Proses Interaksi Edukatif Tujuan model pembelajaran

53 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 sebagai pembimbing, dibutuhkan kedisiplinan, dan ada batasan waktu Suardi dalam Sardiman, 2011:15-18. Di dalam interaksi edukatif harus memiliki tujuan berarti dosen membantu mahasiswa untuk mencapai perkembangan tertentu yang membuat mahasiswa harus sadar dan dosen menjadikan mahasiswa sebagai pusat perhatian. Kemudian, dosen menyiapkan desain pembelajaran agar tujuan yang ditentukan dapat tercapai namun desain pembelajaran tersebut harus sistematis. Materi yang diberikan kepada mahasiswa juga harus sesuai dengan desain pembelajaran yang telah dirancang dosen sehingga aktivitas mahasiswa sebagai syarat utama dalam proses interaksi edukatif dan peran mahasiswa harus lebih aktif. Pada saat pembelajaran berlangsung, dosen membimbing untuk memberikan motivasi dan nuansa pembelajaran yang kondusif bagi mahasiswa di dalam kelas. Proses interaksi edukatif juga memerlukan kedisiplinan untuk ditaati antara mahasiswa dan dosen sebagai kesepakatan agar kegiatan pembelajaran yang telah dirancang dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Jika salah satu pihak ada yang melanggar kesepakatan yang dibuat, maka kegiatan pembelajaran menjadi terhambat. Faktor inilah yang akan memengaruhi penggunaan waktu yang ditentukan dalam proses pembelajaran yang harus ditempuh. Di sisi lain, proses interaksi edukatif yang paling mendasar dapat dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didik adalah adanya senyum dari pendidik di dalam kelas dan keteladanan yang diberikan pada peserta didik Suyanto dan Jihad, 2013:99-100. Senyum yang muncul dari dosen dan tulus diberikan pada mahasiswa akan menyentuh hati para mahasiswa karena melalui senyum dapat mengisyaratkan ekspresi cinta kasih dari dosen dan tentunya memberikan sumber kekuatan bagi mahasiswa untuk menyukai dosen mata kuliah tertentu agar setiap materi yang diberikan mampu diserap dengan baik sehingga mahasiswa dapat mengungkapkan pendapatnya tanpa rasa takut. Selain itu, dosen jangan sekedar menyuruh saja pada mahasiswa tetapi harus memberi teladan yang baik agar mahasiswa lebih termotivasi untuk menjadi subjek belajar dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, penulisan artikel konseptual ini diharapkan mampu melengkapi kajian mengenai pengembangan model pembelajaran bersifat inovasi dalam pembelajaran yang dapat diterapkandiujicobakan oleh dosen pada mahasiswa sebagai upaya memperbaiki praktik-praktik pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien sehingga kualitas 54 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 pembelajaran dan hasil belajar mahasiswa meningkat. Selain itu, pengembangan model pembelajaran ―COCOK‖ dapat dijadikan motivasi untuk mengaktifkan mahasiswa agar mengalami proses interaksi edukatif sebagai inovasi pembelajaran yang lebih baik dan bermakna. REFERENSI Ahmadi, Abu dan Sholeh, Munawar. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Akbar, Sa‘dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Amri, Sofan. 2013. Pengembangan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Julianto. 2010. Kajian Teori dan Implementasi Model Pembelajaran Terpadu dalam Pembelajaran di Kelas. Surabaya: Unesa University Press. Iru, La dan Arihi, La Ode Safiun. 2012. Analisis Penerapan Pendekatan, Metode, Strategi, dan Model-model Pembelajaran. Bantul: Multi Presindo. Prawiradilaga, Dewi Salma. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran Instructional Design Principles. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sagala, Syaiful. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sardiman. 2011. Interaksi Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Suyanto dan Jihad, Asep. 2013. Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta: Esensi Erlangga Group. Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP. Jakarta: Kencana. Yulianto, Bambang dkk. 2009. Model Pembelajaran Inovatif Bahasa Indonesia. Surabaya: Unesa University Press. 55 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016 ―Pengembangan Profesionalisme Guru Dan Dosen Indonesia‖ Malang, 07 Mei 2016 PENDIDIKAN KARAKTER SISWA SD MELALUI DONGENG TANTRI KAMANDAKA DALAM PELAJARAN BAHASA JAWA Endang Sri Maruti IKIP PGRI Madiun Email: marutiendanggmail.com Abstrak Dongeng-dongeng Tantri mengandung banyak simbol dan perlambang. Tingkah laku binatang dalam dongeng tersebut melambangkan perilaku manusia. Simbol dan perlambang itulah yang digunakan pendongeng untuk mengajarkan karakter pada pendengarnya. Dalam hal ini, guru sebagai pendongeng, baik secara langsung maupun tidak langsung ingin mengajarkan karakter pada siswanya melalui penggambaran perilaku binatang dalam dongeng tantri. Dongeng