58 konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, yang berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
2.1.11 Model Konvensional dan Model Konstruktivisme
Putra 2013: 81 menyatakan bahwa “metode konvensional yakni pemberian materi terjad
i secara satu arah”. Model pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu model pembelajaran yang sudah
menjadi kebiasaan dari para guru dalam memberikan materi pembelajaran kepada siswa. Model konvensional yang sering digunakan guru dalam menyampaikan
materi pelajaran yaitu metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan. Metode ceramah sering digunakan dalam setiap pembelajaran dan dikenal sebagai metode
tradisional Hamid 2011: 209. Metode ceramah adalah sebuah metode pembelajaran yang sering digunakan oleh guru dengan cara menyampaikan
informasi dan pengetahuan secara lisan kepada siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif Asmani 2010: 139. Sedangkan Sagala 2010 dalam
Hardini dan Puspitasari 2012: 14, menyatakan bahwa “metode ceramah adalah
sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan lisan dari guru kepada peserta didik”.
Kelebihan dari metode ceramah adalah guru dapat menguasai kelas, hemat dalam penggunaan waktu, mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar,
dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar dan mudah untuk dilaksanakan. Sedangkan kelemahannya adalah cenderung berpusat pada guru, membuat siswa
59 pasif karena menempatkan siswa sebagai pendengar dan pencatat, mengandung
unsur paksaan pada siswa, membendung daya kritis siswa karena keterbatasan kemampuan pada tingkat rendah yang hanya mengembangkan kemampuan
pengetahuan sampai pemahaman, sukar mengontrol sejauh mana pemerolehan belajar anak didik, kegiatan pengajaran menjadi verbalistik, dan membosankan.
Selain itu metode ceramah juga tidak dapat memberikan kesempatan untuk berdiskusi memecahkan masalah sehingga proses menyerap pengetahuannya
kurang tajam, kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keberanian mengemukakan pendapatnya, dan kurang cocok dengan tingkah laku
kemampuan anak yang masih kecil. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, metode ceramah ternyata
cukup problematis, utamanya untuk siswa-siswa yang masih muda atau masih kecil karena jangka perhatian mereka yang sangat pendek dan kosa kata mereka
yang masih terbatas. Selain itu, metode ceramah juga kurang efektif jika tujuan yang diinginkan adalah bagaimana siswa mampu mencapai pemikiran tingkat
tinggi Jacobsen 2009: 217. Dalam pembelajaran menggunakan metode ceramah, guru berperan
sebagai sumber belajar dari awal hingga akhir. Guru menjelaskan suatu konsep ataupun materi pelajaran pada siswa transmitter, dan siswa menjadi penerima
materi receiver. Bahasa baik verbal maupun nonverbal merupakan satu-satunya media komunikasi Gulo 2008: 137. Pembelajaran dengan metode ceramah
bersifat satu arah, yaitu penyampaian materi dari guru kepada siswa. Pada umumnya guru jarang sekali memberikan kesempatan kepada siswa untuk
60 menemukan dan memaknai sendiri materi yang mereka pelajari.
Saat ini, pembelajaran yang dilakukan oleh guru terutama dalam pembelajaran IPA, adalah pembelajaran dengan model konvensional.
Pembelajaran ini memiliki ciri-ciri antara lain: berpusat pada guru teacher centered, menggunakan metode ceramah, drill, dan latihan-latihan. Seiring
dengan berkembangnya strategi pembelajaran dari yang berpusat pada guru teacher centered menjadi berpusat pada siswa student centered maka
berkembang pula cara pandang terhadap bagaimana siswa belajar memperoleh pengetahuan Muhsetyo 2011: 1.7. Siswa bukan lagi diibaratkan sebagai botol
kosong yang diisi air oleh guru, melainkan siswa membangun sendiri pengetahuannya berdasarkan dari pengalaman yang dilaluinya selama proses
pembelajaran. Dilihat dari karakteristik IPA, model konvensional kurang cocok
digunakan sebagai satu-satunya model yang digunakan dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA di sekolah dasar menuntut pembelajaran yang bermakna
sehingga memungkinkan siswa berpartisipasi aktif dan terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu untuk menciptakan pembelajaran IPA yang
bermakna, guru perlu mendesain model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi, aktif, kreatif, terhadap materi yang diajarkan. Selain itu
pembelajaran dengan model konvensional perlu digantikan dengan model yang lebih berpusat pada siswa, salah satunya yaitu dengan model Konstruktivisme.
