatan. Isu organik mengalami permasalahanberbeda-beda di setiap kecamatan. Ada yang mengalami fase pasang ada yang mengalami fase surut bahkan ada beberapa daerah yang menentang dan menolak isu organik dengan alasan yang akan mengancam ketahanan pangan nasional, tidak efisien bahkan ada yang menolak tanpa alasan yang jelas (Asosiasi Petani Organik Kabupaten Sragen, 2008). Hambatan ini salah satunya disebabkan oleh pengaruh sosial ekonomi masyarakat. Terkait dengan hal


(9)

commit to user

tersebut, maka perlu diteliti tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik dalam rangka mewujudkan pertanian keberlanjutan.

B. Perumusan Masalah

Pembangunan pertanian merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dalam perjalanan hidup umat manusia. Pertanian senantiasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan umat manusia. Menurut World Commission on Environment and Development (WCED) yang dikutip dari Reijntjes (1999) mengatakan pada tahun 1987 perhatian pada masalah besar dan tantangan yang dihadapi pertanian dunia, jika kebutuhan pangan saat ini dan mendatang harus terpenuhi dan perlunya suatu pendekatan baru untuk pengembangan pertanian. Pada akhir abad ini, sekitar 1,3 miliar manusia akan bertambah. Sistem pangan dunia harus dikelola untuk meningkatkana produksi pangan sebesar tiga sampai empat persen per tahun.

Melalui program revolusi hijau, produksi pangan dunia meningkat secara dramatis, sehingga mampu mengatasi kerawanan pangan terutama di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin. Peningkatan produksi pangan tidak terlepas dari penggunaan produk teknologi modern seperti benih ungggul, pupuk kimia atau pabrik, pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh, dan penanaman monokultur. Akan tetapi pada kenyataannya program revolusi hijau hanya dapat berhasil diwilayah dengan sumber daya tanah dan air yang baik, serta infrastruktur mendukung

(Sutanto, 2002).

Peningkatan produksi sering sekali diberi perhatian utama, dalam pembangunan dibidang pertanian. Peningkatan produksi ada batas maksimal, Jika batas itu dilampaui ekosistem akan mengalami degradasi dan kemungkinan akan runtuh sehingga hanya sedikit orang yang bisa bertahan hidup dengan sumber daya yang tersisa. Prinsip ekologi dasar mewajibkan kita untuk menyadari, bahwa produktifitas pertanian memiliki kemampuan terbatas (Reijntjes, 1999).


(10)

Menurut Sangatanan (1989) yang dikutip dari Sutanto (2002) mengatakan menurut pakar ekologi, teknologi modern (pertanian bergatung bahan kimia) berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil menanggulangi kerawanan pangan, tetapi ternyata harus dibayar mahal dengan makin meningkatnya kerusakan yang terjadi dipermukaan bumi, seperti desertifikasi, kerusakan hutan, penurunan keragaman hayati, salinitas, penurunan kesuburan tanah, pelonggokan senyawa kimia di dalam tanah maupun perairan, erosi dan kerusakan lainnya. Penggunaan pupuk pabrik serta pestisida yang berlebihan dan tidak terkendali mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan yaitu penggunaannya setiap waktu meningkat (ketergantungan), kemangkusannya (efficiency) menurun, dan cenderung berdampak negatif terhadap lingkungan (Sutanto, 2002). Sistem pertanian seperti diatas saat ini telah memperlihatkan bukti bahwa sistem tersebut sudah tidak seampuh dulu, bahkan cenderung memberikan kerugian dengan rusaknya lingkungan, menurunkan produktivitas lahan dan merusak kesehatan. Oleh karena itu diperlukan sistem pertanian yang memberikan fokus sebanyak perhatian yang diberikan orang pada teknologi, sumber daya produksi, jangka panjang, dan jangka pendek. Semangat dari sistem ini adalah pertanian berkelanjutan.

Pertanian organik akan banyak memberikan keuntungan ditinjau dari segi peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan produksi tanaman maupun ternak, serta dari segi lingkungan dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem. Di samping itu, dari segi ekonomi akan lebih menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, bahan kimia pertanian, serta memberi banyak kesempatan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani.

Pertanian saat ini harus mulai memperhatikan sistem pertanian yang sepadan baik dari lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi. Meskipun budidaya organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan kepada pembangunan pertanian rakyat dan


(11)

commit to user

penjagaan lingkungan, termasuk konservasi sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan banyak menghadapi kendala

(Sutanto, 2002).

Pertanian organik merupakan sebuah ide, menurut Samsudin (1982) dalam penerimaan suatu ide pada kenyataannya setiap orang, dalam hal ini petani, tidak akan sama kemampuannya. Ada yang sifatnya cepat menerimanya, lambat, bahkan ada yang tidak mau menerima. Sesuatu akan diterima oleh petani memerlukan jangka waktu, tergantung pada cara penyampaian, media yang digunakan dan kemampuan petani sendiri. Begitu juga dengan pengembangan padi organik yang dilakukan di Kabupaten Sragen, tidak semua daerah menerima isu organik dengan berbagai alasannya.

Tingkat penerapan teknologi padi organik dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi antara lain adalah tingkat pendidikan, umur, pendapatan, luas lahan, lingkungan sosial dan lain-lain. Menurut Mardikanto (1994) contohnya adalah tingkat pendidikan, hal ini karena adopsi teknologi baru hanya akan dapat berkembang dengan cepatnya apabila masyarakat (petani) yang menerimanya cukup mempunyai dasar pendidikan atau pengetahuan dan ketrampilan dalam hal cara pandang yang lebih terbuka dalam menyikapa sebuah inovasi, dalam hal ini adalah inovasi teknologi padi organik dan juga ketrampilan budidaya padi organik.

Berdasarkan uraian diatas, muncul beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana faktor-faktor sosial ekonomi petani padi organik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen?

2. Bagaimana tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen?

3. Bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamaan Sambirejo Kabupaten Sragen?


(12)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen bertujuan untuk:

1. Mengkaji kondisi sosial ekonomi petani padi organik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen.

2. Mengkaji tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen.

3. Mengkaji hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamaan Sambirejo Kabupaten Sragen.

D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi pemerintah dan pihak lembaga terkait sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

2. Bagi masyarakat, diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengetahuan dalam proses penerapan budidaya padi organik.

3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan untuk lebih mendalami pengetahuan budidaya padi organik untuk bekal pengelolaan usaha beras organik.

4. Bagi peneliti lain yang tertarik tentang masalah pengembangan padi organik, sebagai bahan pembanding dalam penelitian.


(13)

commit to user

II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembangunan pertanian

Pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup melalui modernisasi, industrialisasi untuk memajukan keadaan sosial termasuk keadilan yang lebih besar, kebebasan, dan kualitas terhadap lingkungannya. Pembangunan berarti membangkitkan masyarakat di negara-negara sedang berkembang dari keadaan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakpastian sosial (Nasution, 2004).

Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi dan pembangunan masyarakat secara umum. Pembangunan pertanian merupakan produk masyarakat dan memberikan sumbangan kepadanya serta menjamin bahwa pembangunan menyeluruh itu akan benar-benar bersifat umum, dan mencakup penduduk yang hidup dari bertani, yang jumlahnya besar, dan untuk tahun-tahun mendatang. Agar pembangunan pertanian itu terlaksana, pengetahuan dan ketrampilan petani harus terus meningkat dan berubah. Karena petani terus-menerus menerima metode baru, cara berpikir mereka pun berubah. Mereka mengemban sikap baru yang berbeda terhadap pertanian, terhadap alam sekitar dan terdiri dari mereka sendiri (Mosher, 1966).

Pembangunan pertanian bertujuan untuk mewujudkan pertanian yang tangguh, maju, dan efisien. Tanggung disini diartikan bahwa dalam pembangunan pertanian tercipta ketahanan pangan dalam persediaan dan ketersidiaan bahan pokok secara merata dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau rakyat banyak secara terus-menerus (Soetrisno, 1998).


(14)

2. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam (Reijntjes, 1999). Pengertian pertanian berkelanjutan lebih spesifik mampu mengintegrasikan tujuan utama yaitu kesehatan lingkungan, keuntungan ekonomi, dan keadilan sosial ekonomi.

“…Sustainable agriculture integrates three main goals environmental health, economic profitability, and social and economic equity. A variety of philosophies, policies and practices have contributed to these goals. People in many different capacities, from farmers to consumers, have shared this vision and contributed to it. Despite the diversity of people and perspectives, the following themes commonly weave through definitions of sustainable agriculture...” (Feenstra,1997)

Pertanian berkelanjutan dengan masukan teknologi rendah Low Input Sustainable Agriculture (LISA) adalah membatasi ketergantungan pada pupuk organik dan bahan kimia pertanian lainnya. Gulma, penyakit dan hama tanaman dikelola melalui pergiliran tanaman, pertanaman campuran, bioherbisida, insektisida organik yang dikombinasikan dengan pengelolaan tanaman yang baik

(Sutanto, 2002).

3. Pertanian organik

Terdapat sepuluh aspek pertanian organik termasuk terminologinya, Sepuluh aspek pertanian organik yang digunakan sebagai standar-standar dasar, ialah: (1) rekayasa genetika; (2) produksi tanaman dan peternakan secara umum; (3) produksi tanaman; (4) peternakan; (5) produksi akuakultur; (6) pengolahan dan penanganan makanan; (7) pengolahan tekstil; (8) pelabelan; (9) kepedulian sosial; dan (10) pengelolaan hutan (Sutanto, 2002).


(15)

commit to user

Definisi pertanian organik dapat bervariasi. Pertanian organik menggantikan pupuk sintetis dengan pupuk kandang, rotasi tanaman, kacang-kacangan, pupuk hijau, budidaya mekanis, dan lain-lain.

