Mendengarkan Dongeng Menemukan Hal-hal yang Menarik dari Dongeng yang
17
keyakinan masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah, sampai akhirnya mereka bertaruh,
bahwa yang kalah harus menjadi budak yang menang. Setelah keduanya sepakat, Sang
Winata pun segera kembali ke rumah sendiri.
Sampai malam Sang Kadru gelisah sebab anak-anaknya belum pulang. Menjelang tengah
malam, barulah anak-anak Sang Kadru pulang. Sang Basuki sebagai pemimpin segera maju
menghadap, katanya, “Maafkan kami, Ibu. Kami bermain sampai larut malam karena pergi ke
Samudera Susu menyaksikan kemunculan Kuda Ugaisrawa. Sungguh cantik dan bersih
rupa kuda itu. Tidak ada setitik pun noda di seluruh tubuhnya”.
“Betulkah begitu, anakku?” tanya Sang Ibu. “Betul, Ibu,” kata Sang Basuki, “untuk apa
aku membohongi Ibu?” “Kalau begitu celakalah aku, anakku,” kata
Sang Kadru. “Ketahuilah, bahwa ibumu bertaruh dengan bibimu Winata dan ibumu kalah. Pada-
hal, yang kalah bertaruh harus menjadi budak yang menang. Oleh karena itu, pergilah kamu
ke Samudera Susu. Semprotlah ujung ekor kuda Ugaisrawa dengan bisamu agar hitam.
Dengan demikian, ibumu tidak menjadi budak Winata”.
Karena takut kepada ibunya, Sang Basuki dan adik-adiknya tengah malam itu pergi ke
Samudera Susu. Kebetulan masih terang bulan dan kuda Ugaisrawa itu tampak dengan jelas.
Tanpa ragu-ragu Sang Basuki dibantu oleh beberapa adiknya menyemprot ekor kuda itu
dengan bisanya. Jadilah separuh ekor kuda itu hitam.
Keesokan harinya, Sang Kadru mengham- piri adiknya untuk bersama-sama menyaksikan
kuda Ugaisrawa di Samudera Susu. Setelah beberapa saat kemudian, muncullah kuda
Ugaisrawa yang dinaiki seorang bidadari. “Benar,” jawab Sang Kadru. ”Kami berdua
sudah belasan tahun menjadi istri Sang Wiku, tetapi belum juga dikaruniai anak.”
“Kadru, kamu ingin anak berapa?” “Saya menginginkan 1000 anak, Sang Wiku.”
Jawab Kadru mantap. “Baiklah, Kadru. Ini saya berikan 1000 butir
telur. Rawat dan jagalah baik-baik” pesan Sang Begawan.
Lalu, kepada Sang Winata, Begawan Kasyafa bertanya. “Kamu ingin anak berapa?”
“Saya hanya menginginkan dua anak saja,” jawab Sang Winata, “tetapi kesaktiannya mele-
bihi anak Kak Kadru.” “Baiklah,” jawab Sang Wiku. “Ini dua telur.
Rawat dan jaga baik-baik. Keinginanmu akan terpenuhi.”
Setelah beberapa tahun, telur-telur Sang Kadru menetas. Semuanya ular. Yang sulung
bernama Sang Basuki. Ia menjadi pemimpin dari semua adiknya. Adik-adiknya amat patuh
kepadanya. Ular-ular itu tabiatnya nakal, amat sulit diatur oleh ibunya. Sehari-hari mereka
keluyuran ke mana-mana menyebabkan ibu- nya selalu dalam kesulitan.
Akan halnya telur Sang Winata belum juga menetas sungguhpun sudah selang beberapa
tahun setelah telur Sang Kadru menetas. Sang Winata malu, khawatir jangan-jangan telurnya
tidak menetas. Dengan agak kasar satu di antara dua telurnya ia pecah. Setelah beberapa
lama diketok-ketok, telur pun pecah. Keluarlah dari telur, seorang taruna yang amat tampan,
tetapi sayang kedua kakinya belum lengkap. Ia marah kepada ibunya, katanya, “Lihatlah, Ibu
Aku cacat begini karena ketidaksabaran Ibu. Ibu nanti akan menjadi budak Ibu Kadru karena
kalah bertaruh. Tetapi Ibu jangan sedih, peliharalah baik-baik adikku yang satu ini. Dia
nanti yang akan menebus ibu dari perbudakan Ibu, saya pergi akan mengabdi kepada Batara
Surya.” Dengan cepat anak yang bernama Sang Aruna melesat terbang pergi.
