2.2 Daerah Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan adalah suatu perairan tempat ikan berkumpul dimana penangkapan ikan dapat dilakukan Syahrodin Suhadja 1982. Daerah
penangkapan ikan dikatakan baik bila memenuhi persyaratan yang cocok untuk usaha penangkapan ikan. Meskipun pada suatu daerah perairan banyak terdapat
ikan, tetapi jika alat tangkap tidak dapat dioperasikan, maka daerah itu tidak dapat disebut daerah penangkapan ikan.
Jadi daerah penangkapan ikan yang baik harus memenuhi persyaratan yaitu :
1 di daerah tersebut terdapat ikan yang melimpah sepanjang tahun, 2 alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna,
3 lokasinya tidak jauh dari pelabuhan sehingga dapat dicapai oleh kapal perikanan,
4 daerahnya aman, dan tidak dinyatakan terlarang oleh peraturan dan undang- undang.
Daerah penangkapan ikan tidak selalu sama, tetapi berbeda-beda sesuai dengan alat tangkap yang digunakan Arifin 1972. Menurut Syahrodin dan
Suhadja 1982, daerah penangkapan ikan dibedakan berdasarkan sifat perairan, jenis ikan yang ditangkap dan atau alat tangkap yang digunakan.
2.3 Perikanan Gillnet 2.3.1 Kapal Gillnet
Pada umumnya unit penangkapan yang berada di Kabupaten Pontianak masih bersifat tradisional artinya masih belum dilengkapi fasilitas-fasilitas yang
mendukung efektifitas dan efisiensi usaha penangkapan ikan seperti fish finder, radar, echosounder ataupun sonar. Sehingga operasi penangkapan belum
menjamin kepastian hasil tangkapan. Kapal yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Pontianak terbuat dari
kayu yang biasa disebut oleh mereka dengan ”motor”. Tenaga penggerak yang digunakan adalah mesin inboard inboard engine dengan merek Phanter, Fuso
ataupun Yanmar 33-360 PK. Ukuran kapal yang dioperasikan nelayan gillnet adalah bervariasi antara 7 sampai dengan 30 GT. Kostruksi kapal gillnet
dilengkapi dengan palkah yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan hasil tangkapan Lampiran 3.
Dalam prosesnya ikan hasil tangkapan diberi es. Bahan bakar yang digunakan adalah solar dan oli. Dalam satu kali operasi penangkapan ikan
digunakan bahan bakar sebanyak kurang lebih 200 liter. Kapal gillnet biasanya dilengkapi dengan roller mesin penarik jaring gillnet, mesin ini digunakan
dengan tujuan agar proses hauling lebih efektif dan cepat dilakukan sehingga meringankan kerja ABK.
2.3.2 Nelayan Gillnet
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan
ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya Imron 2003.
Nelayan merupakan bagian dari unit penangkapan ikan yang memegang peranan penting dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan. Peranan tersebut
didasarkan pada kemampuan nelayan dalam menggunakan dan mengoperasikan alat tangkap serta pengalaman dalam menentukan fishing ground daerah
penangkapan ikan. Berdasarkan status kepemilikan terhadap alat tangkap, nelayan di Kabupaten Pontianak dibedakan menjadi dua yaitu: 1 nelayan
pemilik, yaitu nelayan yang memiliki sarana produksi dan bertanggung jawab membiayai operasi penangkapan, 2 nelayan buruh, yaitu nelayan yang secara
langsung melakukan operasi penangkapan. Nelayan buruh tersebut ada yang memiliki alat tangkap dan ada juga yang hanya menyediakan tenaga untuk operasi
penangkapan. Nelayan yang mengoperasikan jaring insang di Kabupaten Pontianak
berjumlah 3-5 orang. Dalam pembagian kerjanya satu orang sebagai juru mudi nahkoda sekaligus sebagai fishing master pencari lokasi adanya ikan, serta
sisanya sebagai ABK. Nelayan nahkoda fishing master memiliki masa bekerja sebagai nelayan kurang lebih 20 tahun, sedangkan ABK yang lain memiliki
pengalaman melaut kurang lebih 15 tahun.