tantri terkenal sebagai dongeng yang ringan, baik alur ceritanya maupun pesan yang ingin disampaikan. Hal ini tentu sangat cocok bila diberikan pada siswa SD yang daya tangkapnya memang masih minim. Tulisan ini akan mengupas karakter dan pesan yang terkandung dalam dongeng tanri kamandaka yang nantinya akan diajarkan pada siswa SD. Kata Kunci : pendidikan karakter, siswa SD, dongeng tantri PENDAHULUAN Dongeng yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, selain merupakan bagiana dari kebudayaan masyarakat itu sendiri, juga berfungsi sebagai sarana menyampaikan nilai budaya. Dengan kata lain, lahirnya suatu serita rakyat adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor sosial kultiral cerita rakyat itu sendiri yang pada akhirnya merupakan objek kultural jugam sehingga dijadikan pedoman oleh penduduknya. Karena ia mengandung nilai-nilai, norma- norma, pesan, himbauan-himbauan, dan misi tertentu yang biasanya disampaikan secara simbolik. Dongeng adalah bagian dari salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting artinya bagi pembentukan dan pembinaan watak serta pengaturan ketertiban sosial. Sebagai suatu bentuk penuturan yang tumbuh dan menyebar di kalangan masyarakat, dongeng merupakan sarana yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan dan amanat dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya. Hal ini karena berbagai pesan dan amanat yang ingin disampaikan kepada masyarakat dilakukan dengan cara tidak langsung serta diselubingi oleh berbagai hal yang lebih mengasyikkan, sehingga penerima pesan ataupun pendengar dongeng dapat menerima pesan tanpa merasakan adanya kebosanan. Pesan yang 56 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 ditinggalkan melalui media dongeng meninggalkan kesan yang cukup mendalam di benak penerimanya. Apalagi pada siswa sekolah dasar, yang notabene segala hal yang diucapkan guru adalah perintah yang wajib dilaksanakan. Mendongeng merupakan kebiasaan yang dilakukan baik secara sambilan di saat mengisi waktu luang meupun dalam suatu kekhususan waktu tertentu, misalnya dalam pembelajaran bahasa Jawa pada materi dongeng. Tanpa disadari, sebenarnya bnayk sekali manfaat yang dapat diambil dari suatu dongeng , legenda, mitos, dan fabel. Misalnya tentang kebaikan, rasa suka menolong, keberanian, kejujuran, keteguhan hati, kehati-hatian, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya mengapa dongeng perlu diinformasikan kepada anak-anak. Salah satu dongeng hasil karya sastra Jawa adalah dongeng tantri. Dongeng- dongeng Tantri mengandung banyak simbol dan perlambang. Tingkah laku binatang dalam dongeng tersebut melambangkan perilaku manusia. Pengalaman tokoh-tokoh dalam dongeng bisa menjadi jawaban atas berbagai pertanyaan eksistensial mengenai diri manusia pendengar atau pembaca. Itulah sebabnya, langsung atau tidak, karya sastra termasuk dongeng Tantri juga mengandung sesuatu yang disebut amanat atau moral yang mampu membangkitkan pengalaman estetik manusia pendengar atau pembaca. Oleh karena itu, penelitian simbolik terhadap naskah Tantri K ā mandaka menjadi sangat penting dan perlu dilakukan. Penelitian itu dianggap penting karena selain alasan untuk mengungkap simbol-simbol dari setiap tokohnya dan untuk memperoleh pengetahuan tentang ajaran moral di dalam simbol itu, juga karena ajaran moral inilah yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan moral manusia pendengar atau pembaca yang saat ini dinilai mengalami reduksi. Telah banyak penelitian terhadap cerita Tantri dilakukan, dan kebanyakan dilakukan oleh orang berkebangsaan asing. Namun penelitian mereka hanya berkutat seputar bahasa dan isi dari cerita-cerita Tantri saja. Sampai sekarang belum ada penelitian ataupun penulisan tentang amanat dan nilai moral yang disimbolkan melalui tokoh binatang dan segala perilakunya. Maka, bisa dikatakan bahwa penelitian ini merupakan lanjutan dan bersifat melengkapi sekaligus memperkaya khasanah penelitian yang ada, khusunya penelitian yang berhubungan dengan simbol serta makna- maknanya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan simbol yang terdapat dalam serat Tantri K ā mandaka yang nantinya akan diajarkan oleh guru SD kepada siswanya. Penelitian ini berguna untuk melestarikan, membina, dan mengembangkan kebudayaan Jawa, sekaligus memberi pengetahuan guru SD 57 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 akan nilai-nilai yang bisa diajarkan pada naskah dongeng tantri yang bisa ditanamkan kepada siswanya. KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas tentang kajian teori yang mendasari penelitian ini, di antaranya yaitu teori simbolik, simbolik dalam karya sastra, nilai-nilai moral dalam karya sastra, dan terakhir tentang serat Tantri K ā mandaka.

