Simbolik dalam Sastra PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI MELAL

58 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 Karya sastra sebagai simbol verbal sendiri mempunyai beberapa peranan di antaranya sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan. Objek karya sastra adalah relitas realitas pengarang. Karya sastra mencoba menerjemahkan peristiwa dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa menurut kadar kemampuan pengarang. Dan karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaiakn pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa Kuntiwijoyo, 1987:127. Hal ini hampir sama dengan teori simbolik yang berpandangan bahwa dalam menggambarkan kenyataan sosial, pengarang menggunakan dua cara, yaitu: 1 dengan menggunakan simbol, yaitu penolakan terhadap sesuatu yang alami atau wajar untuk mencapai maksud yang diinginkan pengarang; 2 dengan mencari tafsiran atau pemahaman atas sesuatu kekuatan yang mendalam, hal ini sebenarnya secara tidak sadar sudah menjadi tugas dari semua manusia pendengar atau pembaca. Tujuan dari simbolik ini sendiri adalah pengarang ingin mengubah dan mengganti kenyataan menjadi sebuah ide atau gambaran, yang mana gambaran ini akan membangkitkan ingatan pembaca, bukan untuk menganalisis seperti layaknya seorang cendekiawan Firth: 1975:30. Dengan kata lain, simbol merupakan pengrahasiaan atas suatu kebenaran, dalam hal ini adalah kebenaran yang bersifat subyektif. Dalam cerita dongeng biasanya dipandang untuk kesenangan dan untuk pengajaran moral bagi anak kecil. Dongeng- dongeng menyenangkan, menentramkan hati, dan memberikan arah yang umum serta memberikan harapan bagi masa yang akan datang. Cerita sering dilihat sebagai pengembara yang digunakan oleh seorang yang tidak mempunyai fakta lagi. Cerita menyampaikan informasi, moral, nilai. Selain itu dongeng juga bersemangat dan meyakinkan, sehingga dongeng itu memainkan suatu peranan yang penting dan hal itu tidak disadari oleh organisasi modern Arni, 2001:62. Jadi seorang pengarang sastra, dalam menciptakan sebuah karya tidak bisa lepas dari simbolisasi, khusunya simbolisme kolektif, yaitu perwakilan dari pemikirannya yang kolektif.

3. Serat Tantri K

ā mandaka Salah satu dongeng hasil karya sastra Jawa adalah dongeng tantri. Menurut Dr.C. Hooykaas dalam Bibliotheca Javanica 2 1931, di Indonesia terdapat 12 macam naskah Tantri, yaitu: 3 dalam bahasa Jawa Kuna; 2 dalam bahasa Jawa Baru; 2 dalam bahasa Madura; dan 5 dalam bahasa Bali. Sembilan naskah terakhir termasuk naskah muda tetapi sudah dalam keadaan yang sangat buruk. Yang termasuk dalam tantri berbahasa Jawa Kuna, yaitu: Tantri 59 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 K ā mandaka; Tantri b Kadhiri; dan Tantri a Děmung. Disebut Tantri b Kadhiri dan Tantri a Děmung karena buku tersebut dalam bentuk kidung b Kadhiri dan Děmung yang menunjukkan bentuk-bentuk puisi Jawa Tengahan. Yang satu lainnya berbentuk prosa, dan telah diterjemahkan oleh Dr. C. Hooykaas. Dalam kitab Tantri K ā mandaka ada tersisip perkataan-perkataan Sansekerta. Beberapa buah di antaranya masih dapat dibetulkan, tapi beberapa buah yang lain tidak lagi. Berhubung dengan itu, maka kitab tersebut dapat dianggap dalam kitab- kitab Jawa Kuno berbahasa prosa yang tergolong tua. Tetapi menurut bentuknya sekarang dapat dimasukkan dalam golongan kitab bahasa Jawa Pertengahan‖.Prof.Dr.R.M.Ng. Purbacaraka dan Tarjan Hadijaya, 1957: 68 Maka tidaklah salah jika Pigeaud 1967 memasukkan Tantri K ā mandaka ini ke dalam sastra Jawa Pertengahan dalam kelompok Religius and edifying poetry and fables. Bahasa dalam Tantri K ā mandaka tidaklah terlalu sulit, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan dan perilaku binatang, dan penuh dengan perlambang dan fatwa. Ceritanya ringan, menarik dan serasi untuk pendidikan anak-anak, dan juga bagi yang telah berumur tentunya. Maka dari itu, cerita dalam naskah ini sangat berkembang pesat dalam cerita-cerita lisan, baik di pulau Jawa maupun di Indonesia bahkan sampai mendunia. Naskah ini menceritakan tentang dongeng binatang, sama halnya dengan serat Kancil. Induk dari serat Tantri K ā mandaka yaitu serat Pancatantra, berbahasa Pahlawi asli dari negeri India, tetapi masuknya ke tanah Jawa sudah sejak lama yaitu sekitar abad ke-3 dan namanya menjadi Tantrakawya. Pada sekitar abad 12-15, naskah ini lalu disadur dalam bahasa Jawa dan berbentuk prosa, namanya yaitu Tantracarita, yang selanjutnya disebut Tantri Kamandaka. Cerita-cerita dalam naskah Tantri Kamandaka tersebar hampir di seluruh dunia. Ceritanya bisa memberikan informasi yang berbeda pada setiap generasi yang berbeda. Kualitas ceritanya yang tinggi, lebih tinggi dari pada cerita Hikayat 1001 Malam yang beredar di tanah Melayu, walaupun keduanya berasal dari induk yang sama, yaitu Pancatantra. Ada perbedaan sedikit antara Tantri K ā mandaka dengan serat Pancatantra, yaitu pada bagian awalnya. Jika serat Pancatantra itu yang menjadi permulaan cerita adalah mengisahkan seorang ratu yang mempunyai putra yang sangat bodoh semua, lalu disuruh berguru kepada seorang pendhita, dengan cara diceritakan dongeng-dongeng tentang binatang. Tetapi jika serat Tantri K ā mandaka mengisahkan tentang seorang raja di sebuah negeri, setiap malam raja ini