KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE BERBANTUAN ALAT PERAGA MANDIRI TERHADAP KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PERCAYA DIRI SISWA KELAS VII
i
KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE
BERBANTUAN ALAT PERAGA MANDIRI TERHADAP
KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PERCAYA DIRI
SISWA KELAS-VII
Skripsi
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
oleh Ema Khoerunnisa
4101411132
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
(2)
(3)
(4)
(5)
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
―Lakukan sekarang, apapun yang bisa dilakukan sekarang‖
Persembahan:
1. Untuk kedua orang tuaku tersayang, Ibu Himayatun dan Bapak Suraji yang senantiasa memberikan doa terbaik dan dukungan penuh kepadaku
2. Untuk adikku tersayang, Nita Dwi Astuti yang senantiasa memberikan semangat kepadaku
3. Untuk teman-teman seperjuangan Pendidikan Matematika 2011, SIGMA Unnes, PKPT IPNU IPPNU Unnes
4. Untuk sahabat-sahabatku yang selalu mengiringi langkahku dengan doa
(6)
vi
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama menyusun skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan, kerjasama, dan sumbangan pikiran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang; 2. Prof. Dr. Zaenuri, S.E., M.Si., Akt., Dekan FMIPA Universitas Negeri
Semarang;
3. Drs. Arief Agoestanto, M.Si., Ketua Jurusan Matematika yang telah membantu kelancaran ujian skripsi;
4. Drs. Supriyono, M.Si., Dosen Wali yang telah memberikan arahan dan motivasi pada penulis serta membantu kelancaran ujian skripsi;
5. Dr. Isti Hidayah, M.Pd. dan Dra. Kristina Wijayanti, M.S., Dosen Pembimbing yang telah sabar dan tulus memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini;
6. Bambang Eko Susilo, S.Pd., M.Pd., Dosen Penguji yang telah memberikan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini;
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Matematika yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama perkuliahan di Universitas Negeri Semarang;
8. Kedua orang tua dan keluarga besar tercinta, atas doa, perjuangan, pengorbanan, dan segala dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan studi ini;
(7)
vii
9. Dra. Nurwakhidah Pramudiyati, Kepala SMP Negeri 41 Semarang, yang telah memberi izin penelitian;
10.Murwati, S.Pd., Guru matematika kelas VII SMP Negeri 41 Semarang, yang telah membantu terlaksananya penelitian ini;
11.Siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang, yang telah membantu proses penelitian;
12.Teman-teman seperjuangan yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis;
13.Sahabat-sahabatku, Arnita, Ayu, Aulia, Aziz, dll yang senantiasa mengiringi perjalananku dengan do’a; dan
14.Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca demi kebaikan di masa yang akan datang.
Semarang, 1 Oktober 2015
(8)
viii
ABSTRAK
Khoerunnisa, E. 2015. Keefektifan Pembelajaran Think Talk Write Berbantuan Alat Peraga Mandiri terhadap Komunikasi Matematis dan Percaya Diri Siswa kelas-VII. Skripsi, Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Utama Dr. Isti Hidayah, M.Pd. dan Pembimbing Pendamping Dra. Kristina Wijayanti, M.S. Kata kunci: alat peraga mandiri, keefektifan, komunikasi matematis, percaya diri,
Think Talk Write (TTW)
Kemampuan komunikasi matematis adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa begitu juga dengan perilaku percaya diri. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis dan perilaku percaya diri masih belum sepenuhnya dimiliki oleh siswa khususnya kelas VII. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis dan percaya diri siswa masih rendah. Berbagai model dan strategi dikembangkan oleh para ahli untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dan percaya diri. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri.Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui apakah rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri mencapai nilai minimal 75; (2) untuk mengetahui apakah rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih baik dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran konvensional; dan (3) untuk mengetahui apakah skor percaya diri siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih tinggi dari skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran konvensional.
Populasi dalam penelitian ini adalah kelas VII SMP Negeri 41 Semarang tahun pelajaran 2014/2015. Dengan menggunakan teknik cluster random sampling terpilih kelas sampel VII B sebagai kelas kontrol dan kelas VII C sebagai kelas eksperimen. Analisis data yang digunakan adalah uji rata-rata dan uji banding rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang yang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri mencapai nilai minimal 75; (2) rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih baik dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran konvensional; dan (3) skor percaya diri siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih tinggi dari skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran konvensional.
(9)
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Batasan Masalah ... 6
1.3 Rumusan Masalah ... 6
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 7
1.5.1 Manfaat Teoritis ... 7
(10)
x
1.6 Penegasan Istilah ... 8
1.6.1 Keefektifan ... 8
1.6.2 Model Pembelajaran Matematika ... 9
1.6.3 Strategi Pembelajaran ... 10
1.6.4 Pembelajaran Konvensional ... 10
1.6.5 Alat Peraga Mandiri ... 10
1.6.6 Kemampuan Komunikasi Matematis ... 11
1.6.7 Percaya Diri ... 12
1.6.8 Materi Pokok Segiempat ... 12
1.6.9 Ketuntasan Belajar... 12
1.7 Sistematika Penulisan Skripsi ... 13
1.7.1 Bagian Awal ... 13
1.7.2 Bagian Isi ... 13
1.7.3 Bagian Akhir ... 14
2. TINJAUAN PUSTAKA... 15
2.1 Landasan Teori ... 15
2.1.1 Belajar dan Pembelajaran ... 15
2.1.2 Teori yang Mendukung ... 17
2.1.2.1 Teori Belajar Vygotsky ... 17
(11)
xi
2.1.2.3 Teori Bruner ... 20
2.1.2.4 Teorema Van Hiele ... 21
2.1.3 Model Pembelajaran ... 23
2.1.3.1 Model Cooperatif Learning ... 23
2.1.3.2 Langkah-Langkah Model Cooperatif Learning ... 25
2.1.4 Strategi Pembelajaran ... 26
2.1.4.1 Strategi Pembelajaran TTW (Think Talk Write) ... 27
2.1.4.2 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif dengan Strategi TTW Berbantuan Alat Peraga Mandiri ... 28
2.1.4.3 Kekuatan Strategi Pembelajaran TTW ... 29
2.1.5 Pembelajaran Konvensional ... 30
2.1.5.1 Student Teams Achievement Divisions (STAD) ... 30
2.1.5.2 Langkah-Langkah Pembelajaran STAD ... 30
2.1.5.3 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran STAD ... 31
2.1.6 Kemampuan Komunikasi Matematis ... 32
2.1.7 Alat Peraga Mandiri ... 35
2.1.8 Lembar Kegiatan Siswa (LKS) ... 36
2.1.9 Materi pokok ... 38
2.1.10 Kriteria Ketuntasan Minimal ... 44
(12)
xii
2.2 Penelitian yang Relevan ... 46
2.3 Kerangka Berpikir ... 46
2.4 Hipotesis ... 48
3. METODE PENELITIAN ... 50
3.1 Desain Penelitian ... 50
3.2 Populasi dan Sampel ... 51
3.2.1 Populasi ... 51
3.2.2 Sampel ... 51
3.3 Variabel Penelitian ... 51
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 52
3.4.1 Metode Dokumentasi... 52
3.4.2 Metode Tes ... 52
3.4.3 Skala Psikologi ... 53
3.5 Instrumen Penelitian ... 53
3.5.1 Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 53
3.5.1.1 Langkah-Langkah Penyusunan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 54
3.5.1.2 Analisis Validitas Item ... 54
3.5.1.3 Analisis Reliabilitas Tes ... 56
(13)
xiii
3.5.1.5 Analisis Daya Pembeda ... 58
3.5.2 Instrumen Skala Psikologi ... 59
3.5.2.1 Langkah-Langkah Penyusunan Skala Psikologi ... 62
3.5.2.2 Analisis Validitas Item ... 63
3.5.2.3 Analisis Reliabilitas Tes ... 63
3.6 Langkah-Langkah Penelitian ... 64
3.7 Teknik Analisis Data ... 65
3.7.1 Analisis Data Awal ... 65
3.7.1.1 Uji Normalitas ... 65
3.7.1.2 Uji Homogenitas ... 67
3.7.1.3 Uji Kesamaan Rata-Rata ... 68
3.7.2 Analisis Data Akhir ... 69
3.7.2.1 Uji Normalitas ... 70
3.7.2.2 Uji Homogenitas ... 71
3.7.2.3 Uji Hipotesis 1 ... 72
3.7.2.4 Uji Hipotesis 2 ... 73
3.7.2.5 Uji Hipotesis 3 ... 74
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76
4.1 Hasil Penelitian ... 76
(14)
xiv
4.1.1.1 Uji Normalitas ... 76
4.1.1.2 Uji Homogenitas ... 77
4.1.1.3 Uji Kesamaan Rata-rata ... 77
4.1.2 Analisis Data Akhir ... 78
4.1.2.1 Uji Normalitas ... 79
4.1.2.2 Uji Kesamaan Dua Varians ... 79
4.1.2.3 Uji Hipotesis 1 ... 80
4.1.2.4 Uji Hipotesis 2 ... 80
4.1.2.5 Uji Hipotesis 3 ... 81
4.1.3 Pelaksanaan Penelitian ... 81
4.1.3.1 Pembelajaran di Kelas Eksperimen ... 83
4.1.3.2 Pembelajaran di Kelas Kontrol ... 86
4.2 Pembahasan ... 88
4.2.1 Hasil Komunikasi Matematis ... 88
4.2.2 Percaya Diri Siswa ... 92
5. PENUTUP ... 95
5.1 Simpulan ... 95
5.2 Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97
(15)
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Hubungan antara Fase Belajar dan Acara Pembelajaran
...