2.3.3 Alat Tangkap Gillnet
Gillnet sering diterjemahkan dengan “jaring insang”, “jaring rahang”, “jaring” dan lain-lain. Istilah gillnet didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan
yang tertangkap alat tangkap gillnet terjerat di sekitar operculumnya pada mata jaring. Dalam bahasa Jepang, gillnet disebut dengan istilah “sasi ami”, yang
berdasarkan pemikiran bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gillnet, ialah dengan proses bahwa ikan-ikan tersebut “menusukkan diri-sasu” pada “jaring-ami”. Di
Indonesia, penamaan gillnet ini beraneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap jaring koro, jaring udang, dan sebaginya,
ada pula yang disertai dengan nama tempat jaring udang bayeman, dan sebaginya Ayodhyoa 1981.
Sedangkan menurut Martasuganda 2004 pengertian jaring insang gillnet yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu dari jenis alat
penangkap ikan dari bahan jaring monofilamen atau multifilamen yang dibentuk menjadi empat persegi panjang, kemudian pada bagian atasnya dilengkapi dengan
beberapa pelampung floats dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sinkers sehingga dengan adanya gaya yang berlawanan
memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak menghadang biota perairan.
Alat tangkap ini berdasarkan metode operasinya dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu : drift gillnet jaring insang hanyut, set gillnet jaring insang
labuh, encircling gillnet jaring insang lingkar dan bottom set gillnet jaring klitik. Sedangkan menurut lokasi operasinya berdasarkan Badan Standarisasi
Nasional 2006 gillnet dapat dibagi menjadi surface gillnet jaring insang permukaan Gambar 2, midwater gillnet jaring insang kolongpertengahan
Gambar 3 dan bottom gillnet jaring insang dasar Gambar 4. Jaring insang gillnet ada yang menggunakan satu lapis dan ada pula yang menggunakan
beberapa lapis jaring trammel net. Jaring insang merupakan alat tangkap yang potensial hal ini dapat dilihat dari jumlah alat yang meliputi 145 685 unit dengan
produksi 477 201 ton dari seluruh alat tangkap secara nasional Ditjenkan 1986.
Sedangkan menurut Baskoro dan Effendy 2005, gillnet dapat
diklasifikasikan sebagai berikut : 2 Berdasarkan areal atau lapisan kedalaman air tempat dioperasikannya
dibedakan menjadi : a. Jaring insang permukaan surface gillnet;
b. Jaring insang hanyut drift gillnet; c. Jaring insang dasar bottom gillnet.
3 Berdasarkan lapisan jaring yang membentuk dinding jaring, maka dibagi menjadi :
1 Jaring insang satu lapis; 2 Jaring insang dua lapis;
3 Jaring insang tiga lapis. 4 Berdasarkan metode pengoperasiannya, maka dibedakan menjadi :
1 Jaring insang menetap fixed gillnet atau set gillnet; 2 Jaring insang hanyut drift gillnet;
3 Jaring inasng lingkar encircling gillnet; 4 Jaring insang giring drive gillnet atau frightening gillnet;
5 Jaring insang sapu towed gillnet. Ikan yang tertangkap dengan gillnet dapat terjadi dengan empat cara yaitu
: 1 terjerat pada tutup insang gilled, 2 terjerat pada bagian badan wedged yang disebabkan karena keliling kepala ikan berukuran lebih kecil dari mata
jaring, 3 terhadang snagged disebabkan karena keliling kepala ikan berukuran lebih besar dari mata jaring dan ikan tidak dapat menerobos mata jaring tetapi
terjerat pada bagian gigi, maxilla atau operculumnya, 4 terpuntal entangled yaitu dimana ikan terbelit tanpa harus menerobos mata jaring karena bagian tubuh
yang menonjol gigi, rahang dan sirip Baskoro Effendy 2005. Ayodhyoa 1981 mengatakan bahwa pada lembaran-lembaran jaring
bagian atas dilekatkan pelampung float dan pada bagian bawah dilekatkan pemberat sinker. Dengan menggunakan dua gaya yang berlawanan arah, yaitu
bouyancy dan float yang bergerak menuju ke atas dan sinking force dari sinker ditambah dengan berat jaring di dalam air yang bergerak menuju bawah, maka
jaring akan terentang. Perimbangan dua gaya inilah yang akan menentukan baik
buruknya rentangan suatu gillnet dalam air dan berhubungan dengan gaya dari angin, arus dan gerak gelombang.