Kontruktivisme bertolak dari pendapat bahwa belajar adalah membangun to construct pengatahuan itu sendiri Bootzin 1996 dalam Semiawan 2008: 3,
61 setelah dipahami, dicernakan dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang
from whithin. Dalam perbuatan belajar seperti itu bukan apa isi pembelajarannya yang penting, melainkan bagaimana mempergunakan peralatan
mental kita untuk menguasai hal-hal yang kita pelajari. Pengetahuan itu diciptakan kembali dan dibangun dari dalam diri seseorang melalui pengalaman,
pengamatan, pencernaan digest, dan pemahamannya. Menurut Hill 2009 dalam Cahyo 2013: 34 teori konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generative, yaitu tindakan mencipta makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.
Konstruktivisme menyadari bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing individu.
Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses tersebut, keaktifan seseorang
sangat menentukan dalam mengembangkan pengatahuannya. Di sisi lain, kenyataannya masih banyak siswa yang menangkap apa yang diberikan oleh
gurunya. Hal ini menunjukan bahwa pengatahuan tidak begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan sendiri oleh siswa tersebut.
Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi hanya sebagai fasilitator, yang menyediakan stimulus baik strategi pembelajaran,
bimbingan dan bantuan ketika siswa mengalami kesulitan belajar atau menyediakan media dan materi pembelajaran menjadi bermakna, hingga akhirnya
62 siswa tersebut mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Von Glasersfeld dalam jurnal internasional yang ditulis oleh Cakir 2008: 196 yang merupakan ahli di bidang teori konstruktivisme.
“Knowledge is actively built up from whithin by a thinking person and knowledge is not passively through the sense or by any from of commu
nication”. Pernyataan tersebut berarti, pengetahuan adalah apa yang aktif dibangun dari setiap pemikiran
seseorang dan pengetahuan bukanlah sesuatu yang dibangun melaui indera atau berasal dari komunikasi. Pernyataan diatas juga semakin diperkuat oleh pendapat
Piaget 1970 dalam educational research yang ditulis oleh Driver 1994: 7 bahwa “knowledge is constructed by the cognizing subject is central to his
position ”. Pengetahuan adalah apa yang dibangun seseorang oleh kognisi
pusatnya. Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung
bukan hanya pada lingkungan belajar atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa
dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar. West dan Pinnes 1985 dalam Samatowa 2011: 54. Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang
terus berlanjut. Jadi siswa mempunyai tanggung jawab akhir atas belajar mereka sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Fensham 1994: 5 dalam Samatowa
2011: 54 : …..A constructivist view of learning with fundamental
principle that people contruct their own meaning from experiences and anything told them. Then constructed meaning depends on the
person’s existing knowledge. And since it is inevitable that people had different experiences and have heard or read different thing
.
63 Pernyataan yang disampaikan oleh Fensham berarti, Pandangan
konstuktivisme memandang pembelajaran dengan prinsip mendasar bahwa seseorang membangun makna mereka sendiri berdasarkan atas pengalaman dan
apapun yang mereka alami. Kemudian pembentukan makna tergantung dari pengetahuan yang telah dimiliki. Dan oleh karena itu maka tidak terbantahkan
bahwa setiap orang memilki pengalaman yang berbeda-beda berdasarkan apa yang mereka dengar dan lihat.
Implikasi dari pandangan konstruktivisme disekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif
dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan pernyataan ini peneliti pendidikan sains mengungkapkan, bahwa belajar sains merupakan
proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa Piaget dalam Samatowa 2011:54, sehingga di sini peran guru berubah, dari sumber dan
pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa. Dari uraian di atas, artikel dan beberapa buku yang ditulis Driver et al.
1985 dan Osborne Freyberg 1985 dan dirangkum oleh Tyler 1996 dalam Samatowa 2011:54 tentang implikasi pandangan konstruktivisme untuk
pembelajaran dapat disarikan beberapa kebaikan pembelajaran berdasarkan konstruktivisme.
1 Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan
menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagai gagasan dari temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
64 2 Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas
pengetahuan-pengetahuan mereka tentang fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena
yang menantang siswa. 3 Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berfikir
tentang pengalamannya agar siswa berfikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang teori dan model, mengenalkan gagasan sains pada siswa
yang tepat. 4 Pembelajaran konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik yang telah
dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
5 Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemampuan mereka serta
memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6 Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang konsudsif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling
menyimak dan menghindari kesan selal u ada satu “jawaban yang benar”.
65
2.1.12 Model Children Learning In Science CLIS