17Tabel 2.2 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif ... 26
Tabel 3.1 Desain Penelitian Posttest-Only Control Group Design... 50
Tabel 3.2 Klasifikasi Koefisien Korelasi ... 55
Tabel 3.3 Klasifikasi Taraf Kesukaran... 57
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda ... 58
Tabel 4.1 Hasil Uji Normalitas Data Awal ... 77
(16)
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Sifat 1 (sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar)
...
39Gambar 2.2 Sifat 2 (sudut-sudut yang berhadapan sama besar) ... 39
Gambar 2.3 Sifat 3 (jumlah pasangan sudut saling berdekatan adalah 1800) ... 40
Gambar 2.4 Sifat 4 (kedua diagonalnya membagi dua sama panjang) ... 40
Gambar 2.5 Jajargenjang ... 41
Gambar 2.6 Belahketupat ... 41
(17)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1 Data Awal Kelas VII A- VII D
...
102Lampiran 2 Uji Normalitas Data Awal Kelas VII A ... 103
Lampiran 3 Uji Normalitas Data Awal Kelas VII B ... 105
Lampiran 4 Uji Normalitas Data Awal Kelas VII C ... 107
Lampiran 5 Uji Normalitas Data Awal Kelas VII D ... 109
Lampiran 6 Uji Homogenitas Data Awal ... 111
Lampiran 7 Uji Kesamaan Rata-rata Data Awal ... 113
Lampiran 8 Kisi-kisi Tes Uji Coba ... 115
Lampiran 9 Soal Uji Coba Tes Komunikasi Matematis ... 119
Lampiran 10 Kunci Jawaban Tes Komunikasi Matematis ... 122
Lampiran 11 Kisi-kisi Skala Psikologi Percaya Diri ... 133
Lampiran 12 Skala Psikologi Percaya Diri ... 137
Lampiran 13 Lembar Validasi Skala Psikologi Percaya Diri dengan Profesional Psikolog ... 141
Lampiran 14 Analisis Hasil Uji Coba Tes Komunikasi Matematis ... 153
Lampiran 15 Analisis Skala Psikologi Percaya Diri ... 156
Lampiran 16 Perhitungan Reliabilitas Butir Soal ... 163
Lampiran 17 Perhitungan Validitas Butir Soal ... 166
Lampiran 18 Perhitungan Taraf Kesukaran Butir Soal ... 168
Lampiran 19 Perhitungan Daya Beda Butir Soal ... 170
(18)
xviii
Lampiran 21 Kisi-kisi Tes Komunikasi Matematis ... 177
Lampiran 22 Soal Tes Komunikasi Matematis ... 181
Lampiran 23 Kunci Jawaban Tes Komunikasi Matematis ... 184
Lampiran 24 Kisi-kisi Skala Psikologi Percaya Diri ... 193
Lampiran 25 Skala Psikologi Percaya Diri ... 197
Lampiran 26 Pedoman Penskoran Skala Psikologi Percaya Diri ... 201
Lampiran 27 Silabus Kelas Eksperimen ... 202
Lampiran 28 Silabus Kelas Kontrol ... 209
Lampiran 29 RPP Kelas Eksperimen ... 215
Lampiran 30 RPP Kelas Kontrol... 254
Lampiran 31 Bahan Ajar ... 286
Lampiran 32 Alat Peraga Matematika ... 296
Lampiran 33 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 308
Lampiran 34 Kunci Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 318
Lampiran 35 Lembar Diskusi Kelompok (LDK) ... 328
Lampiran 36 Kunci Jawaban Lembar Diskusi Kelompok (LDK) ... 336
Lampiran 37 Kuis ... 354
Lampiran 38 Kunci Jawaban Kuis ... 358
Lampiran 39 Uji Normalitas Data Akhir Kelas Eksperimen ... 370
Lampiran 40 Uji Normalitas Data Akhir Kelas Kontrol ... 372
Lampiran 41 Uji Homogenitas Data Akhir ... 374
Lampiran 42 Uji Hipotesis 1 ... 376
(19)
xix
Lampiran 44 Uji Hipotesis 3 ... 380 Lampiran 45 Surat Penelitian ... 382 Lampiran 46 Dokumentasi ... 383
(20)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Menurut Suherman et al. (2003: 25), matematika berperan sebagai ratu dan pelayan ilmu. Artinya, matematika adalah dasar dari pesatnya perkembangan ilmu-ilmu lain. Menurut Cockroft sebagaimana dikutip oleh Tim PPPG Matematika (2005: 66) siswa harus belajar matematika dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat dan berpengaruh, teliti dan tepat, dan tidak membingungkan. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan matematika dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran yang diwajibkan di sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat sekolah menengah atas. Salah satu cara yang dibutuhkan untuk mengenalkan mata pelajaran matematika kepada siswa adalah melalui pendidikan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan suatu negara. Melalui pendidikan, kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat meningkat. Sedangkan dalam
(21)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan nasional tersebut tersirat bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mampu menyelesaikan masalah, mampu bernalar, dan mampu berkomunikasi matematis. Sehingga dengan mempelajari matematika, siswa akan belajar menyelesaikan masalah, bernalar, dan berkomunikasi matematis untuk keberhasilan proses pendidikan karena dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia belum sesuai dengan apa yang diharapkan khususnya dalam pendidikan mata pelajaran matematika.
Berdasarkan data hasil ujian nasional SMP Negeri 41 Semarang tahun 2013/2014 menunjukkan bahwa rata-rata hasil ujian nasional mata pelajaran matematika adalah 4,46, rata-rata mata pelajaran bahasa indonesia adalah 7,05, rata-rata mata pelajaran bahasa inggris adalah 5,07, dan rata-rata mata pelajaran IPA adalah 5,00. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika lebih rendah daripada hasil belajar mata pelajaran lain.
Berdasarkan laporan Pengolahan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2012/ 2013, diketahui persentase penguasaan materi soal matematika untuk kemampuan
(22)
memahami konsep kesebangunan, sifat & unsur bangun datar, serta konsep hubungan antar sudut dan atau garis, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah memperoleh 41,62% untuk SMP Negeri 41 Semarang. Jika dibandingkan dengan perolehan nilai kota Semarang yaitu 59,76%, perolehan nilai SMP Negeri 41 Semarang masih terlihat sangat rendah padahal materi ini sangat penting karena sering berkaitan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penguasaan materi tentang geometri datar siswa SMP Negeri 41 Semarang masih rendah.
Kemampuan komunikasi matematis siswa juga masih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara pada hari Rabu tanggal 28 Januari 2015 kepada salah satu guru matematika kelas VII SMP Negeri 41 Semarang bahwa pada umumnya siswa kelas VII masih kesulitan menuangkan ide/ gagasan dalam pikirannya untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematika baik dalam bentuk lisan, maupun dalam bentuk tulisan. Dalam bentuk tulisan misalnya, siswa masih kesulitan untuk memahami maksud dari suatu permasalahan matematika sehingga siswa sulit untuk menuangkan ide dalam bahasa matematika. Selain itu, beberapa siswa masih ada yang tidak yakin dengan jawaban mereka sendiri. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 28 Januari 2015 menunjukkan bahwa ketika pembelajaran berlangsung, beberapa siswa masih ada yang bertanya jawaban kepada teman yang lain dan tidak berani bertanya maupun menjawab pertanyaan dari guru di depan kelas. Hal ini akan menghambat proses pembelajaran karena guru menjadi kesulitan untuk menganalisis siswanya sudah
(23)
benar-benar paham atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa percaya diri siswa juga masih rendah.
Masalah di atas disebabkan karena penggunaan model pembelajaran konvensional. Menurut Afriyani et al., (2014: 49), pembelajaran konvensional dengan komunikasi satu arah mengabaikan sifat sosial dalam belajar matematika dan juga mengganggu perkembangan matematika siswa sehingga untuk menyampaikan ide/ gagasan matematika siswa belum terlatih. Model yang digunakan oleh guru adalah model pembelajaran kooperatif dengan tipe Student Team Achievement Division (STAD) namun dalam praktiknya tipe pembelajaran ini belum sepenuhnya efektif untuk meningkatkan komunikasi matematis dan percaya diri siswa.