Metode pengoperasian dari jaring insang biasanya dilakukan secara pasif meskipun ada juga yang dilakukan secara semi aktif. Untuk yang pasif biasanya
dioperasikan pada malam hari baik itu dioperasikan dengan memakai alat bantu cahaya light fishing atau tanpa memakai alat bantu cahaya. Pemasangan jaring
insang gillnet ini biasanya dilakukan di daerah penangkapan yang diperkirakan akan dilewati oleh biota perairan yang menjadi target penangkapan, kemudian
dibiarkan beberapa lama supaya biota perairan mau memasuki atau terpuntal pada jaring. Lamanya perendaman jaring insang akan berbeda menurut target
tangkapan atau menurut kebiasaan nelayan yang mengoperasikannya. Untuk jaring insang yang dioperasikan secara semi aktif atau aktif biasanya dilakukan
pada siang hari Martasuganda 2004. Hasil tangkapan dari jaring insang ini bermacam-macam, namun alat ini lebih banyak menangkap ikan-ikan pelagis,
diantaranya ikan lemuru Sardinella spp, udang udang barong, lobster, kembung Rastrelligger spp, tembang Clupea sp, layang Decapterus ruselli,
belanak Mugil sp, tongkol Auxis sp, dan cakalang Euthynnus sp.
Gambar 2 Gillnet permukaan
Gambar 3 Gillnet pertengahan
Gambar 4 Gillnet dasar
2.3.4 Tingkah Laku Ikan Terhadap Gillnet
Banyak pakar dalam bidang penangkapan ikan seperti Ayodhyoa 1972; Brandt 1984; Nomura dan Yamazaki 1977 menggolongkan gillnet menjadi alat
penangkap ikan yang bersifat pasif, walaupun tidak sepenuhnya demikian karena gillnet dapat juga dioperasikan secara semi aktif yaitu dengan menetapkan salah
satu sisinya, sementara sisi lain diperlakukan bergerak melingkar dengan sisi yang ditetapkan tersebut sebagai titik pusatnya Baskoro Effendy 2005.
Menurut Martasuganda 2004, kegiatan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang pasif umumnya dilakukan pada malam hari, dimana
salah satu alasannya adalah agar indera penglihatan ikan sulit untuk mengetahui keberadaan jaring di dalam air. Salah satu alasan mengapa ikan tertangkap jaring
insang terjerat pada mata jaring atau terpuntal pada jaring insang adalah karena adanya faktor internal ikan yaitu indera penglihatan, indera pencuiman, gurat sisi
dan sebagainya, serta faktor eksternal yaitu kondisi perairan. Beberapa telaahan yang telah dilakukan menunjukkan apabila ikan
berenang dan tiba-tiba berhadapan dengan alat tangkap gillnet, maka umumnya ikan berhenti tepat di dekat jaring tersebut. Bila ternyata saat itu jaring terentang
dengan baik dan mata jaring terbuka lebar pada posisi memotong arah gerak ikan, maka ikan umumnya akan berusaha melanjutkan renang mereka sehingga terjerat
pada jaring. Kemungkinan lain, bila hal demikian terjadi pada perairan yang dangkal, dengan gerak arus dan gelombang mempengaruhi keadaan jaring yang
berayun maju mundur. Apabila ikan berada tepat di depan jaring saat jaring terdorong maju, maka ikan atau kelompok ikan dapat terjerat atau terbelit
manakala jaring terdorong mundur kembali oleh arus Baskoro Effendy 2005. Selanjutnya menurut Martasuganda 2004, diacu dalam Baskoro dan
Effendy 2005, menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan dapat tertangkap oleh gillnet diantaranya :
1 diduga terjeratnya ikan pada gillnet, karena pada saat yang demikian kondisi ikan dalam keadaan “berenang tidur” sehingga ikan tidak mengetahui
kehadiran jaring yang berada di depannya; 2 karena ikan yang ingin mengetahui benda asing yang ada di sekitarnya
termasuk gillnet dengan melihat, mendekat, meraba dan akhirnya terjerat;
3 pada ikan yang selalu bergerombol dan beriringan, maka apabila satu atau lebih ikan telah terjerat, maka ikan lainnya akan ikut-ikutan masuk ke jaring;
4 dalam keadaan panik, ikan yang sudah berada di depan jaring dan sudah sulit untuk menghindar maka akan terjerat pula oleh jaring.