“…The definition of organic farming can vary. At the minimum, however, organic farmers substitute the use of synthetic fertilizers, pesticides and fertilizers with some combination of crop rotation, plant residues, animal manure, legumes, green manure, off-farm wastes, mechanical cultivation, mineral-bearing rocks and biological pest control to maintain soil health, supply plant nutrients and minimize pests…” (Goforth, 2003).

Prinsip pertanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian dengan masukan teknologi rendah (low input technology) dan upaya menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Kita mulai sadar tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budidaya manusia dalam merusak lingkungan

(Sutanto, 2002).

Menurut Andoko (2002) pertanian organik merupakan kegiatan bercocok tanam yang akrab dengan lingkungan. Pertanian organik berusaha meminimalkan dampak negatif dari alam sekitar. Ciri utama pertanian organik adalah penggunaan varietas lokal yang relatif masih alami, diikuti dengan penggunaan pupuk organik dan pestisida organik. Alasan kenapa pertanian organik lebih utama menggunakan varietas alami adalah karena sifat dari varietas itu sendiri, varietas hibrida atau non alami mempunyai sifat membutuhkan pupuk kimia sebagai pemacu pertumbuhan, sedangkan untuk varietas alami tidak memerlukan pupuk kimia untuk memacu pertumbuhan.

4. Adopsi Inovasi

a) Konsep adopsi inovasi

Adopsi adalah suatu proses yang dimulai dari keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai diterimanya ide tersebut oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Sedang inovasi merupakan sesuatu yang baru yang disampaikan


(16)

kepada masyarakat, lebih baik dan lebih mengutungkan dari hal-hal yang sebelumnya ada (Samsudin, 1982).

Kecepatan adopsi adalah tingkat kecepatan penerima inovasi oleh anggota sistem sosial. Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah penerima yang mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu tertentu. Hal-hal lain yang dapat menjadi variabel penjelas kecepatan adopsi adalah (1) tipe keputusan inovasi, (2) sifat saluran komunikasi yang dipergunakan untuk menyebarkan inovasi dalam proses keputusan inovasi, (3) ciri sistem sosial, (4) gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1981).

Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh kepada masyarakat sasaran. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar “tahu”, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya

(Wijianto, 2009).

Menurut Soekartawi (1988), inovasi adalah suatu ide yang dipandang baru oleh seseorang. Karena latar belakang seseorang berbeda-beda, maka didalam menilai secara obyektif apakah suatu ide baru yang dimaksud itu adalah sangat relatif sifatnya. Sifat baru ide tersebut kadang-kadang menentukan reaksi seseorang. Reaksi ini tentu saja berbeda-beda antara individu satu dengan yang lain. Dengan demikian, maka suatu pandangan inovasi mungkin berupa suatu teknologi baru, cara organisasi yang baru, cara pemasaran pertanian yang baru dan sebagainya.


(17)

commit to user

Rogers dan Shoemaker ( 1981) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluh.

b) Tingkatan adopsi

Menurut Samsudin (1982) dalam penyuluhan pertanian dikenal adanya proses adopsi. Seseorang menerima sesuatu hal baru atau ide selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini dikenal sebagai tahap proses adopsi, yaitu:

1. Tahap kesadaran. Petani mulai sadar tentang adanya sesuatu yang baru, mulai terbuka akan perkembangan dunia luarnya, sadar apa yang sudah ada dan apa yang belum.

2. Tahap minat. Lama kelamaan sesudah menyadari akan kekurangan dalam cara berusaha tani, petani mulai menaruh minat akan hal yang baru diketahuinya. Tahap ini ditandai oleh adanya kegiatan mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru diketahuinya, apa itu, bagaimana dan apa kemungkinannya jika dilaksanakan sendiri.

3. Tahap penilaian. Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh. Mulai timbul rasa menimbang-nimbang untuk kemungkinan melaksanakannya sendiri. Apa mampu, apa menguntungkan dan apa sesuai dengan jenis kegiatan yang sudah biasa dilaksanakan atau tidak. Petani akan menilai kebenaran dan kebaikan dari apa yang dianjurkan atau disuluhkan kepadanya.

4. Tahap mencoba. Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru besar, dan jika ternyata dari hasil penilaiannya positif maka dimulai usaha mencoba-coba hal baru yang sudah diketahuinya. Para petani dengan menggunakan sebagian kecil dari area sawahnya mencoba-coba menanam varietas padi baru, mencoba dosis pupuk yang dianjurkan, dan dilihat dulu bagaimana hasilnya.


(18)

5. Tahap adopsi. Pada tahap ini, sebagi tahap terakhir, petani sudah mulai mempraktekkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil. Luas area pertanaman diperluas, bahkan mungkin seluruh varietas padi lama diganti dengan varietas baru/unggul, karena sudah yakin dengan dari hasil percobaannya memang baik, dan yakin bahwa dengan menanam varietas tersebut selanjutnya akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar.

Tahap-tahap adopsi ini penting untuk dipelajari agar diketahui dalam tahap mana petani berada, sehingga dapat ditentukan bagaimana cara penyuluhannya.

Samsudin (1982) mengatakan adanya perbedaan dalam kecepatan menerima sesuatu hal baru oleh petani, berakibat timbulnya suatu pembagian golongan petani yang didasarkan atas cepat lambatnya proses adopsi dan partisipasi petani dalam usaha penyebarluasan hal-hal baru tersebut kedalam lingkungannya. Ada lima golongan adopter, yaitu:

a) Innovator

Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki.

b) Early adopter

Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.


(19)

commit to user

c) Early mayority

Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat. d) Late mayority

Kelompok zang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.

e) Langgard

Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.

c) Faktor penentu dan kendala adopsi

Faktor lambannya adopsi dan inovasi disektor pertanian menjadi permasalahan. Menurut Rogers (1974) yang dikutip dari Mardikanto (2003) mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan kelambanan proses adopsi inovasi yang disampaikan kepada petani kecil, mencakup:


(20)

1. Strategi komunikasi dengan pendekatan media massa yang selain kurang dapat menjangkau petani kecil, juga sering kali tidak dapat dipahami, dan karena itu lebih bermanfaat bagi petani lapisan “atas” saja.

2. Kelambanan proses difusi inovasi dari lapisan “atas” ke “bawah” karena kurangnya keterpaduan kedua lapisan tersebut dalam jaringan komunikasi interpersonal.

3. Adanya beberapa isolasi sosial budaya yang menghambat proses difusi inovasi dari lapisan “atas” ke “bawah”.

Tingkat adopsi dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah: keuntungan relatif, kesesuaian, kesukaran, ketercobaan, dan mudah tidaknya inovasi tersebut diamati. Rogers (1983) yang dikutip Rogers (1995) mengatakan:

“…The perceived attributes of an innovation are one important explanation of the rate of adoption of an innovation. From 49 to 87 percent of the variance in rate of adoption is explained by five attributes: relative advantage, compatibility, complexity, trialability, and observability…"

Variabel lain yang mempengaruhi tingkat adopsi adalah 1) sifat-sifat inovasinya, 2) kegiatan promosi yang dilakukan penyuluh, 3) ciri-ciri sistem sosial masyarakat sasaran, 4) dan jenis pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran.

”…In addition to these five perceived attributes of an innovation, such other variables as (1) the type of innovation-decision, (2) the nature of communicatioan channels diffusing the innovation at various stages in the innovation-decision process, (3) the nature of the social system in which the innovation is diffusing, and (4) the extent of change agents’ promotion efforts in diffusing the innovation, effect an innovation’s rate of adoption (Rogers, 1995)…”

Isu organik mengalami “disparitas” berbeda-beda ditiap-tiap Kabupaten. Ada yang mengalami fase pasang ada yang mengalami fase surut bahkan ada beberapa daerah yang menentang dan menolak isu organik dengan alasan yang akan mengancam


(21)

commit to user

ketahanan pangan nasioanal, tidak efisien bahkan ada yang tanpa alasan yang jelas

(Asosiasi Petani Organik Kabupaten Sragen, 2008).

5. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi

Faktor-faktor sosial ekonomi adalah faktor-faktor yang berasal dari segi sosial dan ekonomi yang dimiliki petani sehingga dapat mempengaruhi keputusan mereka mengenai suatu hal. Faktor-faktor sosial ekonomi yang dimiliki petani dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk menentukan apakah mereka perlu mengadopsi inovasi atau tidak. Faktor-faktor sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, luas lahan penguasaan petani, dan lingkungan sosial petani.

a. Umur

Menurut Lionberg yang dikutip dari Mardikanto (2003) menyatakan bahwa semakin tua (lebih dari 50 tahun) biasanya semakin rendah partisipasinya dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh waraga masyarakat setempat. Petani muda biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka lebih cepat dalam melakukan adopsi inovasi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa petani-petani yang lebih tua mempunyai problem-problem yang berbeda dari pada yang berusia setengah tua dan yang lebih muda (Soekartawi, 1988).

