1. Bagi siswa yang tidak menyukai pelajaran matematika, pelaksanaan kuis di awal hasilnya kurang memuaskan, karena minat siswa mengerjakan soal
rendah. 2. Bagi siswa yang belum dapat bekerja sama dengan teman satu tim dan tidak
bisa mengerjakan, maka siswa tersebut akan tertinggal dari yang lainnya. 3. Apabila dalam satu kelompok tidak ada yang pandai, maka seluruh anggota
kelompok mendapatkan kesulitan dalam memecahkan masalah. 4. Siswa yang pandai merasa tidak adil karena beban mengerjakan soal
dilimpahkan hanya kepada siswa yang pandai.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hasil Komunikasi Matematis
Hasil tes komunikasi matematis siswa diukur menggunakan hasil posttest. Rata-rata kelas eksperimen adalah 80,4 sedangkan rata-rata kelas kontrol adalah
70,19. Berdasarkan kedua hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen mencapai nilai minimal 75,
sedangkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas kontrol belum mencapai nilai minimal 75. Hal ini menurut peneliti diakibatkan karena beberapa
faktor sebagai berikut. 1. Kegiatan diskusi pada kelas eksperimen diawali dengan siswa mengerjakan
soal diskusi secara individu terlebih dahulu sehingga ketika diskusi berlangsung, mereka mempunyai bahan untuk saling bertanya dan
menyamakan persepsi terhadap jawaban suatu soal, sedangkan diskusi pada kelas kontrol tidak memberikan kesempatan siswa mengerjakan sendiri
terlebih dahulu sehingga beberapa siswa yang kurang bisa mengerjakan kurang bersemangat untuk mengerjakan dan pada akhirnya yang mengerjakan
hanya yang pandai saja akibatnya beberapa siswa mendapatkan hasil yang kurang baik ketika tes individu dilangsungkan.
2. Terjadi kurang antusiasme siswa karena strategi pembelajaran pada kelas kontrol dilakukan seperti biasanya sehingga mereka cenderung untuk tidak
memperhatikan apa yang disampaikan teman-temannya ketika maju mempresentasikan jawaban di depan kelas. Akibat dari tidak memperhatikan
itu juga menimbulkan beberapa siswa malas untuk mencatat jawaban yang sudah dikonfirmasi benar, sehingga hal ini juga turut mempengaruhi hasil
pada tes komunikasi matematis. 3. Pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan alat peraga mandiri,
sehingga masing-masing siswa selain dapat menggunakan alat peraga juga dapat mengonstruksi pengetahuan yang dimiliki dengan konsep yang
dijelaskan melalui penggunaan alat peraga. Sedangkan pada kelas kontrol alat peraga diperagakan oleh guru dan beberapa siswa saja yang diberi
kesempatan untuk menggunakan sehingga siswa yang tidak pernah menggunakan alat peraga beberapa masih kesulitan untuk memahami konsep
jajargenjang dan belahketupat akibatnya hasil posttest pada kelas kontrol lebih rendah dari kelas eksperimen.
Penggunaan alat peraga mandiri pada kelas eksperimen sangat membantu dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Selain mendukung terlaksananya
pembelajaran kooperatif dengan strategi TTW juga sebagai sarana untuk melatih perilaku percaya diri siswa.
Berikut disajikan beberapa kelebihan dari penggunaan alat peraga mandiri berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan.
1. Siswa menjadi lebih terampil dalam membuat bangun-bangun geometri. 2. Guru menjadi lebih mudah dalam menyampaikan materi.
3. Pengetahuan siswa akan konsep geometri terbangun dengan baik. 4. Siswa menjadi semakin percaya diri bertanya dan mengerjakan soal-soal
secara individu. Hal ini diperkuat dengan hasil Uji hipotesis I yang menujukkan bahwa
pada kelas eksperimen, dan
dengan dan dk = 30. Karena
, maka H ditolak artinya rata-rata kemampuan
komunikasi matematis siswa kelas-VII SMP Negeri 41 Semarang menggunakan strategi Think Talk Write berbantuan alat peraga mandiri mencapai nilai minimal
75. Sedangkan berdasarkan perhitungan uji hipotesis 2 menunjukkan bahwa kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Hal ini dibuktikan dengan uji beda dua
rata-rata yang dilakukan peneliti yang hasilnya adalah diperoleh dan
dengan dan dk = 61. Karena , maka
H ditolak artinya rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas-VII
SMP Negeri 41 Semarang menggunakan pembelajaran TTW berbantuan alat peraga mandiri lebih dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa
menggunakan pembelajaran konvensional.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa tahap think, tahap talk, dan tahap write masing-masing memiliki andil besar dalam proses membentuk
konsep dan pengetahuan siswa. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurastiani dan Supriyono 2014: 112 bahwa TTW efektif
digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Menurut Suyanto 2012: 101 rata-rata kemampuan menulis matematis kelas yang
menggunakan strategi TTW berbasis learning journal lebih baik dibandingkan dengan kemampuan menulis matematis dengan metode konvensional.
Penggunaan alat peraga juga mempengaruhi kemampuan abstraksi siswa dalam hal geometri. Pengetahuan siswa akan mudah meningkat jika mereka tidak hanya
melihat atau membaca saja namun juga praktik yang mereka lakukan memberikan efek mengingat lebih lama. Menurut Suharjana 2009: 3 penggunaan alat peraga
adalah untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep yang abstrak agar siswa mampu menangkap arti sebenarnya dari konsep tersebut. Dengan
melihat, meraba dan memanipulasi alat peraga siswa akan mengalami pengalaman-pengalaman yang nyata dalam kehidupan tentang suatu konsep.
Menurut Shield dan Swinson sebagaimana dikutip dalam NCTM 1996 mengatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan
ide atau gagasan matematisnya dengan baik cenderung mempunyai pemahaman yang baik pula terhadap konsep yang dipelajari dan mampu memecahkan
permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang dipelajari. Artinya kemampuan matematis siswa dapat menjadi tolok ukur apakah dia memiliki kemampuan
pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah yang baik atau tidak.
4.2.2 Percaya Diri Siswa