Oleh karena itu, dibutuhkan model, strategi, dan perangkat pendukung yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut yang salah satunya adalah model cooperatif learning. Dengan model ini diharapkan siswa melalui kegiatan berdiskusi akan lebih aktif untuk bertanya minimal kepada temannya sendiri untuk melatih percaya diri. Kemudian siswa diminta untuk mempresentasikan hasil pekerjaan kelompok di depan kelas untuk melatih mereka menyampaikan pendapat sedangkan kelompok lain menanggapi. Ada banyak strategi dalam model pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah strategi Think Talk Write.
Strategi Think Talk Write adalah strategi yang dikemukakan oleh Huinker & Laughlin (1996) yaitu Think, siswa diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk diamati dan diarahkan untuk berpikir matematis melalui komunikasi. Talk, siswa akan diarahkan untuk aktif berbicara dan berdiskusi untuk mengkomunikasikan
(24)
pemikiran matematisnya. Melalui tahap ini siswa diharapkan berlatih untuk percaya diri dalam menyampaikan pendapat di kelas. Write, hasil pemikiran siswa tersebut kemudian ditulis menggunakan bahasa matematika. Khusus untuk meningkatkan daya abstraksi siswa, diperlukan perangkat pendukung untuk suatu proses pembelajaran matematika yang dalam hal ini mengenai materi geometri yaitu alat peraga mandiri. Alat peraga mandiri yaitu alat peraga yang dibuat dan digunakan sendiri oleh siswa. Brunner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga) sehingga anak bisa memahami konsep geometri dengan baik. Strategi TTW juga diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu melalui kegiatan talk. Siswa diarahkan untuk dapat berkomunikasi aktif dengan sesama teman dalam suasana diskusi dan kemudian siswa presentasi di depan kelas. Percaya diri merupakan perilaku yang dapat terbentuk akibat sebuah kebiasaan sehingga perilaku percaya diri seharusnya dibiasakan supaya bisa menjadi karakter siswa pada generasi sekarang dan selanjutnya. Oleh karena itu, melalui strategi TTW yang didalamnya memuat penggunaan LKS dan alat peraga untuk membantu proses pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan membantu meningkatkan percaya diri siswa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriatin (2011:1) menunjukkan bahwa menerapkan strategi pembelajaran TTW (Think Talk Write) dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Hal ini didukung oleh Ansari dan Yamin sebagaimana dikutip dalam Fitriatin (2011:2) bahwa strategi TTW dapat meningkatkan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.
(25)
1.2
Batasan Masalah
Subjek penelitian ini adalah kelas VII SMP Negeri 41 Semarang dengan materi pokok jajargenjang dan belahketupat dengan penerapan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri terhadap komunikasi matematis dan percaya diri siswa. Komunikasi dalam matematika mencakup komunikasi secara tertulis maupun lisan. Dalam penelitian ini, komunikasi matematis yang dimaksud adalah komunikasi tertulis. Hal ini dikarenakan keterbatasan peneliti dan terbatasnya waktu yang digunakan untuk penelitian. Komunikasi matematis diukur menggunakan instrumen tes dan percaya dari siswa diukur menggunakan skala psikologi.
1.3
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Apakah rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri mencapai nilai minimal 75?
(2) Apakah rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih baik dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran konvensional?
(3) Apakah skor percaya diri siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih tinggi dari skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran konvensional?
(26)
1.4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Untuk mengetahui rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri mencapai nilai minimal 75.
(2) Untuk mengetahui rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih baik dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran konvensional.
(3) Untuk mengetahui skor percaya diri siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih tinggi dari skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran konvensional.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan pembelajaran matematika dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di masa yang akan datang melalui penggunaan strategi pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri.
1.5.2 Manfaat Praktis
(27)
(1) Bagi guru
Penelitian ini digunakan sebagai masukan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas dan dapat memberikan wawasan terhadap guru dan menjadi bahan referensi untuk melakukan pembelajaran menggunakan strategi TTW berbantuan alat peraga sehingga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dan percaya diri siswa.
(2) Bagi siswa
Melalui penerapan strategi TTW berbantuan alat peraga, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan percaya diri siswa.
(3) Bagi sekolah
Penerapan model pembelajaran yang berbeda menjadikan proses pembelajaran lebih bervariasi sehingga dapat meningkatkan mutu sekolah.
(4) Bagi Peneliti
Dapat menjadi pengalaman dalam melakukan penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai refleksi dalam melakukan proses pembelajaran ketika menjadi pengajar di masa yang akan datang.
1.6
Penegasan Istilah
1.6.1 Keefektifan
Efektif adalah pencapaian hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Jadi, keefektifan dapat diartikan sebagai suatu sarana untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dari suatu cara atau usaha tertentu sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Pembelajaran ini dikatakan efektif apabila memenuhi indikator sebagai berikut:
(28)
(1) rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri mencapai nilai minimal 75;
(2) rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih baik dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran konvensional; dan
(3) skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih tinggi dari skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran konvensional.
1.6.2 Model Pembelajaran Matematika
Menurut Hidayah (2011: 16), model pembelajaran adalah suatu tindakan pembelajaran yang mengikuti pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu (sintaks), yang harus diterapkan guru agar kompetensi atau tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai dengan cepat, efektif, dan efisien. Model pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah model Cooperative Learning. Di dalam ruang kelas, siswa diberi kesempatan diskusi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan atau memecahkan suatu permasalahan. Kemudian melalui diskusi kelompok kecil tersebut diharapkan siswa dapat menemukan pengetahuan baru. Pemilihan model Cooperative Learning tersebut cukup menarik, sehingga akan mempercepat kemampuan siswa untuk berpikir dan memperoleh pengetahuan baru karena seberapapun sulitnya soal atau masalah jika disampaikan
(29)
dengan model yang menarik, siswa akan cenderung lebih memperhatikan sehingga tercipta proses belajar yang efektif.
1.6.3 Strategi Pembelajaran
Menurut Hidayah (2011: 14), strategi pembelajaran adalah perencanaan dan tindakan yang cermat mengenai kegiatan pembelajaran agar kompetensi yang diharapkan tercapai. Strategi yang digunakan pada penelitian ini adalah strategi
Think Talk Write (TTW). Salah satu strategi yang dipopulerkan oleh Huinker dan Laughlin (1996). Strategi ini dibangun melalui aktivitas siswa berpikir secara individu terlebih dahulu (think), aktif menemukakan hasil pemikirannya dalam bentuk diskusi atau media yang lain (talk), serta mampu menyelesaikan hasil pemikiran dalam bentuk tulisan (write).
1.6.4 Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah menggunakan model pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru pada SMP Negeri 41 Semarang yaitu model pembelajaran kooperatif dengan tipe STAD (Student Team Achievement Division). Menurut Primaningtyas, (2009: 18) STAD adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Siswa dikelompokkan dalam kelompok beranggotakan empat sampai dengan enam. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim, kemudian siswa dikenai kuis dengan catatan saat kuis tidak boleh saling membantu.
1.6.5 Alat Peraga Mandiri
Menurut Sugiarto (2013 :8) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran,
(30)
perasaan, perhatian, dan kemauan siswa untuk belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang efektif serta menjadikan tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mudah. Salah satu manfaat dari media adalah untuk menciptakan komunikasi yang baik antara guru dan siswa. Sedangkan alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran. Alat peraga adalah media pembelajaran yang digunakan untuk membantu menanamkan konsep atau mengembangkan konsep abstrak, agar siswa mampu menangkap arti sebenarnya dari konsep tersebut (Suharjana, 2009: 3)
Berdasarkan pengertian media dan alat peraga diatas, dapat disimpulkan bahwa alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran yang digunakan sebagai alat bantu menanamkan konsep atau prinsip matematika. Dalam penelitian ini menggunakan alat peraga mandiri, artinya siswa membuat alat peraga sendiri sesuai dengan perintah yang diberikan oleh guru kemudian dipraktikkan sendiri di sekolah sebagai alat bantu menanamkan konsep matematika tentang materi segiempat.
1.6.6 Kemampuan Komunikasi Matematis
Menurut Davis, sebagaimana dikutip oleh Rakhmat (2005: 2), ahli-ahli sosial mengungkapkan bahwa kurangnya komunikasi menghambat perkembangan kepribadian. Oleh karena itu, sangatlah penting jika kita banyak belajar berkomunikasi. Dalam hal ini ditekankan pada komunikasi matematis, yang diharapkan dengan komunikasi ini siswa lebih mampu untuk menyampaikan ide atau gagasan terkait dengan matematika. Komunikasi matematis diartikan sebagai suatu peristiwa dialog atau saling berhubungan yang terjadi di lingkungan kelas,
(31)
dimana terjadi pengalihan pesan (Saputra, 2013: 2). Cara pengalihan pesan dilakukan bisa secara lisan maupun tertulis. Dalam penelitian ini komunikasi matematis yang dimaksud adalah komunikasi matematis dalam bahasa tulis.