Hari itu tampak cerah. Seperti biasa Sang Winata berkunjung ke rumah kakaknya. Mereka
menceritakan pengalaman dan apa yang mereka kerjakan hari sebelumnya. Kadru ber-
kata, “Adik Winata, tadi malam saya bermimpi melihat kuda Ugaisrawa keluar dari Samudera
Susu. Kuda itu mulus putih sayang ujung ekornya berwarna hitam.” Sang Winata men-
jawab, “Kakak, benarlah. Saya juga bermimpi bertemu dengan Kuda Ugaisrawa. Tetapi yang
saya lihat adalah kuda putih mulus, tanpa setitik noda pun. Maka tidak benar kalau ujung ekornya
hitam.” Keduanya bersikeras mempertahankan
Sang Kadru meminta anak-anaknya untuk menyemprot ujung ekor kuda Ugaisrawa
menjadi hitam
18
Benarlah adanya, kuda Ugaisrawa itu putih mulus, tetapi separuh ekornya hitam. “Benar,
kan Dik Winata, bahwa kuda Ugaisrawa itu putih dengan separuh ekornya hitam,” kata Sang
Kadru. Sang Winata tidak dapat membantah dan mulai saat itu Sang Winata menjadi budak
kakaknya dengan tugas mengasuh ular, anak- anak Sang Kadru.
Setelah beberapa saat ditinggalkan oleh ibunya, telur Sang Winata yang satu menetas.
Keluarlah dari telur itu seekor burung garuda raksasa. Selain amat besar, Sang Garuda juga
amat sakti. Ia tahu siapa ibunya. Sang Garuda pun segera terbang mencari Sang Ibu. Ia amat
terkejut ketika menemukan ibunya di tengah- tengah ular anak Sang Kadru yang amat sulit
diatur. Turunlah ia menemui ibunya, katanya, “Ibu, mengapa Ibu di sini mengurusi ular-ular
nakal itu?”
“Kaukah itu anakku?” tanya Sang Winata. “Ya Ibu. Aku anak keduamu,” jawab Sang
Garuda. “Duh, anakku Sang Garuda. Tanyakan
kepada para ular itu, apa yang dapat dipakai sebagai penebus Ibu dari perbudakan ini” pinta
Sang Winata.
Segera Sang Garuda menyuruh para ular berkumpul, katanya, ”Hai para ular. Berkumpul-
lah kemari Cepat Tidak cepat aku patuk kepala- mu dan aku telan”
Para ular dengan ketakutan segera berkum- pul. Setelah semua ular berkumpul, dengan
lantang Sang Garuda bertanya, “Hai, Ular Apa yang dapat saya pakai untuk menebus ibuku
dari perbudakan ini?”
Sang Basuki sebagai pemimpin para ular segera menjawab, “Berikan kepada kami
Amreta. Ibumu akan bebas” Setelah minta restu kepada ibunya dan diberi
petunjuk oleh ibunya agar mohon petunjuk kepada ayahnya, melesatlah Sang Garuda ke
udara dengan cepat.
Tidak sulit bagi Sang Garuda menemui ayahnya. Setelah diberi petunjuk oleh ayahnya
bagaimana menemukan Amreta, Sang Garuda terbang dengan cepat ke sebuah gua yang di-
sebutkan oleh ayahnya, Begawan Kasyafa.
Setelah beberapa hari terbang, sampailah Sang Garuda di depan gua yang disebutkan oleh
Begawan Kasyafa. Gua itu pintunya dijaga oleh dua raksasa besar yang membawa penggada.
Di balik pintu, gua dijaga oleh seekor naga yang dapat menyemburkan api. Bagian akhir gua
sebelum sampai tempat penyimpanan Amreta, ada sebuah pintu yang selalu berputar seperti
baling-baling. Apa pun yang melewati akan hancur berkeping-keping.
Sang Garuda tertegun sebentar. Dengan niat minta izin, Sang Garuda mendekati dua raksasa
penjaga pintu. Bukannya izin masuk yang di- peroleh Sang Garuda, melainkan serangan
dahsyat secara tiba-tiba. Sang Garuda pun menjadi amat marah. Dengan sekali patuk saja,
raksasa itu mati. Begitu masuk pintu, datanglah semburan api dari mulut naga. Segera Sang
Garuda mengepakkan kedua sayapnya dengan kuat ke arah naga. Pasir dan batu-batu kecil
pun berhamburan memenuhi mulut naga dan menutupi kedua mata naga. Setelah naga tidak
berdaya, Sang Garuda pun masuk. Akan tetapi, ia segera berhenti begitu sampai di depan
Jantera. Ia berpikir keras bagaimana caranya melewati Jantera dengan selamat. Setelah
berpikir sebentar, ia memperkecil badannya menjadi sebesar kacang sehingga dapat masuk
dengan cara mengikuti putaran Jantera.
Setelah Amreta diperoleh, Sang Garuda dengan mudah keluar membawa Amreta. Akan
tetapi, ketika membawa terbang Amreta, ia dihadang oleh Dewa Wisnu. Namun, karena
Dewa Wisnu takut kepada Sang Garuda, Dewa Wisnu dengan lembut menyapanya.
