Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Suherman et al. 2003: 25, matematika berperan sebagai ratu dan pelayan ilmu. Artinya, matematika adalah dasar dari pesatnya perkembangan ilmu-ilmu lain. Menurut Cockroft sebagaimana dikutip oleh Tim PPPG Matematika 2005: 66 siswa harus belajar matematika dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat dan berpengaruh, teliti dan tepat, dan tidak membingungkan. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan matematika dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran yang diwajibkan di sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat sekolah menengah atas. Salah satu cara yang dibutuhkan untuk mengenalkan mata pelajaran matematika kepada siswa adalah melalui pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan suatu negara. Melalui pendidikan, kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat meningkat. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan nasional tersebut tersirat bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mampu menyelesaikan masalah, mampu bernalar, dan mampu berkomunikasi matematis. Sehingga dengan mempelajari matematika, siswa akan belajar menyelesaikan masalah, bernalar, dan berkomunikasi matematis untuk keberhasilan proses pendidikan karena dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia belum sesuai dengan apa yang diharapkan khususnya dalam pendidikan mata pelajaran matematika. Berdasarkan data hasil ujian nasional SMP Negeri 41 Semarang tahun 20132014 menunjukkan bahwa rata-rata hasil ujian nasional mata pelajaran matematika adalah 4,46, rata-rata mata pelajaran bahasa indonesia adalah 7,05, rata-rata mata pelajaran bahasa inggris adalah 5,07, dan rata-rata mata pelajaran IPA adalah 5,00. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika lebih rendah daripada hasil belajar mata pelajaran lain. Berdasarkan laporan Pengolahan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2012 2013, diketahui persentase penguasaan materi soal matematika untuk kemampuan memahami konsep kesebangunan, sifat unsur bangun datar, serta konsep hubungan antar sudut dan atau garis, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah memperoleh 41,62 untuk SMP Negeri 41 Semarang. Jika dibandingkan dengan perolehan nilai kota Semarang yaitu 59,76, perolehan nilai SMP Negeri 41 Semarang masih terlihat sangat rendah padahal materi ini sangat penting karena sering berkaitan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penguasaan materi tentang geometri datar siswa SMP Negeri 41 Semarang masih rendah. Kemampuan komunikasi matematis siswa juga masih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara pada hari Rabu tanggal 28 Januari 2015 kepada salah satu guru matematika kelas VII SMP Negeri 41 Semarang bahwa pada umumnya siswa kelas VII masih kesulitan menuangkan ide gagasan dalam pikirannya untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematika baik dalam bentuk lisan, maupun dalam bentuk tulisan. Dalam bentuk tulisan misalnya, siswa masih kesulitan untuk memahami maksud dari suatu permasalahan matematika sehingga siswa sulit untuk menuangkan ide dalam bahasa matematika. Selain itu, beberapa siswa masih ada yang tidak yakin dengan jawaban mereka sendiri. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 28 Januari 2015 menunjukkan bahwa ketika pembelajaran berlangsung, beberapa siswa masih ada yang bertanya jawaban kepada teman yang lain dan tidak berani bertanya maupun menjawab pertanyaan dari guru di depan kelas. Hal ini akan menghambat proses pembelajaran karena guru menjadi kesulitan untuk menganalisis siswanya sudah benar-benar paham atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa percaya diri siswa juga masih rendah. Masalah di atas disebabkan karena penggunaan model pembelajaran konvensional. Menurut Afriyani et al., 2014: 49, pembelajaran konvensional dengan komunikasi satu arah mengabaikan sifat sosial dalam belajar matematika dan juga mengganggu perkembangan matematika siswa sehingga untuk menyampaikan ide gagasan matematika siswa belum terlatih. Model yang digunakan oleh guru adalah model pembelajaran kooperatif dengan tipe Student Team Achievement Division STAD namun dalam praktiknya tipe pembelajaran ini belum sepenuhnya efektif untuk meningkatkan komunikasi matematis dan percaya diri siswa. Oleh karena itu, dibutuhkan model, strategi, dan perangkat pendukung yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut yang salah satunya adalah model cooperatif learning. Dengan model ini diharapkan siswa melalui kegiatan berdiskusi akan lebih aktif untuk bertanya minimal kepada temannya sendiri untuk melatih percaya diri. Kemudian siswa diminta untuk mempresentasikan hasil pekerjaan kelompok di depan kelas untuk melatih mereka menyampaikan pendapat sedangkan kelompok lain menanggapi. Ada banyak strategi dalam model pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah strategi Think Talk Write. Strategi Think Talk Write adalah strategi yang dikemukakan oleh Huinker Laughlin 1996 yaitu Think, siswa diberikan Lembar Kerja Siswa LKS untuk diamati dan diarahkan untuk berpikir matematis melalui komunikasi. Talk, siswa akan diarahkan untuk aktif berbicara dan berdiskusi untuk mengkomunikasikan pemikiran matematisnya. Melalui tahap ini siswa diharapkan berlatih untuk percaya diri dalam menyampaikan pendapat di kelas. Write, hasil pemikiran siswa tersebut kemudian ditulis menggunakan bahasa matematika. Khusus untuk meningkatkan daya abstraksi siswa, diperlukan perangkat pendukung untuk suatu proses pembelajaran matematika yang dalam hal ini mengenai materi geometri yaitu alat peraga mandiri. Alat peraga mandiri yaitu alat peraga yang dibuat dan digunakan sendiri oleh siswa. Brunner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda alat peraga sehingga anak bisa memahami konsep geometri dengan baik. Strategi TTW juga diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu melalui kegiatan talk. Siswa diarahkan untuk dapat berkomunikasi aktif dengan sesama teman dalam suasana diskusi dan kemudian siswa presentasi di depan kelas. Percaya diri merupakan perilaku yang dapat terbentuk akibat sebuah kebiasaan sehingga perilaku percaya diri seharusnya dibiasakan supaya bisa menjadi karakter siswa pada generasi sekarang dan selanjutnya. Oleh karena itu, melalui strategi TTW yang didalamnya memuat penggunaan LKS dan alat peraga untuk membantu proses pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan membantu meningkatkan percaya diri siswa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriatin 2011:1 menunjukkan bahwa menerapkan strategi pembelajaran TTW Think Talk Write dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Hal ini didukung oleh Ansari dan Yamin sebagaimana dikutip dalam Fitriatin 2011:2 bahwa strategi TTW dapat meningkatkan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

1.2 Batasan Masalah