Orang-orang yang berperan aktif di dalam masyarakat pedesaan saat ini adalah orang-orang yang lanjut usia atau yang sudah berangkat menuju jenjang ketuaan. Orang-orang ini mempunyai dasar pendidikan formal yang rendah. Orang-orang inilah yang menentukan “segala sesuatu” bagi desanya. Di samping itu, karena kurangnya berkomunikasi dengan masyarakat


(22)

di luar desa (karena daerah terisolir dsb) orang-orang ini menjadi sangat kurang berpengalaman dan kurang mempunyai ketrampilan untuk mengikuti perkembangan teknologi baru yang terus melaju diluar masyarakatnya. Keadaan demikian ini, jelas akan sangat menghambat proses adopsi teknologi

(Mardikanto, 1994).

b. Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan struktur dari suatu sistem pengajaran yang kronologis dan berjenjang, lembaga pendidikan mulai dari pra sekolah sampai perguruan tinggi (Suhardiyono, 1992). Lembaga pendidikan formal dalam hal ini sekolah memiliki tugas untuk membina dan mengembangkan sikap anak didiknya menuju sikap yang kita harapkan. Tujuan pendidikan adalah merubah sikap anak didik kearah tujuan pendidikan. Peranan sekolah itu jauh lebih luas, didalamnya berlangsung beberapa bentuk-bentuk dasar dari pada kelangsungan pendidikan pada umumnya ialah pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan yang wajar (Azwar,1995).

c. Pendidikan non formal

Pendidikan non formal diartikan sebagai penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir yang berada diluar sistem pendidikan sekolah, isi pendidikan terprogram, proses pendidikan yang berlangsung berada dalam situasi interaksi belajar mengajar yang terjontrol (Mardikanto dan Sutarni, 1982).

Menurut Azwar (1995) mengemukakan bahwa pendidikan non formal merupakan pendidikan yang didapat diluar bangku sekolah. Penyuluh pertanian dan pelatihan merupakan pendidikan non formal. Penyuluhan pertanian merupakan sistem pendidikan non formal yang tidak sekedar memberikan penerangan atau menjelaskan tetapi berupaya untuk mengubah perilaku sasarannya agar memiliki pengetahuan pertanian dan berusaha tani yang luas,


(23)

commit to user

memiliki sikap progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap inovasi sesuatu (informasi) baru, serta terampil melaksanakan kegiatan.

d. Pendapatan

Menurut Harnanto (1993), mengatakan salah satu status sosial ekonomi petani adalah pendapatannya. Tingkat pendapatan seseorang menunjukan status ekonominya.

Petani dengan tingkat pendapatan yang tinggi ada hubungannya dengan tingkat keterlibatannya dalam pelaksanaan partisipasi sehingga akan terlihat bahwa masyarakat dengan status sosial yang tinggi akan cenderung aktif dalam setiap kegiatan masyarakat (Soekartawi, 1988).

e. Luas lahan

Menurut Mardikanto (1994), luas lahan yang diusahakan petani di Indonesia relatif sempit, petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha sebesar 7,7% per tahun jumlah ini selalu bertambah dari tahun ke tahun. Petani berlahan sempit sering kali tidak dapat menerapkan usahatani yang sangat intensif, karena bagaimanapun ia harus melakukan kegiatan-kegitan lain di luar usahatani untuk memperoleh tambahan pendapatan.

Menurut Soedarsono (1982) yang dikutip Mardikanto (1994) dengan mengutip hasil sensus penduduk tahun 1980 dibandingkan dengan sensus pertanian tahun 1973 mengungkapkan adanya kenaikan jumlah petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha sebesar 7,7% per tahun, jumlah petani penggarap naik 28% per tahun, dan jumlah buruh tani (petani tak bertanah) naik sebesar 2,2 per tahun.

f. Lingkungan sosial

Petani memutuskan mengadopsi suatu inovasi dikarenakan kondisi lingkungan sosialnya. Petani mengadopsi inovasi disebabkan orang-orang disekitarnya banyak yang mengadopsi


(24)

atau petani mengikuti pemuka masayarakat di daerahnya. Rogers dan Shoemaker (1981) menyatakan didalam suatu masyarakat biasanya ada orang-orang tertentu yang menjadi tempat bertanya dan tempat meminta nasehat anggota masyarakat lainnya mengenai urusan-urusan tertentu. Mereka ini seringkali memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu.

Pendapat lebih lanjut disampaikan oleh Wijianto (2009) tentang adanya sifat kelompok masyarakat (terutama yang masih tertutup) untuk mencurigai setiap tindakan orang-orang yang berasal dan berada di luar sistem sosialnya, seringkali berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat. Sebab, di dalam masyarakat sasaran seperti ini, mereka akan cepat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mereka kenal, dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan.

g. Pengalaman usaha tani

Pengalaman tidak selalu melewati proses belajar formal. Pengalaman juga bisa diperoleh melalui rangkaian aktivitas yang pernah di alami (Rahmat, 1998). Semakin banyak pengalaman yang dimiliki petani dalam budidaya padi organik maka tingkat adopsi teknologi juga semakin tinggi.

h. Tingkat kosmopolitan

Arti secara harafiah bahwa kekosmopolitan adalah tingkat kemampuan seseorang dalam mencari informasi pengetahuan berupa pengalaman melihat, mendengar, membaca (media massa, cetak maupun elektronik) “bergaul” maupun bepergian ke suatu tempat sehingga dapat menambah pengalaman dalam memecahkan masalah dan perubahan perilaku pribadinya.


(25)

commit to user

Perilaku individu untuk melakukan aktivitas komunikasi timbul berdasarkan dorongan yang ada dalam diri individu tersebut untuk melakukan sesuatu gerakan atau tindakan yang sesuai dengan keinginannya (Subagiyo dan Sri Budhi Lestari, 2005).

6. Teknik budidaya padi organik

Penerapan produksi tanaman yang berkelanjutan perlu memperhatikan berbagai pendekatan. Pendekatan dalam produksi ada dua strategi yaitu strategi khusus dan strategi umum. Strategi khusus hendaklah memperhatikan aspek topografi, karakter tanah, iklim, input lokal, sedangkan strategi umum adalah aspek pemilihan spesies dan varietas, diversifikasi pertanian, pengelolaan tanah, efisiensi dan manusiawi penggunaan input dan tujuan serta gaya hidup petani.

“…Sustainable production practices involve a variety of approaches. Specific strategies must take into account topography, soil characteristics, climate, pests, local availability of inputs and the individual grower's goals. Despite the site-specific and individual nature of sustainable agriculture, several general principles can be applied to help growers select appropriate management practices:

• Selection of species and varieties that are well suited to the site and to conditions on the farm;

• Diversification of crops (including livestock) and cultural practices to enhance the biological and economic stability of the farm;

• Management of the soil to enhance and protect soil quality;

• Efficient and humane use of inputs; and

• Consideration of farmers' goals and lifestyle choices…” (Feenstra 1997).

Budidaya pertanian organik, khususnya budidaya padi organik diperlukan pedoman khusus dalam pembudidayaannya sehingga petani mengetahui proses yang benar dalam budidaya padi organik. Pedoman ini juga berguna untuk melindungi konsumen dari penipuan dan segala bentuk kecurangan, claim (tuntutan) produk yang tidak berdasar serta melindungi konsumen dari produk non organik (Seta, 2002). Teknik budidaya padi organik meliputi:


(26)

a. Pemilihan varietas

Varietas padi yang cocok dibudidayakan dengan cara organik adalah padi non hibrida. Handoko (2002) menyatakan bahwa tidak semua varietas padi cocok untuk dibudidayakan secara organik. Padi hibrida kurang cocok ditanam secara organik karena diperoleh melalui proses pemuliaan di laboratorium. Walaupun merupakan varietas unggul tahan hama dan tahan penyakit tertentu, tetapi umumnya padi hibrida hanya dapat tumbuh dan berproduksi optimal bila disertai dengan aplikasi pupuk kimia dalam jumlah banyak. Tanpa pupuk kimia, padi tersebut tidak akan tumbuh subur dan berproduksi optimal.

Padi dikatakan bervarietas unggul apabila mempunyai salah satu sifat keunggulan terhadap varietas sebelumnya. Keunggulan tersebut dapat tercermin pada sifat pembawanya yang dapat menghasilkan buah yang produksinya tinggi, pada satu satuan luas lahan dan pada satu satuan waktu. Produksi yang tinggi ini dapat terjadi karena perpaduan antara beberapa sifat yang ada pada tanaman. Sifat-sifat tanaman padi varietas unggul antara lain: (1) Mempunyai banyak anakan, (2) Jumlah malai tiap anakan banyak, (3) Banyaknya buah padi tiap-tiap malai 250 butir keatas, (4) Respon terhadap pemupukan, (5) Tahan terhadap hama dan penyakit, termasuk virus, (6) Umur pendek (110-140 hari setelah menyebar). Disamping itu masih ada sifat-sifat tambahn yang diinginkan (sesuai selera) petani antara lain: (1) Rasa nasi enak, (2) Tahan rontok, (3) Perawatannya mudah (AAK, 1990).

Untuk mengetahui keadaan benih yang baik dapat dilihat: - Kebersihan benih terhadap gabah hampa, setengah hampa,

potongan jerami, kerikil dan tanah, kotoran dan benda lain serta hama gudang.

- Warna gabah hendaklah sesuai dengan aslinya, yaitu cerah dan bersih. Ada kemungkinan terdapat warna yang berbeda,


(27)

commit to user

misalnya hijau, hitam. Hal ini dapat terjadi pada benih yang kemasannya tidak seragam, ganguan lingkungan atau berbeda varietas. Terjadinya warna lain juga bisa disebabkan penanaman jatuh pada musim hujan, terutama PB 26 dan PB 39 (AAK, 1990).

b. Pembenihan

Benih bermutu merupakan syarat untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Bila pembenihan benih tidak baik, hasilnya tidak akan baik walaupun perawatan seperti pemberian pupuk dan pemberantasan hama penyakit sudah dilakukan dengan benar. Handoko (2002) lebih lanjut mengatakan benih dikatakan bermutu bila jenisnya murni, bernas, kering, sehat, bebas dari penyakit, dan bebas dari campuran biji rerumputan yang tidak dikehendaki. Benih yang baik pun harus tinggi daya kecambahnya, paling tidak harus mencapai 90%.