“Sang Garuda. Hendak kau bawa ke mana Amreta itu?” tanya Dewa Wisnu.
“Akan aku pakai menebus ibuku dari perbu- dakan para ular anak Sang Kadru.“ jawab Sang
Garuda. “Waduh, jangan Mereka itu jahat semua,” tegas Hyang Wisnu.
“Itu urusanmu Wisnu Terserah padamu Wis- nu kalau Amreta ini sudah aku serahkan kepada
para ular. Pasti engkau paham apa maksudku” kata Sang Garuda. “Selamat tinggal Wisnu. Aku
sangat kasihan menyaksikan penderitaan ibu
Sang Garuda bertempur dengan naga demi mendapatkan Amreta
19
akibat kelicikan Kadru,” jawab Sang Garuda. Hyang Wisnu tanggap akan apa yang di-
maksud oleh Sang Garuda. Maka ia lalu meng- gunakan ajian halimunan sehingga tidak terlihat
oleh siapa pun kecuali oleh orang sesakti Sang Garuda. Ia terbang mengikuti terbangnya Sang
Garuda.
Tidak terceritakan perjalanan Sang Garuda, ia sampai ke tempat para ular. Ia pun segera
memanggil para ular. “Hai, kamu ular-ular. Cepatlah berkumpul di sini Saya sudah
mendapatkan apa yang kalian inginkan. Tetapi dengarkan baik-baik Ada pesan dari Hyang
Wisnu. Kalian harus membersihkan diri dulu sebelum meminum Amreta ini Nah, berikan
dulu ibuku saat saya menyerahkan Amreta ini”
Selesai berkata demikian, Sang Garuda me- letakkan tempayan Amreta itu dan membawa
ibunya terbang. Para ular yang egois itu lalu berlomba-lomba ke laut untuk mandi. Tidak ada
seekor pun yang tinggal menjaga Amreta. Hyang Wisnu tersenyum menyaksikan kelihaian Sang
Garuda dan ketamakan para ular. Segera Hyang Wisnu mengambil tempayan dan dibawa pergi.
Ketika para ular kembali, mereka sangat ter- kejut karena tempayan tempat Amreta sudah
tidak ada. Sang Basuki melihat sesuatu yang gemerlap di ujung rumput. Oleh Sang Basuki
dan adik-adiknya, yang gemerlap di ujung rumput itu dijilati bergantian. Mereka tidak
mengetahui bahwa ujung rumput itu sudah menjadi amat tajam dan kuat sebab sudah kena
Amreta. Begitu menjilat lidah ular terbelah dua. Itulah sebabnya, sampai sekarang lidah ular
bercabang dua.
Disadur dari cerita lama dengan penyesuaian.
Catatan:
Amreta berasal dari Bahasa Jawa Kuna. a berarti tidak, mreta berarti mati. Maksud-
nya: Siapa yang menggunakan minum tidak akan mati.
Dewa WisnuHyang Wisnu: Dewa penjaga keselamatan dan perdamaian dunia.
Kerjakan soal berikut dengan tepat ber- dasarkan dongeng “Lidah Ular”
1. Tulislah tokoh-tokoh dan perwatakan yang disebutkan dalam dongeng
tersebut 2. Tulislah konflik-konflik yang terjadi dalam
dongeng tersebut 3. Tuliskan hal-hal yang menarik dari
dongeng tersebut dan sertakan alasan- nya
4. Menurut kalian apa tema dongeng ter- sebut?
5. Tunjukkanlah hubungan antara tema dongeng tersebut dengan situasi
sekarang 6. Simpulkanlah isi dongeng tersebut
dengan bahasa kalian sendiri 7. Tuliskan kesimpulan yang kalian buat
dalam sebuah ungkapan tetapi belum juga dikaruniai anak.”
“Kadru, kamu ingin anak berapa?” “Saya menginginkan 1000 anak, Sang
Wiku.” Jawab Kadru mantap. “Baiklah, Kadru. Ini saya berikan 1000 butir
telur. Rawat dan jagalah baik-baik” pesan Sang Begawan.
Lalu kepada Sang Winata, Begawan Kasyafa bertanya. “Kamu ingin anak berapa?”
“Saya hanya menginginkan dua anak saja,” jawab Sang Winata, “tetapi kesaktiannya me-
lebihi anak Kak Kadru.” “Baiklah,” jawab Sang Wiku. “Ini dua telur.
Rawat dan jaga baik-baik. Keinginanmu akan terpenuhi.”
Ada hal menarik dari kutipan dongeng ter- sebut, yaitu hanya dengan menetaskan telur
bisa memperoleh anak sampai ribuan jumlahnya, orang dapat dengan mudahnya mempunyai
anak.
Hal-hal menarik dalam dongeng dapat berupa keajaiban-keajaiban, tokoh-tokoh yang
sakti, cerita yang mengharukan, pesan yang mendidik, dan sebagainya.