Beberapa uji coba yang dilakukan untuk mengetahui respon ikan terhadap bahan, warna, bentuk, dan ukuran mata jaring alat tangkap gillnet diketahui bahwa
ternyata pada siang hari jelas terlihat bahwa reaksi yang diperlihatkan ikan erat hubungannya dengan indera penglihatan ikan. Tingkat efektifitas dari berbagai
penghadang dicobakan ternyata akan semakin bertambah sejalan dengan semakin mengecilnya intensitas cahaya. Terlihat juga adanya variasi dari jarak di mana
ikan mulai menunjukkan reaksi terhadap adanya benda-benda penghadang tersebut, demikian pula dengan tindakan ikan sehubungan dengan reaksi tersebut.
Bahan jaring yang paling sedikit menunjukkan adanya reaksi ikan adalah bahan yang terbuat dari nylon monofilament. Hal yang sama berlaku untuk penghadang
yang terbuat dari lembaran plastik yang tembus pandang Baskoro Effendy 2005.
2.4 Model Surplus Produksi Schaefer Model
Metode surplus produksi berhubungan dengan seluruh stok, seluruh upaya penangkapan dan total hasil tangkapan yang didapat dari stok, tanpa memasukkan
parameter pertumbuhan dan kematian atau efek ukuran mata jaring pada umur ikan yang tertangkap
dan sebagainya. Model-model surplus produksi diperkenalkan oleh Graham 1935, akan tetapi model-model surplus produksi
sering disebut model Schaefer Sparre Venema 1999. Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan
tingkat upaya optimal, yaitu upaya yang menghasilkan hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa berdampak pada produktivitas stok jangka panjang, yang
disebut sebagai hasil tangkapan maksimum lestari Maximum Sustainable YieldMSY. Gulland 1983, diacu dalam Oemry 1993 menguraikan bahwa
Maximum Sustainable Yield MSY adalah hasil tangkapan berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang
mengakibatkan biomassa sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama
dengan sediaan biomassa pada permulaan periode tertentu tersebut. MSY mencakup tiga hal penting, yaitu : memaksimalkan kuantitas beberapa komponen
perikanan, memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu ke waktu, dan besarnya hasil tangkapan adalah merupakan alat ukur
yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan. Parameter populasi yang disebut produksi merupakan pertambahan
biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu pada suatu wilayah perairan. Jika kuantitas biomassa yang diambil melalui kegiatan perikanan persis sama dengan
surplus produksi, ini berarti perikanan tersebut berada dalam keadaan equilibrium atau seimbang. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial
selama waktu yang dicakup Sparre Venema 1999. Asumsi yang digunakan dalam model produksi surplus adalah :
1 Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal tanpa memperhatikan struktur populasinya,
2 penyebaran ikan pada setiap periode dalam wilayah perairan dianggap merata, 3 stok ikan dalam keadaan seimbang steady state,
4 masing-masing unit penangkapan ikan memiliki kemampuan yang sama. Metode surplus produksi terdiri dari model Schaefer dan Fox, menurut
Sparre dan Venema 1999 tidak dapat dibuktikan bahwa salah satu model tersebut lebih baik dari model yang lainnya.
Langkah-langkah dalam metode surplus produksi adalah : 1 Membuat tabulasi tangkapan dan effort kemudian dihitung nilai CPUE-nya.
2 Memplotkan nilai effort f terhadap nilai CPUE cf dan menduga nilai intercept a dan slope b dengan regresi linier Y = a+bX.
3 Menghitung pendugaan potensi lestari MSY
2.5 Model Bioekonomi