Lahan harus dipersiapkan sebaik-baiknya, agar diperoleh bibit yang baik. Dalam persiapan lahan untuk persemaian yang perlu diperhatikan adalah:

- Tanah harus subur

Tanah yang subur mengandung bunga tanah atau humus dalam lapisan yang dalam dan gembur. Tanah yang berstruktur gembur akan mempermudah penyediaan air.

- Cahaya matahari

Sinar matahari dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bibit agar tetap sehat dan kuat. Bibit harus diupayakan jangan sampai terlindung dari cahaya matahari, untuk menjaga terhadap penyakit etiolasi (bibit memanjang dan lemah).

- Pengairan

Air dalam persemaian sangat diperlukan terutama untuk perkembangan semai (bibit). Keadaan air pada persemaian


(28)

harus diperhatikan; apabila mengalami kekeringan, harus segera diairi. Sebaliknya, apabila air terlalu tinggi, harus dikurangi/dialirkan, agar bibit tetap sehat.

- pengawasan

untuk memudahkan pengawasan, sebaiknya dipilih tempat persemaian yang strategis, misalnya dekat dengan rumah atau tempat lain yang mudah di awasi (AAK, 1990).

Persiapan lahan persemaian ini dilakukan 50 hari sebelum penanaman; bedeng semai harus sudah siap pada saat itu. Bibit memerlukan pemeliharaan, agar selama dalam persemaian atau sebelum bibit itu ditanam di lahan pertanaman, tetap dalam keadaan sehat. Ada berbagai cara untuk melakukan pengolahan tanah persemaian, yaitu persemaian kering, persemaian basah dan persemaian sistem Dapog (AAK, 1990).

Menurut AAK (1990) menyatakan bahwa ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam menebar benih adalah : (1) Benih telah berkecambah dengan panjang 1 mm, (2) Benih tersebar merata, (3) Kerapatan benih harus sama.

c. Penyiapan lahan

Prinsip pengolahan tanah adalah pemecahan bongkahan-bongkahan tanah sawah sedemikian rupa hingga menjadi lumpur lunak dan sangat halus. Selain kehalusan tanah, ketersediaan air yang cukup harus diperhatikan. Bila air dalam area penanaman cukup banyak maka akan makin banyak unsur hara dalam koloid yang dapat larut. Keadaan ini akan berakibat makin banyak unsur hara yang dapat diserap akar tanaman (Handoko, 2002).

Tanah sawah yang masih ada jeraminya perlu pembersihan dengan cara dibabat, kemudian dikumpulkan dilain tempat atau dibuat kompos. Jerami dapat juga untuk makanan ternak atau dibakar. Pembakaran jerami sebaiknya dilakukan pada tempat tertentu, sebab temperatur yang tinggi pada petak sawah akan


(29)

commit to user

mematikan mikro organisme yang ada, meskipun abu dari sisa pembakaran mengandung unsur-unsur yang dapat menambah kesuburan tanah. Rumput-rumput liar yang tumbuh harus dibersihkan pula, agar bibit padi tidak mengalami persaingan dalam mendapatkan makanan (AAK, 1990).

Setelah kegiatan pembersihan selesai dilakukan, menurut AAK (1990) selanjutnya dilakukan pekerjaan tahap berikutnya, yakni pencangkulan. Tahap ini dimulai dengan memperbaiki pematang serta mencangkul sudut-sudut petak sawah yang sukar dikerjakan dengan bajak. Pencangkulan dilakukan untuk mempermudah langkah pengolahan tanah selanjutnya.

Dalam pembajakan tanah biasanya ditentukan oleh jenis tanaman dan ketebalan lapisan tanah atas. Kedalaman lapisan oleh tanah untuk tanaman padi lebih kurang 18 cm (IRRI), bahkan ada tanah yang harus dibajak lebih dalam lagi, sekitar 20 cm. demikian pula bila dilakukan pengolahan tanah dengan cangkul (AAK, 1990). Menurut Handoko (2002) bahwa kedalaman pembajakan atau pengolahan tanah mempengaruhi produktivitas, semakin dalam pengolahan tanah maka makin bagus produktivitas padi yang ditanam.

d. Penanaman

Penerapan sistem larikan akan memudahkan pemeliharaan, terutama dalam penyiangan. Demikian pula untuk pemupukan, pengobatan (pengendalian hama dan penyakit) dan perlakuan-perlakuan lainnya akan menjadi lebih baik dan cepat. Penanaman dengan sistem larikan biasanya menggunakan alat berupa tali, alat penggaris atau bambu berpaku, yang sekaligus dapat digunakan untuk mengatur jarak tanam (AAK, 1990).

Pengaturan penanaman diatas bermaksud untuk mengatur jarak tanam. AAK (1990) mengatakan ada berbagai faktor yang ikut menentukan jarak tanam pada tanaman padi, hal ini


(30)

tergantung pada: (1) Jenis tanaman, (2) Kesuburan tanah, (3) Ketinggian tempat/musim.

Petani di Indonesia sebagian besar kurang memperhatikan kedalaman membenamkan bibit ke lahan. Banyak daerah yang membenamkan benih terlalu dalam, hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah anakan tanaman. Kedalaman untuk membenamkan benih adalah sekitar 5 cm atau sekitar dua buku jari tangan (Handoko, 2002).

e. Perawatan tanaman

1. Penyulaman dan penyiangan

Tindakan mengganti tanaman yang mati atau kerdil dengan tanaman yang sehat merupakan langkah yang tepat. Tindakan mengganti tanaman ini dinamakan menyulam, dan menyulam ini tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dan menguntungkan. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyulaman ialah: (a) Bibit yang digunakan harus jenis yang sama, (b) Bibit yang digunakan merupakan sisa bibit terdahulu (bibit cadangan), (c) Penyulaman tidak boleh melampaui 10 hari setelah tanam (AAK, 1990).

Sedangkan untuk kegiatan penyiangan sendiri menurut AAK (1990) bahwa penyiangan dapat dilakukan dengan cara mencabut rumput-rumput yang tumbuh. Cara penyiangan semacam ini bisa sekaligus menggemburkan tanah, apalagi jika hal tersebut diikuti dengan pemupukan, akan lebih bagus. Penyiangan dilakukan dua kali, yakni penyiangan pertama dilakukan pada saat tanaman padi di sawah itu telah berumur 3 minggu, sedangkan penyiangan kedua dilakukan setelah tanaman padi berumur 6 minggu.

Apabila penyiangan tidak dilakukan pada masa-masa pertumbuhan, maka tanaman padi akan mendapat persaingan


(31)

commit to user

dalam memperoleh makanan, sehingga membawa akibat produksi gabah merosot.

2. Pengairan

Pada mulanya sawah dikeringkan selama 2-3 hari, agar akar tanaman padi dapat melekat pada tanah, kemudian sedikit demi sedikit, sawah tadi dialiri air. Penggenangan air pada petak sawah tidak selalu sama setiap saat. Semenjak padi ditanam di sawah hingga umur 8 hari harus diupayakan agar lumpur tetap basah dengan genanga air sedalam 5 cm. pada waktu tanaman padi berumur 8-45 hari, pengairan semakin diperbesar, hingga kedalaman air menjadi 10 cm sampai dengan 20 cm. Pada saat padi mulai berbulir, pengairan sawah harus diusahakan bisa mencapai kedalaman 20-25 cm, dan apabila padi mulai menguning, maka air harus mulai dikurangi sedikit demi sedikit (AAK, 1990).

3. Pengendalaian OPT

Menurut Asosiasi Petani Organik Kabupaten Sragen (2008) pengendalian OPT dilakukan 2-3 minggu sekali dengan cara pestisida nabati disemprotkan dengan menggunakan sprayer. Pestisida nabati yang digunakan disesuaikan dengan hama/penyakit yang menyerang tanaman. Pestisida yang digunakan adalah pestisida organik.

4. Pemupukan

Pupuk kandang sebaiknya dipergunakan setelah mengalami proses penguraian atau pematangan terlebih dahulu, dan disebarkan lebih kurang 2 minggu sebelum tanam. Pupuk kandang dapat juga diberikan menjelang pengolahan tanah, yaitu dengan cara dibenamkan ke dalam tanah pada saat pengolahan tanah. Sedangkan sisa-sisa tanaman dan pupuk hijau hendaknya diberikan jauh hari sebelumnya, sebab


(32)

sisa-sisa tanaman tersebut memerlukan waktu untuk proses pembusukan.

Pembenaman jerami sebaliknya dilakukan 2—4 minggu sebelum tanam. Hal ini juga dapat dilakukan pada saat dilakukan pengolahan tanah. Jerami juga dapat dikomposkan terlebih dahulu, kemudian setelah menjadi kompos dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya (AAK, 1990).

7. Hasil Penelitian Terdahulu

Menurut Wibowo (2004) dalam penelitiannya tentang penerapan budidaya padi organik di Kecamatan Gondang Kabupaten Sragen, menyatakan bahwa luas lahan, pendidikan formal, dan pendapatan merupakan faktor sosial ekonomi petani berhubungan sangat nyata dengan tingkat adopsi teknologi budidaya padi organik. Faktor-faktor sosial ekonomi diatas merupakan faktor sosial ekonomi yang ada hubungan signifikan dengan penerapan teknologi padi organik. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan tingkat penerapan teknologi padi organik, dan hal ini bisa terjadi pada faktor sosial ekonomi lainnya pada penelitian di Kecamatan Sambirejo. Penelitian lainnya yaitu Widowati (2006) di dalam desertasinya tentang analisis ekonomi usahan padi organik di Kabupaten Sragen menyatakan bahwa variable-variabel sosial yaitu pendidikan dan jenis pekerjaan, serta variabel-variabel ekonomi yaitu luas lahan dan kepemilikan lahan menjadi pertimbangan petani dalam memilih sistem tanam padi organik.