1.6.7 Percaya Diri
Menurut Suhardita (2011: 130-131), percaya diri adalah keyakinan pada diri sendiri baik itu tingkah laku, emosi, dan kerohanian yang bersumber dari hati nurani untuk mampu melakukan segala sesuatu dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup agar hidup lebih bermakna. Dengan dibekali rasa percaya diri pada siswa akan menjadikan siswa berani bertanya dan proses belajar menjadi lebih efektif.
1.6.8 Materi Pokok Segiempat
Berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetesi Kelas VII SMP, materi segiempat merupakan materi yang harus dipelajari dan dikuasai oleh siswa. Siswa akan mempelajari materi segiempat diantaranya adalah jajargenjang dan belahketupat.
1.6.9 Ketuntasan Belajar
Ketuntasan belajar dapat dianalisis secara perorangan (individual) maupun secara kelas (klasikal). Kriteria paling rendah untuk menyatakan siswa telah mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) (Sudrajat, 2008: 3). Dalam penelitian ini, KKM individual siswa kelas VII pada mata pelajaran matematika adalah 75. Sedangkan KKM klasikal siswa kelas VII pada mata pelajaran matematika adalah 75% siswa dalam suatu kelas tuntas. Besaran KKM tersebut merupakan kriteria yang digunakan pada mata pelajaran
(32)
matematika kelas VII SMP Negeri 41 Semarang.
1.7
Sistematika Penulisan Skripsi
Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yakni bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir.
1.7.1 Bagian Awal
Pada bagian awal terdiri dari halaman judul, pernyataan keaslian tulisan, pengesahan, motto dan persembahan, prakata, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.
1.7.2 Bagian Isi
Bagian isi skripsi merupakan bagian pokok skripsi terdiri dari 5 bab, yaitu sebagai berikut.
BAB 1 : berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan skripsi.
BAB 2 : berisi tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari teori-teori yang mendukung dalam pelaksanaan penelitian, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis.
BAB 3 : berisi tentang metode penelitian yang terdiri dari metode penentuan subjek penelitian, variabel penelitian, desain penelitian, prosedur penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, metode analisis instrumen, dan metode analisis data.
BAB 4 : berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan yang memaparkan tentang hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.
(33)
BAB 5 : berisi tentang penutup yang mengemukakan simpulan hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan peneliti berdasarkan simpulan yang diperoleh.
1.7.3 Bagian Akhir
Pada bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang digunakan dalam penelitian.
(34)
15
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Belajar dan Pembelajaran
Menurut Hamalik (2001: 27), belajar merupakan suatu proses yang tidak hanya mengingat tetapi mengalami, bukan merupakan sebuah penguasaan hasil melainkan pengubahan kelakuan. Menurut Witherington, sebagaimana dikutip dalam Purwanto (2007: 84), mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, perilaku, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian. Selain itu, menurut Usman (2009: 5), belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungannya.
Sedangkan menurut Hidayah (2011: 14), pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuan siswa agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta siswa dengan siswa. Sedangkan menurut Smith (2009: 32) pembelajaran merupakan suatu proses perubahan sikap yang terjadi akibat dari suatu pengalaman.
Belajar dan pembelajaran merupakan sebuah proses yang tidak bisa dipisahkan. Belajar adalah proses berubahnya tingkah laku atau kepribadian individu dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tidak bisa menjadi bisa akibat dari pengalaman terdahulu untuk memperoleh pengetahuan baru.
(35)
Sedangkan pembelajaran, digunakan sebagai perencanaan untuk menciptakan proses belajar yang lebih menyenangkan dan kondusif.
Menurut Husamah & Setyaningrum (2013: 188) berikut merupakan karakter belajar yang sering disebut dengan 4C.
(1) Communication
Pada karakter ini, siswa dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia. Siswa diberikan kesempatan untuk menguraikan idenya dalam diskusi maupun ketika komunikasi dengan guru.
(2) Collaboration
Pada karakter ini siswa menunjukkan kemampuannya dalam kerja sama berkelompok dan kepemimpinan serta beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggung jawab.
(3) Critical Thinking and Problem Solving
Pada karakter ini siswa berusaha untuk memberikan penalaran yang masuk akal dalam memahami dan membuat pilihan yang rumit serta berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dengan mandiri.
(4) Creativity and Innovation
Pada karakter ini siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain.
Menurut Gagne, sebagaimana dikutip dalam Dimyati & Mudjiono (2002: 12-13) belajar terdiri dari tiga tahap yang meliputi 9 fase belajar. Adanya tahap dan fase belajar tersebut mempermudah guru dalam melakukan pembelajaran.
(36)
Hubungan antara fase belajar dan acara pembelajaran tersebut diuraikan dalam Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Hubungan Antara Fase Belajar dan Acara Pembelajaran
Perian Fase Belajar Acara Pembelajaran
Persiapan untuk belajar
1. Mengarahkan perhatian Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus.
2. Ekspektasi Memberitahu siswa mengenai tujuan belajar.
3. Retrival (informasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja)
Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar sebelumnya.
Pemerolehan dan unjuk perbuatan
4. Persepsi selektif atas sifat stimulus.
Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya.
5. Sandi semantik Memberikan bimbingan belajar.
6. Retrival dan respons Memunculkan perbuatan siswa.
7. Penguatan Memberikan balikan
informatif. Retrival dan alih
belajar
8. Pengisyaratan Menilai perbuatan siswa. 9. pemberlakuan secara
umum
Meningkatkan retensi dan alih belajar.
2.1.2 Teori yang Mendukung
Terdapat beberapa macam teori belajar yang melandasi model pembelajaran kooperatif dengan strategi pembelajaran TTW berbantuan alat peraga antara lain sebagai berikut.
2.1.2.1Teori Belajar Vygotsky
Menurut Belajar (2000: 13), interaksi individu dengan orang lain merupakan salah satu faktor pemicu perkembangan kognitif seseorang. Seseorang
(37)
akan lebih cepat berkembang kemampuan kognitifnya jika dapat mudah berinteraksi dengan orang lain. Interaksi tersebut dapat berupa kegiatan berdiskusi antara siswa yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu akan muncul ide-ide baru akibat pemikiran yang berbeda dari masing-masing siswa.
Perkembangan kognitif dan kemampuan menggunakan pemikiran untuk mengendalikan tindakan-tindakan kita sendiri pertama-tama memerlukan penguasaan sistem komunikasi budaya dan kemudian belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk megatur proses pemikiran kita sendiri (Slavin, 2008: 60).
Zone of proximal development adalah perkembangan tidak jauh dari perkembangan seseorang saat ini. Fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerja sama antar individu, sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 2008: 60)
Konsep dasar dari teori ini menurut Husamah & Setyaningrum (2013: 50-51) adalah bahwa perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar memecahkan masalah dengan orang lain, terutama orang tua, saudara kandung, dan teman sebaya. Pada awalnya orang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab membimbing pemecahan masalah, tapi kemudian tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh yang bersangkutan. Interaksi inilah yang akan memberikan kontribusi terhadap perkembangan intelektual individu.
Berdasarkan teori Vygotsky tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses percakapan atau dialog antar teman dapat meningkatkan perkembangan kognitif siswa. Hal ini sesuai dengan model pembelajaran yang akan diterapkan dalam
(38)
penelitian ini yaitu model cooperative learning. Model ini memfasilitasi siswa untuk saling berdiskusi dalam kelompok-kelompok, sehingga siswa akan cepat memperoleh pengetahuan baru. Teori ini juga sebagai pendukung aktivitas strategi TTW dalam tahap talk, yaitu siswa mengkomunikasikan untuk menyatukan pemahaman dengan cara berbicara. Melalui strategi ini diharapkan kemampuan komunikasi matematis siswa akan meningkat.
2.1.2.2Teori Belajar Konstruktivisme
Konsep belajar menurut teori ini adalah bahwa pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh siswa secara aktif berdasarkan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (Husamah & Setyaningrum, 2013: 55). Menurut teori pembelajaran ini siswa diberi kesempatan untuk mengingat kembali pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya, kemudian secara aktif siswa berusaha untuk mengaitkan dengan pengetahuan baru, sehingga muncul ide atau gagasan baru hasil dari pemikirannya sendiri.
Dengan melalui pembelajaran konstruktivisme, siswa diharapkan menjadi individu yang penuh dengan percaya diri, yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
(1) Bersikap terbuka dalam menerima pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui;
(2) Percaya diri sehingga dapat bersikap secara tepat dalam menghadapi segala hal;
(3) Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala hal; dan (4) Kreatif dalam mencari pemecahan masalah.
