Alasan Pemilihan Adat Perkawinan

4.3. Alasan Pemilihan Adat Perkawinan

1. Merawat orang tua Biasanya alasan ini timbul karena dalam keluarga tersebut tidak terdapat lagi anak-anak yang akan mengurus orang tuanya kelak. Dia lebih memilih suatu adat perkawinan agar ada yang mengurus dan memperhatikan orang tuanya di hari-hari tua mereka. Pemilihan adat perkawinan tentu erat kaitannya dengan adat menetap setelah perkawinan. Apabila menggunakan adat manjujur maka perempuan lah yang ikut tinggal di kediaman laki-laki, sebaliknya apabila sumondo maka laki-laki yang akan tinggal di kediaman perempuan. 2. Lebih praktis Hal ini terkait dengan banyaknya materi yang diminta ketika menggunakan adat manjujur, di samping uang tuhor dan alat-alat rumah tangga dalam adat ini juga dilengkapi dengan pemberian sawah, tanah, rumah dan emas. Sementara adat sumondo dinilai lebih praktis karena hanya memberikan seperangkat alat sholat dan bantuan uang dapur semampunya. Sumondo dinilai lebih cocok bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah seperti mereka. Sementara itu tidak banyak lagi penduduk setempat yang mengetahui prosesi adat perkawinan Mandailing secara pasti. Perkawinan secara adat Mandailing membutuhkan biaya yang lebih besar dan waktu yang panjang mengingat banyaknya prosesi yang harus dilalui. 3. Sesuai dengan agama Adat manjujur dinilai oleh masyarakat setempat lebih tepat dan sesuai dengan ajaran Islam karena mengambil pertalian darah dari ayah. Sebaliknya, adat Universitas Sumatera Utara sumondo yang berlaku di Simpang Tonang sangat bertentangan dengan semboyan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Namun, masyarakat yang sadar akan posisi hukum agama Islam yang lebih tinggi dari hukum adat berusaha mengambil sisi kemudahan dari hukum Islam yang kemudian melahirkan perkawinan non-adat. 4. Perempuan yang membawa adat Di berbagai struktur masyarakat adat, perempuan adat ditempatkan sebagai aktor terdepan dalam memelihara kelestarian adat-istiadat. Di Ranah Minangkabau misalnya adat pernikahan sedikit berbeda dengan tradisi pernikahan di daerah lainnya di Indonesia. Dalam adat pernikahan ini biasanya didominasi oleh pihak perempuan. Pihak laki-laki biasanya akan ikut saja dengan memberikan bantuan uang semampunya. Perempuan Minang apabila menikah dengan etnis lain biasanya akan bersikukuh untuk mempertahankan adat- istiadatnya. 5. Stereotype Prasangka etnik di dalam suatu masyarakat bisa dilihat melalui ada tidaknya stereotype etnis negatif yang berkembang di masyarakat. Stereotype- stereotype negatif yang dilekatkan pada etnik tertentu merupakan wujud dari adanya prasangka. Prasangka-prasangka kesukuan ini belum tentu benar adanya. Terlalu cepat menggeneralisasi suatu etnis hanya dengan mendengar atau melihat sifat-sifat yang dimiliki segelintir anggota dari etnis tersebut. Orang tua, lingkungan dan diperkuat melalui media massa turut memupuk prasangka tersebut. Hal ini sangat berbahaya dan dapat mengancam harmonisasi Universitas Sumatera Utara keberagaman. Menurut Suparlan 1989:342, stereotype adalah suatu generalisasi atau prasangka mengenai gambaran karakter psikologis atau sifat kepribadian yang dimiliki oleh sesorang atau suatu etnis tertentu yang didasarkan pada pendapat-pendapat sebelumnya tanpa adanya observasi atau pengalaman. Demikian juga halnya dengan pemilihan adat perkawinan. Banyak stereotype etnis yang mewarnainya bahkan terkadang orang tua melarang anaknya kawin dengan etnis karena berbagai stereotype yang pernah dipelajarinya. Salah satu pendapat