B. Kerangka Berfikir

Permasalahan yang ada di sektor pertanian diantaranya adalah rusaknya lahan pertanian karena teracuni zat kimia atau zat anorganik. Rusaknya lahan pertanian tersebut mengakibatkan menurunnya produktifitas lahan dan produk pertanian mengandung residu zat kimia


(33)

commit to user

yang berdampak pada kesehatan konsumen. Kondisi seperti diatas menuntut manusia untuk berfikir pada suatu sistem pertanian berkelanjutan yang bisa mempertahankan jumlah produksi, ramah lingkungan, dan baik untuk dikonsumsi. Pertanian berkelanjutan memerlukan adanya usaha meningkatkan kesuburan tanah yaitu dengan cara meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah. Bahan organik selain untuk meningkatkan kesuburan tanah berguna juga untuk kelestarian lingkungan dan hasil pertanian aman untuk dikonsumsi karena sifatnya alami. Kondisi seperti tersebut yang menyebabkan maraknya pertanian organik di Indonesia.

Pertanian organik sebagai suatu inovasi di dunia pertanian mengalami hambatan. Masifisasi isu organik mengalami permasalahan berbeda di setiap kecamatan. Ada yang mengalami fase pasang ada yang mengalami fase surut, bahkan ada beberapa daerah yang menentang dan menolak isu organik dengan alasan yang akan mengancam ketahanan pangan nasional, tidak efisien bahkan ada yang menolak tanpa alasan yang jelas (Asosiasi Petani Organik Kabupaten Sragen, 2008). Hambatan ini muncul salah satunya disebabkan oleh faktor sosial ekonomi masyarakat.

Faktor sosial ekonomi yang diduga berkaitan dengan cepat lambatnya adopsi inovasi pertanian organik antara lain adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, luas lahan, lingkungan sosial, pengalaman usaha tani padi organik, dan kosmopolitan. Penelitian ini menempatkan fakor-faktor sosial ekonomi petani menjadi variabel X.

Adopsi inovasi petani terkait dengan teknologi budidaya padi organik dapat di lihat dari beberapa aspek-aspek, diantaranya adalah pemilihan varietas, pembenihan, penyiapan lahan, penanaman, dan perawatan tanaman. Dalam penelitian ini teknologi budidaya padi organik dijadikan variabel Y.


(34)

Gambar 1. Hubungan faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik.

C. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis mayor

Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamaan Sambirejo Kabupaten Sragen.

2. Hipotesis minor

a) Terdapat hubungan yang signifikan antara umur petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

b) Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

c) Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara pendidikan non formal petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik. d) Terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan petani

dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

e) Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara luas lahan petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

f) Terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan sosial petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

Variable X

Faktor-faktor sosial ekonomi: a. Faktor sosial

• Umur

• Pendidikan formal

• Pendidikan non formal

• Lingkungan sosial

• Pengalaman usaha tani padi organik

• kosmopolitan b. Faktor ekonomi

• pendapatan

• Luas lahan

Variabel Y

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi organik:

• Pemilihan varietas

• Pembenihan

• Penyiapan lahan

• Penanaman

• Perawatan tanaman

tinggi

sedang


(35)

commit to user

g) Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pengalaman budidaya padi organik dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

h) Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kosmopolitan dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

D. Pembatasan Masalah

1. Status sosial ekonomi meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, luas lahan, lingkungan sosial, pengalaman usaha tani padi organik, dan kosmopolitan.

2. Petani yang dimaksud adalah petani yang melakukan usahatani padi organik.

3. Batasan adopsi teknologi budidaya padi organik ini meliputi pemilihan varietas, pembenihan, penyiapan lahan, penanaman, dan perawatan tanaman.

4. Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus sampai bulan Oktober tahun 2010.

E.Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Definisi Operasional

a. Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi petani adalah sebagai berikut:

1. Umur, yaitu usia petani responden pada saat dilakukan penelitian, dinyatakan dalam tahun, diukur dengan menggunakan skala ordinal.

2. Pendidikan formal, adalah tingkat pendidikan responden yang dicapai saat penelitian dilakukan dan diperhitungkan berdasarkan jenjang pendidikan terakhir yang ditamatkan pada lembaga pendidikan formal. Diukur dengan menggunakan skala ordinal.


(36)

3. Pendidikan non formal, adalah pendidikan di luar sekolah atau di luar pendidikan lembaga formal yang pernah ditempuh responden, dihitung berdasarkan frekuensi mengikuti kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian, pelatihan, dan kursus di bidang pertanian dalam satu tahun terakhir. Diukur dengan menggunakan skala ordinal.

4. Pendapatan, adalah jumlah penerimaan yang diterima oleh petani dari kegiatan usahatani dalam satu tahun terakhir. Diukur dengan menggunakan skala ordinal.

5. Luas lahan, adalah luas lahan yang dikuasai oleh responden yang dipergunakan untuk usahatani padi, dinyatakan dalam hektar, diukur dengan menggunakan skala ordinal.

6. Lingkungan sosial, adalah kondisi masyarakat atau adanya tokoh kunci yang ada disekitar responden yang mempengaruhi adopsi teknologi budidaya padi organik. Diukur dengan menggunakan skala ordinal.

7. Pengalaman usaha tani, adalah lamanya petani dalam melakukan budidaya padi organik sampai penelitian ini dilaksanakan. Diukur dengan menggunakan skala ordinal.

8. Kosmopolitan adalah tingkat hubungan petani dengan dunia luar di luar sistem sosial sendiri yang dinyatakan melalui frekuensi bepergian keluar desa dalam hubungan dengan kegiatan pertanian, khususnya yang berkaitan dengan budidaya padi organik. Diukur dengan menggunakan skala ordinal.

b. Pengukuran variabel tingkat adopsi teknologi budidaya padi organik. Adalah tingkat penerapan petani terhadap teknologi budidaya padi organik yang diukur melalui pelaksanaan tingkat teknologi budidaya padi organik yang meliputi pemilihan varietas, pembenihan, penyiapan lahan, penanaman, perawatan tanaman yang diukur dengan skala ordinal.


(37)

commit to user

1) Pemilihan varietas adalah tingkat penerapan petani dalam menyeleksi bakal benih yang akan dibudidayakan. Diukur dengan menjumlahkan skor jawaban dari indikator yang berupa:

a) Varietas padi yang digunakan petani b) Asal varietas yang digunakan petani

c) Lama varietas tersebut digunakan dalam budidaya padi organik Untuk mengukur tingkat adopsi teknologi pemilihan varietas, digunakan rumus lebar interval:

Lebar interval = jumlah skor ter tinggi – jumlah skor ter rendah

Jumlah kelas

2) Pembenihan adalah tingkat penerapan petani dalam pelaksanaan seleksi benih sampai penyebaran benih (bibit). Diukur dengan menjumlahkan skor jawaban dari indikator yang berupa:

a. Seleksi benih

1) Kriteria benih yang digunakan dalam budidaya padi organik 2) Cara mengetahui kebutuhan akan benih padi

b. Penyiapan tempat pembenihan

1) Cara menentukan luas tempat untuk pembenihan

2) Ada tidaknya parit untuk pengaturan air di tempat pembenihan

3) Penggunaan pupuk (jenis, waktu, dosis) pada tempat pembenihan

c. Pengecambahan benih 1) Cara pengecambahan 2) Lama pengecambahan d. Menyebarkan benih

1) Cara menyebarkan benih ke persemaian 2) Lama pembenihan sampai menjadi bibit

Untuk mengukur tingkat adopsi teknologi pembenihan, digunakan rumus lebar interval:


(38)

Lebar interval = jumlah skor ter tinggi – jumlah skor ter rendah Jumlah kelas

3) Penyiapan lahan adalah tingkat penerapan petani dalam pengolahan tanah sawah hingga siap untuk ditanami bibit padi. Diukur dengan menjumlahkan skor jawaban dari indikator yang berupa:

a. Lama lahan digunakan untuk budidaya organik b. Pupuk yang digunakan setelah pembajakan c. Sumber pengairan lahan

Untuk mengukur tingkat adopsi teknologi penyiapan lahan, digunakan rumus lebar interval:

Lebar interval = jumlah skor ter tinggi – jumlah skor ter rendah Jumlah kelas

4) Penanaman adalah tingkat penerapan petani dalam penanaman bibit yang siap tanam ke lahan yang tersedia. Diukur dengan menjumlahkan skor jawaban dari indikator yang berupa:

a. Jarak tanam yang digunakan

b. Jumlah bibit yang dimasukan dalam setiap rumpun/ “dapur” Untuk mengukur tingkat adopsi teknologi penanaman, digunakan rumus lebar interval:

Lebar interval = jumlah skor ter tinggi – jumlah skor ter rendah Jumlah kelas

5) Perawatan tanaman adalah tingkat penerapan petani dalam penyulaman, penyiangan, pengairan, penggunaan pupuk, pengendalian hama dan penyakit. Diukur dengan menjumlahkan skor jawaban dari indikator yang berupa:

a. Pemupukan

1) Pupuk dasar yang digunakan 2) Frekuensi penggunaan pupuk

3) Pupuk yang digunakan untuk pemupukan susulan I (saat tanaman berumur 15 HST) dan dosis yang digunkan.