(39)
Teori ini sesuai dengan aktivitas strategi TTW dalam tahap think, yaitu siswa membaca materi yang sudah dikemas untuk memahami kontennya. Dalam proses memahami, siswa diberi kesempatan untuk berpikir terlebih dahulu menemukan ide/gagasan mereka secara individu, kemudian ide/gagasan tersebut disampaikan dalam diskusi kelompok. Saat diskusi kelompok, siswa berpikir kembali menyamakan ide/gagasan mereka menggunakan alat peraga mandiri. Sikap percaya diri diharapkan dapat dilatih melalui kegiatan menyampaikan pendapat dalam diskusi kelompok maupun dalam presentasi hasil diskusi di depan kelas.
2.1.2.3Teori Bruner
Menurut Suherman et al., (2003: 43), Teori Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga itu anak bisa melihat langsung bagaimana pola benda yang diamati kemudian dihubungkan dengan keterangan
intuitif yang telah melekat pada dirinya. Penggunaan alat peraga sangat membantu anak dalam menghubungkan konsep yang sudah dimiliki sebelumnya dengan konsep yang akan dibangun.
Menurut Belajar (2000: 15-16), terdapat tiga tahap teori Bruner yang harus dilalui agar proses belajarnya dapat terjadi secara optimal yaitu tahap enaktif,
ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan matematika dengan menggunakan benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata bagi para siswa. pada tahap ikonik, para siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai perwujudan dari
(40)
kegiatan yang menggunakan benda konkret, dan pada tahap simbolik, siswa mulai belajar dimana pengetahuan diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak.
Teori Bruner ini sangatlah cocok karena pada penelitian ini menggunakan bantuan alat peraga mandiri. Artinya, siswa belajar dengan mengamati alat peraga yang dibuatnya sendiri kemudian pada saat pembelajaran berlangsung, siswa menggunakan alat peraga yang sudah dibuatnya. Siswa diarahkan untuk belajar mengamati benda nyata terlebih dahulu untuk mengkonstruk pengetahuan, kemudian menggunakan diagram atau gambar, dan yang terakhir menggunakan dalam bentuk simbol supaya siswa memperoleh pengetahuan. Konsep abstrak pada matematika menjadi alasan mengapa penggunaan alat peraga matematika perlu dilakukan. Selain konsepnya yang abstrak, juga karena sebagian orang mengatakan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit, sehingga diperlukan inovasi pembelajaran yang bisa membangkitkan semangat dan rasa ingin tahu siswa yaitu dengan bermain menggunakan alat peraga.
2.1.2.4Teorema Van Hiele
Menurut Suherman et al., (2003: 51), Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Van Hiele menyatakan bahwa ada 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri sebagai berikut.
(1) Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu.
(41)
(2) Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya dan mampu menyebutkan keteraturan pada benda geometri tersebut.
(3) Tahap Pengurutan (Deduksi Informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu menarik kesimpulan yang biasa disebut berpikir deduktif, tetapi kemampuan ini belum berkembang sepenuhnya. (4) Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal umum ke hal yang khusus.
(5) Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap ini merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks.
Menurut teori Van Hiele tersebut, diharapkan anak bisa berkembang kemampuan kognitifnya dari tahap pengenalan sampai dengan tahap akurasi. Sehingga kemampuan untuk menyerap materi tentang geometri menjadi lebih baik. Dalam penelitian ini, penggunaan alat peraga mandiri adalah sebagai pendukung dari implementasi teori ini. Siswa terlebih dahulu mengetahui bangun geometri dengan cara mengamati kemudian mencoba menggunakan alat peraga sehingga konsep geometri dapat diterima dengan mudah.
(42)
2.1.3 Model Pembelajaran
Menurut Mulyatiningsih (2010: 1), model pembelajaran merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyelenggaraan proses belajar mengajar dari awal sampai akhir. Sedangkan menurut Hidayah (2011: 15-16), model pembelajaran adalah suatu tindakan pembelajaran yang mengikuti pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu (sintaks), yang harus diterapkan guru agar kompetensi atau tujuan belajar yang diharapkan akan tercapai dengan cepat, efektif, dan efisien. Menurut Suprijono (2009: 46) model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial.
Menurut definisi diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah pedoman dalam merencanakan penyelenggaraan proses belajar mengajar yang mengikuti langkah-langkah pembelajaran tertentu (sintaks) agar kompetensi atau tujuan belajar dapat tercapai dengan cepat, efektif, dan efisien. Pada penelitian ini, model pembelajaran yang digunakan adalah model cooperatif learning.
2.1.3.1Model Cooperatif Learning
Pengertian model Cooperatif Learning yaitu model pembelajaran yang menekankan pada kehadiran suatu kelompok kecil teman sebaya yang saling berinteraksi satu sama lain dalam satu tim untuk menyelesaikan suatu permasalahan bersama dalam satu tujuan. Selain itu, menurut Winayawati et al., (2012: 66), model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antarsiswa untuk mencapai tujuan
(43)
pembelajaran. Sedangkan menurut Sanjaya sebagaimana dikutip oleh Rusman (2014: 203) model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang memberikan peluang kepada siswa untuk saling bekerjasama dalam suatu kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda untuk mecapai tujuan pembelajaran.
Ada beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam Cooperatif Learning agar siswa bekerja secara Cooperatif yaitu sebagai berikut.
(1) Siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai.
(2) Siswa harus menyadari bahwa yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan berhasil tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok.
Untuk mencapai hasil maksimum, siswa harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya. (Suherman et al., 2003: 260). Roger dan Johnson dalam Suprijono, (2010: 58) mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan, yaitu sebagai berikut: (1) positive interdependence (saling
(44)
ketergantungan positif); (2) personal responsibility (tanggung jawab perseorangan); (3) face to face promotive interaction (interaksi promotif); (4)
interpersonal skill (komunikasi antaranggota); dan (5) group processing
(pemrosesan kelompok).
Model pembelajaran kooperatif menurut para ahli pendidikan dianjurkan untuk digunakan dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (1995) sebagaimana dikutip oleh Rusman (2014: 205-206) yaitu menghasilkan sebagai berikut.
(1) Penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan social, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain.
(2) Pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman.
2.1.3.2Langkah-Langkah Model Cooperatif Learning
Menurut Rusman, (2014: 211) terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif, yaitu pembelajaran dimulai dengan guru menyampaiakan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar; penyajian informasi; siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar; bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk meyelesaikan tugas bersama mereka; evaluasi; dan penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Penjabarannya adalah sebagai berikut.
(45)
Tabel 2.2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
TAHAP TINGKAH LAKU GURU
Tahap 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan menekankan pentingnya topik yang akan dipelajari dan memotivasi siswa belajar.
Tahap 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau melalui bahan bacaan.
Tahap 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efisien.
Tahap 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Tahap 5 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Tahap 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
2.1.4 Strategi Pembelajaran
Strategi adalah suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran atau dalam hal ini adalah tujuan pembelajaran yang telah ditentukan (Iskandarwassid & Sunendar, 2008: 3). Sedangkan menurut Kemp (1995) sebagaimana dikutip oleh Rusman, (2014: 132) strategi pembelajaran adalah kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.
(46)
Menurut Wena (2009: 5), variabel strategi pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
(1) strategi pengorganisasian (organizational strategy), (2) strategi penyampaian (delivery strategy), dan (3) strategi pengelolaan (management strategy)
Berdasarkan pengertian-pengertian strategi pembelajaran tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi adalah cara-cara yang digunakan untuk mencapai sasaran yang dalam hal ini mencapai hasil pembelajaran yang berbeda sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
2.1.4.1Strategi Pembelajaran TTW (Think Talk Write)
Strategi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran TTW (Think Talk Write). Strategi ini dikenalkan oleh Huinker & Laughin (1996) yaitu bahwa strategi TTW memungkinkan siswa untuk berbicara mengemukakan ide dibalik pemikiran mereka sebelum mereka menulis. Ketika mereka diberi kesempatan untuk banyak bicara siswa akan menemukan makna yang kemudian dengan makna tersebut, siswa bisa menulis. Strategi Think Talk Write memiliki tiga aktivitas, yaitu Think, Talk, dan Write (Sunyoto & Fitriatien, 2011: 3). Strategi ini diawali dengan siswa membaca materi yang sudah dikemas untuk memahami kontennya (think), kemudian siswa mengkomunikasikan untuk menyatukan pemahaman dengan cara berbicara (talk), dan selanjutnya adalah siswa berdiskusi kemudian hasil diskusinya tersebut ditulis dalam bentuk rangkuman (write) (Winayawati, 2012: 67). Sedangkan menurut Rahmawati (2013: 29-30), strategi TTW adalah suatu strategi pembelajaran dengan alur yang
(47)
dimulai dengan keterlibatan siswa dalam berpikir (think) atau berdialog dengan dirinya sendiri dengan proses membaca, selanjutnya berbicara (talk) dan membagi ide (sharing) dengan temannya sebelum menulis (write).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi TTW diawali dengan aktivitas siswa berpikir (think) kemudian siswa saling berbicara saling berdiskusi untuk menyamakan pendapat (talk) dan selanjutnya siswa menulis hasil diskusi dalam bentuk catatan (write).