1. Teori Simbolik

Simbolisme berasal dari kata simbolik, yang artinya majas perbandingan yang melukiskan sesuatu dengan benda-benda dan sebagainya Ugafeman dalam Kamidjan, 2001:23. Jadi, simbolisme ialah aliran yang melukiskan maksud yang sebenarnya tetapi tidak secara berterus terang. Pakar terkenal yang sering disitir karena bukunya An Essay on Man adalah Ernst Cassirer yang mengatakan Manusia sebagai animal syimbolicum. Dia menyebutkan bahwa bentuk-bentuk simbolik itu ialah agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mite dan bahasa 1956. Dan semua bentuk simbolik itu dapat menjadi bahan kajian humaniora jika kajiannya berfokus sekitar masalah makna, yaitu nilia-nilai instrinsik dari simbol. Menurut etimologinya, simbol dan simbolisasi diambil dari bahasa Yunani sumballo sumballein, yang artinya berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu, melemparkan menjadi satu, menyatukan. Jadi bentuk simbol adalah penyatuan dua hal yang luluh menjadi satu. Dalam hal ini ada dua pemikiran, yaitu: 1 simbol sebagai suatu yang imanen, yaitu bersifat dimensi horisontal saja, dan 2 simbol dengan tresenden dan dalam dialog dengan yang lain ditemukan jawaban kalau simbol bersifat horisontal dan juga vertikal Daeng, 2008:80. Simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memberikan makna Maran, 2000:43. Menurutnya banyak simbol yang berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan yang bersifat simbolik ketimbang tujuan instrumennya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Victor Turner 1967 yang mengatakan kalau simbol itu menampakkan nilai-nilai dan mengandung banyak arti. Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan kalau simbol merupakan sesuatu yang digunakan manusia untuk mengungkapkan makna yang sebenarnya namun tidak secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang berbeda.

2. Simbolik dalam Sastra

Sastra sejarah memiliki 3 komponen, yaitu sejarah, estetis, dan fiktif. Unsur fiktif berkaitan erat dengan pandangan hidup dan kepercayaan masyarakat yang meliputi 5 jenis, yaitu: legenda mitologi, simbolisme, sugesti dan hagiografi Kamidjan, 2001:27. 58 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG ISSN 2502-8723 Karya sastra sebagai simbol verbal sendiri mempunyai beberapa peranan di antaranya sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan. Objek karya sastra adalah relitas realitas pengarang. Karya sastra mencoba menerjemahkan peristiwa dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa menurut kadar kemampuan pengarang. Dan karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaiakn pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa Kuntiwijoyo, 1987:127. Hal ini hampir sama dengan teori simbolik yang berpandangan bahwa dalam menggambarkan kenyataan sosial, pengarang menggunakan dua cara, yaitu: 1 dengan menggunakan simbol, yaitu penolakan terhadap sesuatu yang alami atau wajar untuk mencapai maksud yang diinginkan pengarang; 2 dengan mencari tafsiran atau pemahaman atas sesuatu kekuatan yang mendalam, hal ini sebenarnya secara tidak sadar sudah menjadi tugas dari semua manusia pendengar atau pembaca. Tujuan dari simbolik ini sendiri adalah pengarang ingin mengubah dan mengganti kenyataan menjadi sebuah ide atau gambaran, yang mana gambaran ini akan membangkitkan ingatan pembaca, bukan untuk menganalisis seperti layaknya seorang cendekiawan Firth: 1975:30. Dengan kata lain, simbol merupakan pengrahasiaan atas suatu kebenaran, dalam hal ini adalah kebenaran yang bersifat subyektif. Dalam cerita dongeng biasanya dipandang untuk kesenangan dan untuk pengajaran moral bagi anak kecil. Dongeng- dongeng menyenangkan, menentramkan hati, dan memberikan arah yang umum serta memberikan harapan bagi masa yang akan datang. Cerita sering dilihat sebagai pengembara yang digunakan oleh seorang yang tidak mempunyai fakta lagi. Cerita menyampaikan informasi, moral, nilai. Selain itu dongeng juga bersemangat dan meyakinkan, sehingga dongeng itu memainkan suatu peranan yang penting dan hal itu tidak disadari oleh organisasi modern Arni, 2001:62. Jadi seorang pengarang sastra, dalam menciptakan sebuah karya tidak bisa lepas dari simbolisasi, khusunya simbolisme kolektif, yaitu perwakilan dari pemikirannya yang kolektif.

3. Serat Tantri K

ā mandaka Salah satu dongeng hasil karya sastra Jawa adalah dongeng tantri. Menurut Dr.C. Hooykaas dalam Bibliotheca Javanica 2 1931, di Indonesia terdapat 12 macam naskah Tantri, yaitu: 3 dalam bahasa Jawa Kuna; 2 dalam bahasa Jawa Baru; 2 dalam bahasa Madura; dan 5 dalam bahasa Bali. Sembilan naskah terakhir termasuk naskah muda tetapi sudah dalam keadaan yang sangat buruk. Yang termasuk dalam tantri berbahasa Jawa Kuna, yaitu: Tantri