(39)

commit to user

4) Pupuk yang digunakan untuk pemupukan susulan II (saat tanaman berumur 25-60 HST) dan dosis yang digunkan. b. Pengendalian hama dan penyakit yang diterapkan

1) Cara pengendalian hama 2) Cara pengendalian gulma 3) Cara pengendalian penyakit

4) Pestisida/herbisida yang digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit (bahan-bahan yang digunakan)

5) Dosis pestisida/herbisida yang digunakan

Untuk mengukur tingkat adopsi teknologi perawatan tanaman, digunakan rumus lebar interval:

Lebar interval = jumlah skor ter tinggi – jumlah skor ter rendah Jumlah kelas

2. Pengukuran Variabel

Tabel 2.1 Faktor Sosial Ekonomi

Variabel kriteria Skor

1. Umur 28-41 tahun

42-55 tahun >55 tahun

3 2 1 2. Luas lahan > 1,07 Ha

0,66-1,06 Ha 0,25-0,65 Ha

3 2 1 3. Pendidikan

formal

> 18 Tahun 13-18 tahun 6-12 tahun

3 2 1 4. Pendidikan

non formal

> 18 kali/tahun 12-17 kali/ tahun < 12 kali/ tahun

3 2 1 5. Pendapatan > 10.000.000/tahun

7.000.000-10.000.000/tahun

3 2


(40)

4.000.000-6.999.999/tahun 1 6. Lingkungan

sosial

• Pengaruh dari elemen masyarakat dalam menerapkan budidaya padi organik, elemen masyarakat yang mempengaruhi meliputi: tetangga, kelompok tani, keluarga dan aparat desa/pemerintah.

• Pengaruh dari elemen masyarakat dalam menerapkan budidaya padi organik, elemen masyarakat yang mempengaruhi meliputi: tetangga dan kelompok tani.

• Pengaruh dari elemen masyarakat dalam menerapkan budidaya padi organik, elemen masyarakat yang mempengaruhi hanya kelompok tani saja

3

2

1

7. Pengalaman usaha tani padi organik

> 9 tahun 7-9 tahun < 7 tahun

3 2 1 8. Tingkat

kosmopolitan

18-23 kali/ tahun 12-17 kali/ tahun 6-11 kali/ tahun

3 2 1

Tabel 2.2 Tentang adopsi budidaya padi organik pada tahap pemilihan varietas, pembenihan, penyiapan lahan, penanaman, dan perawatan tanaman mengunakan skor 1-3. Skor tersebut mempunyai arti sebagai berikut: skor 3 untuk menyatakan tinggi, skor 2 untuk menyatakan sedang, dan skor 1 untuk menyatakan rendah.


(41)

commit to user

Tabel 2.2 Adopsi budidaya padi organik pada tahap Pemilihan varietas, pembenihan, Penyiapan lahan, penanaman, dan Perawatan tanaman

Indikator adopsi Standar Kriteria skor

1. Pemilihan varietas

a. varietas padi yang digunakan oleh petani

a. varietas lokal seperti mentik, beras merah, panda wangi

b. varietas unggul seperti IR 64 dan C-4 raja c. bergantian antara varietas lokal dengan

varietas produk unggul.

Baik Sedang Buruk 3 2 1

b. asal varietas yang digunakan

a.produk pertanian organik (agen pertanian organik)

b.dari penyisihan panen yang terdahulu atau dari petani

c.produk rekayasa genetika

Baik Sedang Buruk 3 2 1 c. lama varietas tersebut

dibudidayakan dalam budidaya organik

a. >2 tahun b. 2 tahun c. < 1 tahun

Baik Sedang Buruk 3 2 1 2. Pembenihan

a. Seleksi benih

1. kriteria benih yang digunakan dalam budidaya padi organik

1. syaratnya benih harus berasal dari varietas alami, dengan kriteria: jenisnya murni, bernas, kuning, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji rerumputan yang tidak di kehendaki dan daya kecambah tinggi 2. hanya sebagian kriteria yang diterapkan

diantaranya adalah bernas, bebas dari penyakit, dan daya kecambah tingg

3.semua kriteria tidak diterapkan atau dipenuhi Baik Sedang Buruk 3 2 1

2. cara menyeleksi benih padi

1. dengan cara merendam benih kedalam air 2.diseleksi tanpa merendam dalam air

Baik Sedang

3 2


(42)

3. tanpa penyeleksian benih Buruk 1

b. Kebutuhan benih 1. cara mengetahui kebutuhan akan benih padi

1. dihitung berdasarkan jarak tanam dan luas lahan

2. berdasarkan perkiraan

3. tidak dihitung, asal membuat benih saja

Baik Sedang Buruk 3 2 1 c. penyiapan tempat

pembenihan

1. cara menentukan luas tempat untuk

pembenihan

1. luas tempat pembenihan minimal adalah 1/20 dari luas lahan

2. luas tempat pembenihan minimal adalah <1/20 dari luas lahan

3. tidak punya dasar yang jelas

Baik Sedang Buruk 3 2 1 2. ada atau tidaknya parit

untuk pengaturan air di tempat pembenihan

1. parit dibuat diantara bedengan dengan jarak 30 cm

2. parit dibuat di sisi-sisi tertentu dari tempat pembenihan

3. tidak dibuat parit

Baik Sedang Buruk 3 2 1 3. penggunaan pupuk

pada tempat pembenihan

1. diberi pupuk organik matang dan abu tanpa pupuk kimia pada saat pengolahan tanah untuk pembenihan.

2. diberi campuran pupuk kandang dengan pupuk kimia

3. tidak diberi pupuk kandang ataupun pupuk kimia Baik Sedang Buruk 3 2 1

d. pengecambahan benih 1. cara mengecambah kan benih padi

1. direndam dalam air bersih selama kurang lebih 24 jam setelah itu benih diperam dengan karung /kresek diatas lantai yang

Baik


(43)

commit to user

hangat dan bisa ditambah zat penangkal hama seperti dringo dan bawang putih, tunggu hingga keluar akar dengan panjang 1-2 mm.

2. seperti cara pada point a, tetapi tidak diberi zat penangkal hama atau penyakit

3. menggunakan cara yang tidak dianjurkan

Sedang

Buruk

2

1 2. lama mengecam-

bahkan benih padi

1. 24 jam 2. < 24 jam 3. >24 jam

Baik Sedang Buruk 3 2 1 e. Menyebarkan benih

1. cara menyebarkan benih ke persemaian

1. Disebarkan secara merata dimulai dari pinggir

2. Disebarkan secara merata dari berbagai arah tidak teratur

3. Dibenamkan Baik Sedang Buruk 3 2 1 3. lama pembenihan

sampai menjadi bibit

1. 18-21hari 2. 22-23 hari

3. < 18 atau > 24 hari

Baik Sedang Buruk 3 2 1 3. Penyiapan lahan

a. lama lahan digunakan untuk budidaya padi organik

a. 5-7 tahun b. 2-4 tahun c. < 2 tahun

Baik Sedang Buruk 3 2 1 b. pupuk yang digunakan

setelah pembajakan

a. pupuk kandang atau kompos b. pupuk kandang dan pupuk kimia c. pupuk kimia

Baik Sedang Buruk 3 2 1 c. asal atau sumber peng

airan untuk sawah

a. air tanah

b. air tanah bercampur limbah rumah tangga (air bekas penggunaan dari rumah

Baik Sedang

3 2


(44)

tangga, contoh air cucian)

c. air pabrik atau industri Buruk 1

4. penanaman

a. jarak tanam yang di gunakan

a. 20 cm x 20 cm b. 25 cm x 25 cm c. 30 cm x 30 cm

Baik Sedang Buruk 3 2 1 b. jumlah bibit yang

dimasukan dalam setiap rumpun

a. 2-3 bibit

b. 1 bibit

c. > 4 bibit

Baik Sedang Buruk 3 2 1 5. Perawatan tanaman

a. Pemupukan

1. Pupuk dasar yang digunakan

1) Pupuk kandang/kompos/bokashi

2) Campuran antara pupuk organik dengan kimia

3) Pupuk kimia

Baik Sedang Buruk 3 2 1 2. Frekuensi penggunaan

pupuk

1) 4x (1 pupuk dasar, 3x pupuk susulan) 2) 3x (1 pupuk dasar, 2x pupuk susulan) 3) < 2 kali

Baik Sedang Buruk 3 2 1 3. Pupuk yang diguna

kan untuk pemupu- kan susulan I (saat tanaman berumur 15 HST) dan dosis yang digunakan

1) Pupuk kandang 1 ton/ Ha/ 0,5 ton kompos fermentasi/Ha

2) Campuran pupuk organik dan pupuk kimia

3) Pupuk kimia

Baik Sedang Buruk 3 2 1 4. Pupuk yang diguna

kan untuk pemupu kan susulan II (25-60 HST) dan dosis yang

digunakan

1) Pupuk organik cair dengan unsur N tinggi, 1 liter pupuk organik cair dengan 17 liter air/Ha

2) Campuran pupuk organik dan pupuk kimia

3) Pupuk kimia

Baik Sedang Buruk 3 2 1


(45)

commit to user

b. Pengendalian hama dan penyakit yang diterapkan 1. Cara pengendali-an hama

1) Teknik budidaya (dengan rotasi tanaman), biologis (dengan predator, menyemprotkan cendawan penginfeksi), fisik (dengan perangkap), kimia (pestisida organik)

2) biologis (dengan predator, menyemprotkan cendawan penginfeksi), fisik (dengan perangkap), kimia (pestisida organik) dan pestisida non organik (pestisida pabrikan)

3) dengan pestisida non organik

Baik Sedang Buruk 3 2 1 2. cara pengendalian

gulma

1) secara fisik (selain dibakar, penyiangan/dicabut), rotasi tanaman

2) secara fisik dan secara kimia (non organik/herbisida)

3) dengan pestisida non organik (pabrikan)

Baik Sedang Buruk 3 2 1 3. cara pengendalian

penyakit

1) perbaikan kesuburan tanah (menambah pupuk kandang/kompos) biologi (dengan serangan Vektor), fisik (pencabutan inang), kimia (fungisida organik)

2) biologi (dengan serangan Vektor), fisik (pencabutan inang), kimia (herbisida organik) dan herbisida non organik/ pabrik

3) dengan herbisida non organik

Baik Sedang Buruk 3 2 1 4. pestisida atau

herbisida yang digunakan untuk

1) tumbuhan dan binatang, mineral, mikro organisme

2) tumbuhan dan binatang

Baik

Sedang

3


(46)

pengendalian hama dan penyakit (bahan yang digunakan)

3) dari bahan kimia non organik Buruk 1

5. dosis pestisida atau herbisida yang

digunakan

1) sesuai aturan yang ada dikemasan, luas lahan, dan jenis hama penyakit

2) kurang memperhatikan kebutuhan 3) tidak memperhatikan

Baik

Sedang Buruk

3

2 1


(47)

commit to user

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah metode yang memusatkan pada pengumpulan data kuantitatif yang berupa angka-angka kemudian dianalisis dengan menggunakan alat analisis kuantitatif yang berupa analisis statistika maupun dengan menggunakan perhitungan matematika (Mardikanto,2001). Sedangkan, teknik penelitian yang digunakan adalah teknik survei.

Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), penelitian survei adalah penelitian dengan cara mengambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuisoner sebagai alat pengumpul.

B. Penentuan Lokasi Penelitian

Metode yang digunakan untuk menentukan lokasi dalam penelitian ini adalah metode Purposive. Metode Purposive merupakan metode pemilihan lokasi secara sengaja dengan alasan tertentu yang sesuai dengan penelitian. Hal ini sesuai dengan peryataan Wirartha (2006), yaitu sampel di tetapkan secara sengaja oleh peneliti di dasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu.

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. Penelitian dilaksanakan di daerah tersebut, karena beberapa alasan yaitu: 1) Kecamatan Sambirejo merupakan satu-satunya Kecamatan yang memperoleh sertifikasi organik 100 persen di Kabupaten Sragen., 2) Kecamatan Sambirejo digunakan sebagai daerah pengembangan dan pelatihan padi organik tingkat propinsi., 3) Budidaya padi organik di Kecamatan Sambirejo juga berlangsung secara terus menerus dan diawasi setiap tahunnya oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah Bogor (BALITBANG Tanah) sejak tahun 2006 sampai 2009., 4) Kecamatan


(48)

Sambirejo mendukung dikembangkannya budi daya padi organik karena memiliki sumber mata air yang belum tercemar oleh bahan kimia. Kecamatan Sambirejo mempunyai tujuh sumber mata air yang dapat memenuhi kebutuhan perairan sepanjang musim tanam.

Kecamatan Sambirejo juga merupakan daerah penghasil padi organik, pupuk organik, dan pestisida organik. Berikut adalah data yang diperoleh dari lapang.

Table 3.1 Data luas panen, produktivitas dan produksi padi organik Kabupaten Sragen

No Kecamatan Luas panen (Ha)

Produktivitas GKP (Kw/Ha)

Produksi GKP (ton)

1 Sragen 1169 38,32 4480

2 Karangmalang 675 66,70 4503

3 Kedawung 1615 76,85 12411

4 Sidoharjo 549 76,50 4200

5 Masaran 147 62,95 925

6 Gondang 392 74,40 2918

7 Sambungmacan 800 60,19 4815

8 Ngrampal 76 66,75 507

9 Sambirejo 879 64,68 5686

10 Gemolong 106 62,91 667

11 Miri 22 60,50 133

12 Kalijambe 105 69,13 729

13 Tanon 202 62,81 1269

14 Plupuh 178 60,29 1073

15 Sumberlawang 80 47,11 377

16 Gesi 205 52,56 1078

17 Tangent 22 52,30 118

18 Mondokan 92 45,44 420

19 Sukodono 346 30,1 1035

20 Jenar 112 66,92 750

Sumber: data sekunder BAPPELUH Kab. Sragen 2009

Table 3.1 diatas dijelaskan Pada tahun 2009, Kecamatan Sambirejo mempunyai lahan atau sawah seluas 879 Ha yang ditanami padi organik dan produksi padi organik sebanyak 5.686 Ton. Selain itu dalam jumlah produksi pupuk organik dan pestisida organik Kecanatan Sambirejo juga tergolong tinggi, bisa kita lihat pada table 3.2 di bawah ini.


(49)

commit to user

Table 3.2. Data produsen pupuk organik dan pestisida organik Kabupaten Sragen

No  Kecamatan  Jumlah  produsen 

Volume yang  tersedia 

Volume yang  tersalurkan 

Volume yang  tersisa  Pupuk  (ton)  Pestisi da(Ltr)  Pupuk  (ton)  pestisi da(Ltr)  Pupuk  (ton)  pestisi da(Ltr)  Pupuk  (ton)  pestisi da(Ltr) 

1  Sragen  3 107 107    

2  Karangmalang  10  3  420  3600  341  2825  79  775 

3  Kedawung  7    391    391       

4  Sidoharjo  12  1  199  54  199  54     

5  Masaran  5 125 108   17

6  Gondang  16  3  1.119  588  1.089  576  30  12  7  Sambungmacan  43  3  1.047  2677  1.001  1177  46  1500 

8  Ngrampal  7    149    149       

Sambirejo  23 4 1.238 2474 1.238 2474   

10  Gemolong  29    180    180        11  Miri  4    5.482    1    5481    12  Kalijambe  89  2  642  24  603  129  39  ‐150 

13  Tanon  6 157 157    

14  Plupuh  20    1.926    1.696    230    15  Sumberlawang  18  2  105  131  82  89,5  23  41,5  16  Gesi  10  1  319  110  151  10  168  100  17  Tangent  33 1 291 22 291 22   

18  Mondokan  11 383 353   30

19  Sukodono  11  3  652  505  652  505     

20  Jenar  20    110    110       

Sumber: data sekunder BAPPELUH Kab. Sragen 2009

Data diatas dijelaskan pada tahun 2009, kecamatan Sambirejo mampu menghasilkan 1.238 ton pupuk organik dan 2.474 liter pestisida organik. Semua produksi pupuk dan pestisida mampu terserap semua untuk budidaya padi organik.

C. Populasi dan Sampel

1. populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh petani padi organik yang ada di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. Data yang diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sambirejo menunjukan populasi sebagai berikut:


(50)

Tabel 3.3 Data petani padi organik Kecamatan Sambirejo

No Desa Jumlah kelompok tani Jumlah petani

1 Sukorejo 5 413

2 Jambeyan 3 59

3 Sambi 3 91

4 Blimbing 2 240

5 Dawung 2 56

6 Sambirejo 2 84

7 Jetis 2 185

8 Musuk 2 45

9 Kadipiro 2 75

Total 23 1248

Sumber: Data sekunder BPP Kec. Sambirejo 2008

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan budidaya padi organik. Pengambilan sampel menggunakan teknik Cluster Random Sampling. Menurut Suyanto dan Sutinah (2005) mengatakan satu hal yang perlu dicatat disini adalah cluster sampling dikenal pula dengan sebutan multistage random sampling, karena cara ini dikerjakan melalui tahapan-tahapan tertentu. Cara peng- clusteran-nya sebagai berikut: tahap pertama, mereka dibagi berdasarkan wilayah desa, tahap kedua, cluster wilayah desa tersebut di bagi dalam wilayah kelompok tani dan pada tahap ketiga, masing-masing kelompok diambil responden secara acak sesuai dengan proporsional. Sembilan desa di Kecamatan Sambirejo yang melakukan budidaya padi organik, diambil empat desa dengan jumlah petani padi organi terbanyak (tabel.3.2). Tahap peng-clusteran-nya bisa dilihat dalam tabel 3.4 berikut ini:


(51)

commit to user

Table 3.4. tahap peng-clusteran

Untuk pengambilan jumlah sampel sebanyak 40 responden dengan rumus sebagai berikut:

ni = n N nk

keterangan :

ni : Jumlah sampel dari masing-masing Desa

nk : Jumlah petani padi organik dari masing-masing Desa N : Jumlah populasi

n : Jumlah petani responden yang diambil sebanyak 40 petani Tabel 3.5 Sampel penelitian

No Nama desa Kelompok tani Populasi Sampel

1 Sukorejo 5 413 18

2 Blimbing 2 240 10

3 Jetis 2 185 8

4 Sambi 3 91 4

Total 12 929 40

Sumber: Data sekunder BPP Kec. Sambirejo 2008

Tahap I Tahap II Tahap III

Dibagi berdasrkan wilayah desa. Yaitu: 1. Sukorejo 2. Jambeyan 3. Sambi 4. Blimbing 5. Dawung 6. Sambirejo 7. Jetis 8. Musuk 9. Kadipiro

Diambil empat Desa dengan jumlah petani padi organik terbanyak

sekaligus dibagi dalam wilayah kelompok tani, yaitu:

• Sukorejo: 5 kelompok tani dengan 413 petani.

• Blimbing: 2 kelompok tani dengan 240 petani.