2.1.4.2Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif dengan Strategi TTW Berbantuan Alat Peraga Mandiri
Menurut Yamin & Ansari (2009) sebagaimana dikutip oleh Yuanari (: 24) langkah-langkah pembelajaran dengan strategi TTW adalah sebagai berikut. (1) Guru membagi Lembaran Kegiatan Siswa (LKS) yang memuat situasi
masalah dan petunjuk serta prosedur pelaksanaannya.
(2) Siswa membaca teks dan membuat catatan dari hasil bacaan secara individual untuk dibawa ke forum diskusi (think).
(3) Siswa berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman untuk membahas isi catatan (talk). Guru berperan sebagai mediator lingkungan belajar.
(4) Siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan sebagai hasil kolaborasi (write). Berdasarkan uraian di atas, langkah-langkah model pembelajaran kooperatif dengan strategi TTW berbantuan alat peraga mandiri dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.
(48)
(2) Guru menyajikan informasi yaitu dengan membagikan LKS kepada siswa. (3) Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok dimana tiap kelompok
terdiri dari 3-5 orang siswa.
(4) Siswa mendiskusikan rangkaian pertanyaan pada LKS dengan menggunakan bantuan alat peraga mandiri yang sudah dibuat (talk).
(5) Guru membagikan LDK sebagai bahan diskusi selanjutnya kemudian siswa diberi kesempatan untuk berpikir menyelesaikan LDK secara mandiri (think). (6) Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi dan bertukar ide untuk
menyelesaikan soal-soal pada LDK (talk).
(7) Guru membimbing kelompok bekerja dan belajar kemudian mengingatkan siswa untuk menuliskan hasil diskusi secara individu (write).
(8) Siswa mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas sebagai bahan evaluasi kemudian guru memberikan penghargaan terhadap kelompok yang berani mempresentasikan hasil diskusi.
2.1.4.3Kekuatan Strategi Pembelajaran TTW
Menurut Rahmawati (2013: 27), strategi TTW mempunyai beberapa kelebihan yaitu sebagai berikut.
(1) Memberi kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan berkolaborasi membicarakan tentang penyelidikannya atau catatan-catatan kecil mereka dengan anggota kelompok
(49)
(3) Strategi ini berpusat pada siswa misalkan memberi kesempatan pada siswa dan guru berperan sebagai mediator lingkungan belajar. Guru memonitoring dan menilai partisipasi siswa terutama dalam sesi diskusi.
2.1.5 Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru matematika di SMP N 41 Semarang yaitu menggunakan model pembelajaran kooperatif learning dengan strategi Student Teams Achievement Divisions (STAD).
2.1.5.1Student Teams Achievement Divisions (STAD)
Salah satu pembelajaran kooperatif paling tua dan paling banyak diteliti adalah STAD. Menurut Slavin (2005: 143), STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Dalam STAD, siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat orang yang beragam kemampuan, jenis kelamin, dan sukunya. Guru memberikan suatu pelajaran dan siswa-siswa di dalam kelompok memastikan bahwa semua anggota kelompok itu bisa menguasai pelajaran. Kemudian siswa mengerjakan soal kuis secara individu. (Rusman, 2014: 213-214).
2.1.5.2Langkah-Langkah Pembelajaran STAD
Langkah-langkah pembelajaran STAD menurut Rusman (2005: 215) adalah sebagai berikut.
(50)
Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa untuk belajar.
(2) Pembagian kelompok
Siswa dibagi dalam kelompok dengan beranggotakan 4-5 orang siswa tiap kelompoknya yang memprioritaskan heterogenitas kelas dalam prestasi, jenis kelamin, rasa atau etnik.
(3) Presentasi dari guru
Guru menyampaikan materi pelajaran dengan terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan pentingnya pokok bahasan tersebut. (4) Kegiatan belajar dalam tim (kerja tim)
Siswa belajar dalam kelompok. Guru menyiapkan lembara kerja kelompok. Ketika siswa bekerja kelompok guru melakukan pengamatan, memberikan bimbingan, dorongan, dan bantuan jika diperlukan.
(5) Kuis (evaluasi)
Guru mengevaluasi hasil belajar melalui pemberian kuis tentang materi yang dipelajari dan juga melakukan penilaian terhadap presentasi hasil kerja masing-masing kelompok.
(6) Penghargaan prestasi tim
Setelah pelaksanaan kuis, guru memeriksa hasil kerja siswa dan memberikan penghargaan atas keberhasilan kelompok.
2.1.5.3Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran STAD
Menurut Slavin, (2005:17) pembelajaran kooperatif STAD mempunyai beberapa keunggulan yaitu sebagai berikut.
(51)
1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama. 3. Aktif berperan sebagai turor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan
kelompok.
4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatkan kemampuan mereka dalam berpendapat.
Sedangkan kelemahan pembelajaran kooperatif STAD adalah sebagai berikut.
1. Membutuhkan waktu yang lebih lama bagi siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum.
2. Membutuhkan waktu yang lebih lama bagi guru sehingga pada umumnya guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif
3. Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan pembelajaran kooperatif
4. Menuntut sifat tertentu dari siswa misalnya sifat suka bekerja sama.
2.1.6 Kemampuan Komunikasi Matematis
Menurut Asikin (2001: 1), sebagaimana dikutip dalam Risky (2012) komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling berhubungan yang terjadi dalam lingkup kelas dimana terjadi pengalihan pesan. Komunikasi dalam matematika mencakup komunikasi secara tertulis maupun lisan. Komunikasi secara lisan dapat berupa kata-kata, gambar, tabel, dan sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. Sedangkan komunikasi tertulis dapat
(52)
berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisasi berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah (Mahmudi, 2006: 177-178)
Menurut NCTM (2000: 348), komunikasi matematis memungkinkan semua siswa untuk: mengatur dan menggabungkan pemikiran dan ide matematis dengan cara mengkomunikasikannya, mengkomunikasikan pemikiran matematis mereka dengan logis dan jelas kepada teman sebaya, guru, dan orang lain, menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis orang lain, menggunakan bahasa matematis untuk mengungkapkan ide matematis dengan benar.
Menurut Tim PPG matematika (2005: 59), indikator yang menunjukkan kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut.
(1) Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram.
(2) Mengajukan dugaan.
(3) Melakukan manipulasi matematika.
(4) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi.
(5) Menarik kesimpulan dari pernyataan. (6) Memeriksa kesahihan atau argumen.
(7) Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Komunikasi matematis menurut Brenner (1998: 109), dapat terlihat sebagai tiga aspek yang dipisah yaitu sebagai berikut.
(1) Communication about mathematics
Merupakan proses dalam pengembangan kognitif individu, dalam hal ini siswa.
(53)
Dengan penggunaan bahasa dan simbol dalam menginterpretasikan matematika. Communication in mathematics mencakup dua kompetensi dasar yaitu sebagai berikut.
(a) Mathematical register, yaitu kemampuan siswa dalam menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika, melalui kata kata, sintaksis, maupun frase , secara lisan maupun tertulis.
(b) Representations, yaitu kemampuan siswa dalam menggambarkan atau menginterpretasikan ide, situasi, dan relasi matematika, melalui gambar benda nyata, diagram, grafik, ataupun secara geometris.
(3) Communication with mathematics
Menyangkut penggunaan matematika oleh siswa dalam menyelesaikan masalah.
Menurut Sumarmo (2006: 3-4), indikator komunikasi matematis atau komunikasi dalam matematika adalah sebagai berikut.
(1) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika.
(2) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematis secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar.
(3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam Bahasa atau simbol matematika. (4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.
(5) Membaca presentasi matematika tertulis dan menyusun pertanyaan yang relevan.
(54)
(6) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi.
Yang mendasari pemilihan indikator-indikator komunikasi matematis dalam penelitian ini adalah bahwa kemampuan komunikasi matematis yang ditekankan dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi tulis sehingga indikator yang dipilih adalah indikator yang sesuai dengan komunikasi tulis. Oleh karena itu, indikator komunikasi matematis secara tertulis adalah : (1) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika melalui sintaksis, maupun frase secara tertulis, (2) menggambarkan atau menginterpretasikan ide, situasi, dan relasi matematika melalui gambar benda nyata, diagram, grafik, ataupun secara geometris, (3) menarik kesimpulan terhadap beberapa solusi, dan (4) memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi. Apabila siswa sudah memiliki kemampuan sesuai dengan indikator-indikator tersebut, maka siswa tersebut dikatakan telah memiliki tingkat kemampuan komunikasi matematis yang baik.