tersebut disampaikan oleh salah seorang natobang di Simpang Tonang sebagai berikut: “ anggo adat sumondo on alaklai dohot adaboru samo-samo karejo, mala manjujur tong adaboruna dei na karejo, jadi ibaratna bo alaklai nai malosok dor na dilapo sajo doma karejo nia kinnai. Padahal alaklai i godang tanggung jawabna sebagai kepala keluarga. Ime gakku so inda ra alak ison mangawinkon boru nialai pake adat nasonian. Bagi kami sistem sumando lebih baik. Laki- laki dan perempuan sama-sama bekerja. Dengan sistem manjujur, terkadang laki-laki jadi pemalas, justru perempuan yang bekerja. Padahal dalam sebagai keluarga laki-laki mempunyai tanggung jawab yang besar menafkahi keluarganya. Makanya di sini, tidak ada orangtua yang mau anak perempuannya kawin dengan sistem manjujur ”. Pasangan laki-laki Minangkabau jarang mau menikahi perempuan Mandailing. Hal ini terjadi karena ada anggapan bagi laki-laki yang melakukan perkawinan dengan perempuan dari luar suku Minangkabau dipandang bisa merusak struktur adat. Sebagaimana yang diketahui bahwa orang Minang mengambil garis keturunan ibu, anak yang lahir dari perkawinan tersebut dipandang sebagai bukan suku Minang. Alasan tersebut mungkin masih bisa dianggap logis bagi suatu keluarga yang masih memegang adat-istiadat. Namun alasan tersebut menjadi tidak logis lagi apabila dibumbui Universitas Sumatera Utara dengan prasangka bahwa boru Batak itu orangnya suka ceplas-ceplos, kasar, tidak pandai memasak dan tidak bisa mengurus diri. Begitu juga halnya dengan stereotype yang santer berkembang di kalangan etnis Mandailing bahwa gadih Minang itu tukang mengatur suami, suka menguasai dan membantah perkataan suami. Prasangka-prasangka demikan tentu akan membuat seseorang menjadi berfikir berkali-kali untuk melangsungkan perkawinan campuran antara kedua etnis tersebut. Di samping itu, tingginya nilai tuhor yang ada juga dipandang negatif oleh orang luar yang seolah-olah melahirkan jual beli dalam perkawinan. Begitu juga dengan adanya anggapan bahwa pihak laki-laki tidak mau bekerja sebagai pelayan atau parhobas di rumah perempuan ketika melangsungkan upacara adat. Mereka memiliki harga diri yang tinggi dan harus dipandang sebagai tamu terhormat. Dari berbagai faktor dan alasan yang telah penulis ungkapkan di atas maka jelaslah bahwasanya pemilihan suatu adat perkawinan tergantung dari berbagai kepentingan pihak. Di samping itu, faktor ruang dan waktu juga tidak dapat dikesampingkan karena mempunyai pengaruh terhadap perubahan adat yang ada. Adat manjujur seperti sudah dilupakan, begitu juga halnya dengan adat sumondo yang suatu waktu bisa kalah eksis dari adat ranto dan adat-adat lainnya yang kelak akan lahir sesuai perkembangan pola fikir masyarakat.

5.4. Kaitan Antara Proses Pemilihan Adat Perkawinan dengan UUD dan Hukum Islam

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Tinjauan hukum Islam terhadap peleksanaan walimah perkawinan adat Minangkabau di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

0 6 88

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

9 305 132

SUMPAH POCONG DALAM SENGKETA TANAH WARIS ADAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM.

0 1 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

View of HUKUM ISLAM DAN PERJANJIAN ADAT (Dampak Pemahaman Masyarakat Sumatera Barat tentang Inses Terhadap Adat Perkawinan)

0 0 16

ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

0 0 114

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

1 1 41

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

1 0 20