• Jetis: 2 kelompok tani dengan 185 petani

• Samba: 3 kelompok petani dengan 91 petani

Dari masing-masing kelompok tani diambil sampel secara acak sebanyak 40 responden, didapatkan sampel (table 3.5)

Keterangan:

Dari Sembilan desa ini kemudian diambil 4 desa dengan jumlah petani padi organik terbanyak


(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 84

melaksanakan budidaya padi organik pada tahun 2003. Hal lain yang menyebabkan pengalaman tidak signifikan terhadap penerapan teknologi budidaya padi organik adalah tingkat pendidikan formal ataupun non formal petani dan pengaruh lingkungan sosial petani. Dua hal ini adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap penerapan teknologi budidaya padi organik. Data dari hasil penelitian tingkat pendidikan non formal petani di Sambirejo sudah bagus dimana mereka rutin mengadakan kegiatan penyuluhan sebulan sekali, dan pengaruh lingkungan sosial petani yang mendukung petani dalam membudidayakan padi organik.

Faktor-faktor ini yang menyebabkan pengalaman tidak begitu signifikan dalam mempengaruhi penerapan teknologi padi organik. Nilai rs yang positif ini menunjukkan hubungan yang searah antara pengalaman petani membudidayakan padi organik dengan penerapan teknologi budidaya padi organik, yaitu semakin tinggi pengalaman petani membudidayakan padi organik maka tingkat penerapan teknologi padi organik juga akan semakin baik.

8. Hubungan Kosmopolitan Dengan Penerapan Teknologi Budidaya

Padi Organik

Tabel 5.16. dapat diketahui bahwa nilai koefisien rs sebesar 0,121 maka t hitung < t tabel (0,751< 2,024) ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kosmopolitan petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.

Hal ini disebabkan karena Kecamatan Sambirejo merupakan salah satu kecamatan yang mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam pengembangan budidaya padi organik, termasuk dalam hal pemberian informasi kepada para petani di Kecamatan Sambirejo. Sehingga tingkat penerapan budidaya padi organik di Kecamatan Sambirejo tergolong tinggi. Oleh sebab itu, petani jarang pergi keluar kota untuk mencari informasi yang berkaitan dengan budidaya padi organik. Hal lain yang menyebabkan tingkat kosmopolitan tidak signifikan terhadap penerapan teknologi budidaya padi organik adalah tingkat pendidikan formal ataupun


(2)

non formal petani dan pengaruh lingkungan sosial petani. Dua hal ini adalah hal yang berpengaruh terhadap penerapan teknologi budidaya padi organik. Data dari hasil penelitian tingkat pendidikan non formal petani di Sambirejo sudah bagus dimana mereka rutin mengadakan kegiatan penyuluhan sebulan sekali, dan pengaruh lingkungan sosial petani yang mendukung petani dalam membudidayakan padi organik. Faktor-faktor ini yang menyebabkan tingkat kosmopolitan tidak begitu signifikan dalam mempengaruhi penerapan teknologi padi organik.

Tidak semua petani padi organik di Kecamatan Sambirejo jarang pergi keluar kota, terutama para ketua kelompok tani mereka lebih sering keluar daerah untuk mengikuti pelatihan atau mencari informasi tentang budidaya padi organik. Selain itu Kecamatan Sambirejo merupakan sentra produksi padi organik yang dijadikan tempat studi banding oleh petani-petani padi organik dari kota-kota yang lain. Nilai rs yang positif ini menunjukkan hubungan yang searah antara kosmopolitan petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi faktor-faktor sosial ekonomi petani di Kecamatan Sambirejo menurut

penelitian ini diketahui sebagai berikut:

a) Faktor umur petani mayoritas berada pada kategori sedang, sedangkan

untuk rata-rata umur petani berada pada kategori sedang.

b)Faktor pendidikan formal petani mayoritas berada pada kategori rendah,

sedangkan untuk rata-rata pendidikan formal petani berada pada kategori sedang.

c) Faktor pendidikan non formal petani mayoritas berada pada kategori

sedang, sedangkan untuk rata-rata pendidikan non formal petani berada pada kategori sedang.

d)Faktor pendapatan petani mayoritas berada pada kategori tinggi,

sedangkan untuk rata-rata pendapatan petani berada pada kategori sedang.

e) Faktor luas lahan petani mayoritas berada pada kategori rendah, sedangkan

untuk rata-rata luas lahan petani berada pada kategori rendah.

f) Faktor lingkungan sosial petani mayoritas berada pada kategori tinggi,

sedangkan untuk rata-rata lingkungan sosial petani berada pada kategori sedang.

g)Faktor pengalaman usaha tani padi organik petani berada pada kategori

sedang.

h)Faktor kosmopolitan petani mayoritas berada pada kategori sedang,

sedangkan untuk rata-rata kosmopolitan petani berada pada kategori sedang.


(4)

perpustakaan.uns.ac.id2. Kondisi tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik adalah sebagai digilib.uns.ac.id

berikut :

a) Tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik oleh petani mayoritas

berada pada kategori tinggi, sedangkan rata-rata tingkat penerapan teknologi padi organik berada pada kategori sedang.

b) Tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik pada tahap pemilihan

berada pada kategori sedang, sedangkan rata-rata tingkat penerapan teknologi padi organik pada tahap pemilihan berada pada kategori sedang.

c) Tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik pada tahap

pembenihan berada pada kategori tinggi, sedangkan rata-rata tingkat penerapan teknologi padi organik pada tahap pembenihan berada pada kategori sedang.

d) Tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik pada tahap penyiapan

lahan berada pada kategori tinggi, sedangkan rata-rata tingkat penerapan teknologi padi organik pada tahap penyiapan lahan berada pada kategori sedang.

e) Tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik pada tahap penanaman

berada pada kategori tinggi, sedangkan rata-rata tingkat penerapan teknologi padi organik pada tahap penanaman berada pada kategori sedang.

f) Tingkat penerapan teknologi budidaya padi organik pada tahap perawatan

berada pada kategori sedang, sedangkan rata-rata tingkat penerapan teknologi padi organik pada tahap perawatan berada pada kategori sedang.

3. Hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat

penerapan teknologi budidaya padi organik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen adalah sebagai berikut :

a) Terdapat hubungan yang signifikan dimana ini berarti ada hubungan nyata

antara umur petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik.


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

b) Terdapat hubungan yang signifikan dimana ini berarti ada hubungan nyata

antara pendidikan formal petani dengan penerapan teknologi budidaya

padi organik. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (α = 0,05)

c) Terdapat hubungan yang sangat signifikan dimana ini berarti ada

hubungan nyata antara pendidikan non formal petani dengan penerapan teknologi budidaya padi organik. Pada tingkat kepercayaan 99

persen (α = 0,01)

d) Terdapat hubungan yang signifikan dimana ini berarti ada hubungan nyata

antara pendapatan petani dengan penerapan teknologi budidaya padi

organik. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (α = 0,05)

e) Terdapat hubungan yang tidak signifikan dimana ini berarti tidak ada

hubungan nyata antara luas lahan petani dengan penerapan teknologi

budidaya padi organik. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (α = 0,05)

f) Terdapat hubungan yang signifikan dimana ini berarti ada hubungan nyata

antara lingkungan sosial petani dengan penerapan teknologi budidaya padi

organik. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (α = 0,05)

g) Terdapat hubungan yang tidak signifikan dimana ini berarti tidak ada

hubungan nyata antara pengalaman budidaya padi organik dengan penerapan teknologi budidaya padi organik. Pada tingkat kepercayaan 95

persen (α = 0,05)

h) Terdapat hubungan yang tidak signifikan dimana ini berarti tidak ada

hubungan nyata antara kosmopolitan dengan penerapan teknologi

budidaya padi organik. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (α = 0,05)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian hubungan sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan teknologi padi organik, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Pertemuan rutin antara penyuluh dan petani perlu dijaga kesinambungannya.

2. Mengoptimalkan petani muda dalam agenda-agenda pelatihan dan lain


(6)

perpustakaan.uns.ac.idsecara usia lebih senior. Hal ini karena petani muda lebih mudah menerima digilib.uns.ac.id

dan memahami informasi dibandingkan dengan petani yang sudah senior.

3. Pemerintah diharapkan bisa menambah kegiatan pendidikan non formal

kepada petani agar kemampuan petani akan semakin bertambah dan akan mempunyai nilai tawar yang tinggi. Usaha peniningkatan pendidikan non


Dokumen yang terkait

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA KELOMPOK TANI SRI MAKMUR DALAM BUDIDAYA PADI ORGANIK DI DESA SUKOREJO KECAMATAN SAMBIREJO KEBUPATAN SRAGEN

0 13 131

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR – FAKTOR SOSIAL EKONOMI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI PETANI PADA BUDIDAYA TANAMAN JERUK BESAR DI KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

0 4 79

HUBUNGAN FAKTOR FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN JARAK PAGAR DI KECAMATAN LENDAH KABUPATEN KULON PROGO

0 10 109

HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI BUDIDAYA PADI SINTANUR DI DESA PEENG KECAMATAN MOJOGEDANG KABUPATEN KARANGANYAR

0 5 74

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI DALAM PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK DI DESA SUKOREJO KECAMATAN SAMBIREJO KABUPATEN SRAGEN

0 9 92

Analisis Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Padi Sawah dan Hubungannya Dengan Faktor Sosial Ekonomi (Studi Kasus: Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan)

0 8 83

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR SOSIAL EKONOMI DAN KEBIASAAN MEROKOK DI KABUPATEN SRAGEN.

0 0 7

PENGARUH KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI TERHADAP KEPUTUSAN PETANI PADI ORGANIK DALAM MENJALIN KEMITRAAN DENGAN PERUSAHAAN BERAS “PADI MULYA” DI KECAMATAN SAMBIREJO KABUPATEN SRAGEN.

0 0 14

Analisis Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Padi Sawah dan Hubungannya Dengan Faktor Sosial Ekonomi (Studi Kasus: Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan)

0 0 12

Analisis Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Padi Sawah dan Hubungannya Dengan Faktor Sosial Ekonomi (Studi Kasus: Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan)

0 0 1