2.1.7 Alat Peraga Mandiri
Menurut Suharjana (2009: 3) alat peraga adalah media pembelajaran yang digunakan untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep yang abstrak, agar siswa mampu menangkap arti sebenarnya dari konsep tersebut. Dengan melihat, meraba, dan memanipulasi objek/ alat peraga maka siswa mengalami pengalaman-pengalaman nyata dalam kehidupan tentang arti dari suatu konsep.
Adapun manfaat alat peraga dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut.
(55)
(1) Mempermudah dalam hal pemahaman konsep-konsep dalam matematika. (2) Memberikan pengalaman yang efektif bagi siswa dengan berbagai
kecerdasan yang berbeda.
(3) Memotivasi siswa untuk menyukai pelajaran matematika.
(4) Memberikan kesempatan bagi siswa yang lebih lamban berpikir untuk menyelesaikan tugas dengan berhasil.
(5) Memperkaya program pembelajaran bagi siswa yang lebih pandai. (6) Mempermudah abstraksi.
(7) Efisiensi waktu.
(8) Menunjang kegiatan matematika di luar sekolah (Suharjana, 2009: 4). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alat peraga mandiri adalah media pembelajaran yang berfungsi sebagai sumber belajar untuk membantu proses penanaman konsep dan proses abstraksi siswa yang dibuat secara mandiri oleh masing-masing siswa atau kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran.
2.1.8 Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
Lembar Kegiatan Siswa (LKS) merupakan salah satu sumber belajar yang berfungsi sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. LKS juga merupakan sebuah media pembelajaran, karena dapat digunakan secara bersama-sama dengan sumber belajar atau media pembelajaran yang lain (Widjayanti, 2008: 1).
Fungsi Lembar Kerja Siswa menurut Widjayanti (2008: 2) adalah sebagai berikut.
(56)
(1) Untuk mengarahkan pengajaran atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu sebagai kegiatan belajar mengajar.
(2) Dapat digunakan untuk mempercepat proses pengajaran dan menghemat waktu penyajian suatu topik.
(3) Membantu siswa dapat lebih aktif dalam proses belajar mengajar.
(4) Dapat membangkitkan minat siswa jika LKS disusun lebih baik, sistematis, dan menarik.
(5) Dapat menumbuhkan percaya diri pada siswa dan meningkatkan motivasi belajar dan rasa ingin tahu.
Penyusunan LKS harus memenuhi berbagai persyaratan yaitu syarat didaktik, syarat konstruksi, dan syarat teknik (Widjayanti: 2008: 2-5). Syarat-syarat didaktik penyusunan LKS adalah sebagai berikut: (a) mengajak siswa aktif dalam proses pembelajaran, (b) memberi penekanan pada proses untuk menemukan konsep, (c) memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan siswa sesuai dengan ciri KTSP, (d) dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral, dan estetika pada diri siswa, dan (e) pengalaman belajar ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi.
Syarat konstruksi penyusunan LKS adalah sebagai berikut: (a) menggunakan Bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan anak, (b) menggunakan struktur kalimat yang jelas, (c) memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak, (d) hindarkan pertanyaan yang terlalu terbuka, (e) tidak mengacu pada sumber yang di luar kemampuan keterbacaan siswa, (f) menyediakan ruangan yang cukup untuk memberi keluasaan pada siswa
(57)
untuk menulis maupun menggambarkan pada LKS, (g) menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek, (h) gunakan lebih banyak ilustrasi daripada kata-kata, (i) dapat digunakan oleh anak-anak, baik yang lamban maupun yang cepat, (j) memiliki tujuan yang jelas serta bermanfaat sebagai sumber motivasi, dan (k) mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya.
Syarat teknis penyusunan LKS adalah sebagai berikut: (a) gunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf latin atau romawi, gunakan huruf tebal yang agak besar untuk topik, bukan huruf biasa yang diberi garis bawah, gunakan kalimat pendek, tidak boleh lebih dari 10 kata dalam satu baris, gunakan bingkai untuk membedakan kalimat perintah dengan jawaban siswa, usahakan agar perbandingan besarnya huruf dengan besarnya gambar serasi, (b) gambar yang baik untuk LKS adalah gambar yang dapat menyampaikan pesan/ isi dari gambar tersebut secara efektif kepada pengguna LKS, dan (c) penampilan sangat penting dalam LKS karena biasanya anak pertama-tama akan tertarik pada penampilan bukan pada isinya.
2.1.9 Materi pokok
Menurut BSNP (2006: 142), kompetensi dasar mata pelajaran matematika kelas VII kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) materi segitiga dan segiempat adalah sebagai berikut.
6.2Mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang, belahketupat, dan layang-layang.
6.3Menghitung keliling dan luas bangun segitiga dan segiempat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah.
(58)
(1) Jajargenjang
(a) Pengertian Jajargenjang
Jajargenjang adalah segiempat yang sepasang-sepasang sisinya yang berhadapan sejajar (Panitia Sertifikasi Guru Rayon XII, 2009: 4-15). (b) Sifat-sifat Jajargenjang
Gambar 2.1 Sifat 1 (sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar)
, sebab BD = BD (berimpit)
( )
( )
―theorem 8-2: the opposite sides of a parallelogram are congruent.‖
(Clemens, et al.,1984: 264)
Gambar 2.2 Sifat 2 (sudut-sudut yang berhadapan sama besar)
, sebab
A B
C D
1
1 2 2
A B
C D
1
1 2 2
(59)
BD = BD (berimpit)
( )
( )
.
―theorem 8-1: the opposite angles of a parallelogram are congruent.‖
(Clemens, et al., 1984: 264)
Gambar 2.3 Sifat 3 (jumlah pasangan sudut yang saling berdekatan adalah )
Pada jajargenjang ABCD tersebut dan . Sehingga dapat dituliskan (sudut dalam sepihak) dan
(sudut dalam sepihak).
―theorem 8-3: each pair of adjacent angles of a parallelogram are supplementary angles.‖ (Clemens et al., 1984: 265)
Gambar 2.4 Sifat 4 (kedua diagonalnya membagi dua sama panjang) AB = DC (ABCD jajargenjang)
( )
A B
C D
A B
C D
1
1 2 2
1 1
1 2
2
2 4
(60)
( )
(c) Keliling jajargenjang
Keliling bangun datar adalah jumlah panjang sisi-sisinya. Sehingga keliling jajargenjang (d) Luas jajargenjang
Jajargenjang mempunyai alas (a) dan tinggi (t), sehingga luasnya adalah
Gambar 2.5 Jajargenjang
(2) Belahketupat
(a) Pengertian belahketupat
Gambar 2.6 Belahketupat O
A B
C D
A B
C D
(61)
Belahketupat adalah jajargenjang yang 2 sisi berdekatan sama panjang (Panitia Sertifikasi Guru Rayon XII, 2009: 4-19).
(b) Sifat-sifat belahketupat
Gambar 2.7 Sifat belahketupat
Belahketupat adalah jajargenjang yang 2 sisi berdekatan sama panjang. Akibatnya (Sifat semua sisi belahketupat sama panjang).
Selanjutnya perhatikan diagonal dan pada belahketupat ABCD. Jika belahketupat ABCD tersebut dilipat menurut ruas garis , dan dapat saling menutupi secara tepat (berimpit). Oleh karena itu,
̅̅̅̅ adalah sumbu simetri. Selanjutnya jika ABCD tersebut dilipat menurut ruas garis , dan dapat saling menutupi secara tepat (berimpit). Oleh karena itu, ̅̅̅̅ adalah sumbu simetri. (Sifat kedua diagonal pada belahketupat merupakan sumbu simetri).
Putarlah belahketupat ABCD sebesar setengah putaran dengan pusat titik O, sehingga dan . Oleh karena itu, dan
. Sehingga (Sifat kedua diagonal belahketupat saling membagi dua sama panjang dan saling berpotongan
O
A B
C D
(62)
tegak lurus). ―theorem 8-10: a parallelogram is a rhombus if and only if its diagonals are perpendicular to each other.‖ (Clemens, et al., 1984: 283)
Apabila belahketupat ABCD berturut-turut dilipat menurut garis diagonalnya, maka akan terbentuk bangun segitiga yang saling menutup. Hal ini berarti dan . (Sifat pada setiap belahketupat sudut-sudut yang berhadapan sama besar dan dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya). ―theorem 8-11: a parallelogram is a rhombus if and only if each diagonal bisects a pair of opposite angles.‖ (Clemens, et
al., 1984: 283)
(c) Keliling belahketupat
Jika belahketupat mempunyai panjang sisi s maka keliling belahketupat adalah
(d) Luas belahketupat
Luas belahketupat ABCD = Luas + Luas
(63)
2.1.10 Kriteria Ketuntasan Minimal
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus) yang merupakan kriteria ketuntasan ideal. Sedangkan target ketuntasan nasional yang diharapkan adalah 75. Satuan pendidikan dapat memulainya dari target ketuntasan minimal nasional untuk kemudian dinaikkan secara bertahap (Sudrajat, 2008: 3). KKM yang digunakan dalam penelitian ini adalah 75 sesuai dengan KKM yang ditentukan oleh SMP Negeri 41 Semarang.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan kriteria ketuntasan minimal menurut (Sudrajat, 2008: 6-8) adalah sebagai berikut.
(1) Tingkat kompleksitas, kesulitan/ kerumitan setiap indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Semakin kompleks KD maka nilai semakin rendah, begitu pla sebaliknya semakin mudah KD, semakin tinggi nilainya.
(2) Kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing sekolah. Semakin tinggi daya pendukung, semakin tinggi nilainya.
(3) Tingkat kemampuan awal (intake) rata-rata siswa di sekolah yang bersangkutan. Semakin tinggi intake, semakin tinggi nilainya.
2.1.11 Percaya diri
Percaya diri adalah suatu perilaku yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa. Dengan rasa percaya diri, siswa akan lebih aktif bertanya maupun menjawab pertanyaan sehingga pengetahuan yang belum mereka ketahui dapat mereka peroleh dengan mudah. Menurut Tanaka (2014: 21-22) percaya diri adalah
(64)
perasaan percaya terhadap kemampuan yang dimiliki diri sendiri serta paham terhadap kelemahan dan kelebihan diri sendiri yang dibentuk dan dipelajari melalui proses belajar dengan tujuan untuk kebahagiaan dirinya yang dalam hal ini berkaitan dengan penguasaan kemampuan komunikasi. Penyampaian ide atau gagasan dalam proses pembelajaran juga membutuhkan rasa percaya diri, oleh karena itu rasa percaya diri siswa harus dilatih sedini mungkin agar terbentuk jiwa yang percaya pada kemampuan diri sendiri dan mampu berpendapat.
Berdasarkan uraian di atas, indikator-indikator percaya diri yang ditekankan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu favorable dan
unfavorable. Berikut indikator favorable tersebut yaitu (1) mengarahkan atau memerintah orang lain, (2) menggunakan kualitas suara yang disesuaikan dengan situasi, (3) mengekspresikan pendapat, (4) duduk dengan orang lain dalam aktivitas sosial, (5) bekerja secara kooperatif dalam kelompok, (6) memandang lawan bicara ketika mengajak atau diajak bicara, (7) menjaga kontak mata selama pembicaran berlangsung, (8) memulai kontak yang ramah dengan orang lain, (9) menjaga jarak yang sesuai antara diri sendiri dengan orang lain, dan (10) berbicara dengan lancar, hanya mengalami sedikit keraguan (Santrock, 2003: 338). Sedangkan indikator unfavorable skala psikologi tentang perilaku percaya diri diantaranya adalah (1) merendahkan orang lain dengan cara menggoda memberi nama panggilan, dan menggosip, (2) menggerakkan tubuh secara dramatis atau tidak sesuai konteks, (3) melakukan sentuhan yang tidak sesuai atau menghindari kontak fisik, (4) memberikan alasan-alasan ketika gagal melakukan sesuatu, (5) melihat sekeliling untuk memonitor orang lain, (6) membual secara berlebihan
(65)
tentang prestasi, keterampilan, penampilan fisik, (7) merendahkan diri secara verbal, depresiasi diri, (8) berbicara terlalu keras, tiba-tiba, atau dengan nada suara yang dogmatis, (9) tidak mengekspresikan pandangan atau pendapat, terutama ketika ditanya, dan (10) memposisikan diri secara submisif. (Santrock, 2003: 338).
2.2
Penelitian yang Relevan
(1) Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Rasa Percaya Diri Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Minggir Sleman Melalui Strategi Think-Talk-Write (TTW) (Widiastuti, 2011 Program Studi Pendidikan Matematika UNY)
(2) Pembelajaran Matematika dengan Strategi TTW (Think Talk Write) Berbasis
Learning Journal Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Matematis Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VIII (Edy Suyanto, 2012 Program Pasca Sarjana Unnes)
2.3
Kerangka Berpikir
Diketahui rata-rata nilai ujian nasional matematika SMP Negeri 41 Semarang lebih rendah dari mata pelajaran lain. Sedangkan persentase penguasaan materi soal matematika untuk kemampuan memahami konsep kesebangunan, sifat & unsur bangun datar, serta konsep hubungan antar sudut dan atau garis, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah SMP Negeri 41 Semarang juga masih rendah dibandingkan rata-rata perolehan nilai kota semarang. Pada umumnya siswa kelas VII masih kesulitan menuangkan ide/ gagasan dalam pikirannya untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematika
(66)
baik dalam bentuk lisan, maupun dalam bentuk tulisan. Siswa masih kesulitan untuk memahami maksud dari suatu permasalahan matematika sehingga siswa sulit untuk menuangkan ide dalam bahasa matematika. Selain itu, siswa juga belum terbiasa menyelesaikan soal dengan percaya diri. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis dan rasa percaya diri siswa masih rendah.
Oleh karena itu, dibutuhkan model, strategi, dan perangkat pendukung yang sesuai untuk mengatasi permasalah tersebut, yaitu model yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan percaya diri siswa. Model yang sesuai adalah model cooperatif learning. Dengan kegiatan berdiskusi dalam model ini diharapkan siswa akan menjadi lebih aktif untuk bertanya minimal kepada temannya sendiri. Kemudian siswa diminta untuk mempresentasikan hasil pekerjaan kelompok di depan kelas untuk melatih percaya diri mereka menyampaikan pendapat sedangkan kelompok lain menanggapi. Ada banyak strategi dalam model pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah strategi Think Talk Write.
Strategi Think Talk Write adalah strategi dengan tiga tahapan yaitu Think, siswa diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk diamati dan diarahkan untuk berpikir matematis melalui komunikasi. Talk, siswa akan diarahkan untuk aktif berbicara dan berdiskusi untuk mengkomunikasikan pemikiran matematisnya. Melalui tahap ini siswa diharapkan berlatih untuk percaya diri dalam menyampaikan pendapat dan presentasi di depan kelas. Write, hasil pemikiran siswa tersebut kemudian ditulis menggunakan bahasa matematika. Khusus untuk
(67)
meningkatkan daya abstraksi siswa, diperlukan perangkat pendukung untuk suatu proses pembelajaran matematika yang dalam hal ini mengenai materi geometri yaitu alat peraga mandiri. Alat peraga mandiri yaitu alat peraga yang dibuat dan digunakan sendiri oleh siswa. Brunner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Strategi TTW juga diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu melalui kegiatan talk. Siswa diarahkan untuk dapat berkomunikasi aktif dengan sesama teman dalam suasana diskusi dan ketika presentasi di depan kelas. Percaya diri merupakan perilaku yang dapat terbentuk akibat sebuah kebiasaan sehingga perilaku percaya diri seharusnya dibiasakan supaya bisa menjadi karakter siswa pada generasi sekarang dan selanjutnya. Oleh karena itu, melalui model pembelajaran kooperatif dengan strategi TTW yang didalamnya memuat penggunaan LKS dan alat peraga diharapkan dapat membantu proses pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan membantu meningkatkan percaya diri siswa.
2.4
Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang yang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri mencapai nilai minimal 75.
(2) Rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri
(68)
lebih baik dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan pembelajaran konvensional.
(3) Skor percaya diri siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih tinggi dari skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran konvensional.
(1)
Lampiran 44
UJI HIPOTESIS 3
1. Hipotesis
: Tidak terdapat perbedaan skor percaya diri siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang antara penggunaan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri dan menggunakan pembelajaran konvensional
: Terdapat perbedaan skor percaya diri siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang antara penggunaan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri dan penggunaan pembelajaran konvensional dimana skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri akan lebih tinggi
2. Rumus yang digunakan
dan
Tes signifikansi untuk ukuran sampel lebih dari 20 adalah menggunakan harga kritik z yaitu dengan rumus.
(2)
3. Kriteria Pengujian
Terima , dimana didapat dari daftar tabel kurva normal z dan peluang (Soepono, 1997: 195).
4. Perhitungan
Uji Mann Whitney U Test
Sehingga nilai z adalah
√
√
Berdasarkan distribusi tabel z diperoleh . Karena
, maka ditolak. Jadi, Terdapat
perbedaan skor percaya diri siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang antara penggunaan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri dan penggunaan pembelajaran konvensional dimana skor percaya diri siswa menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri akan lebih tinggi.
(3)
(4)
Lampiran 46
DOKUMENTASI
Gambar 1 Kegiatan siswa berpikir (think)
Gambar 2 Kegiatan siswa berdiskusi (talk) Gambar 3 Kegiatan siswa presentasi
(5)
Gambar 1 Kegiatan guru menjelaskan materi
Gambar 2 Kegiatan siswa beriskusi
(6)
Gambar Kegiatan Siswa Tes Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen
Gambar Kegiatan Siswa Tes Komunikasi Matematis Kelas Kontrol