c. Jujur Saba
Jujuran jenis ini harus memenuhi syarat: marbondar salekok, marsaba salupak, marbagas sapetak. martano satumpuk. Maksudnya adalah sebelum
perkawinan biasanya pihak laki-laki akan membeerikan harta benda berupa: Sawah, ladang, atau tanah sebagai tempat untuk berusaha setelah menikah nantik
dan rumah sebagai tempat berteduh kepada pihak perempuan.
d.
Jujur Tapanuli atau Jujur Pitih Jujuran ini sama dengan yang diterapkan oleh etnis Mandailing pada
umumnya. Dimana pihak laki-laki diharuskan membayar sejumlah uang yang ditetapkan oleh pihak perempuan. Besarnya uang tersebut tergantung dengan
kedudukan keluarga kedua belah pihak, pendidikan maupun pekerjaan. Pihak perempuan akan mematok sejumlah uang yang sangat tinggi, sementara pihak
laki-laki dengan keliahaiannya dalam berunding akan berusaha mencoba agar uang tersebut berkurang sekecil mungkin. Kemudian ditemukanlah suatu
kesepakatan antara keduanya mengenai uang yang harus dan mampu dibayar. Oleh pihak perempuan uang tersebut nantinya akan dibelikan barang
perlengkapan rumah tangga. Barang-barang ini setelah diletakkan di tengah orang yang bermufakat, maka dalam sehari pesta itu juga akan diangkut dengan mobil
ke rumah laki-laki.
3.3.2. Kawin Ranto: Varian Baru yang Lebih Fleksibel
Pada prinsipnya perkawinan ini hanya memenuhi ketentuan syara’ saja. Perkawinan ini tidak ada hubungannya dengan harta pusaka. Harta pencaharian
yang ada dibagi sesuai dengan ketentuan al-quran, yakni perempuan dapat dua per
Universitas Sumatera Utara
tiga dan laki-laki mendapat bagian dua kali bagian perempuan. Dalam adat ini tidak ada ketentuan seseorang harus tinggal di kediaman laki-laki atau kediaman
perempuan setelah ia kawin. Mereka bebas memilih tinggal di kediaman laki-laki, kediaman perempuan utrolokal atau bahkan tidak keduanya dan menetap di
lingkangan yang baru neolokal Koentjaraningrat, 1967:97-99, Tidak ada ketentuan harus mengikuti adat yang mana. Bisa saja kedua adat
manjur dan sumondo seolah-olah dicampurkan, namun biasanya tidak akan disebutkan secara tegas bahwa perkawinan tersebut lebih mengikuti adat yang
mana. Proses perpaduan atau penyederhanaan dalam tahapan upacara perkawinan adat tersebut dilakukan karena karena lebih praktis dan tergantung dengan situasi
dan kondisi yang ada. Adat perkawinan semacam ini bisanya terdapat seperti di kota-kota pada umumnya. Esensi adat yang sebenarnya tidak terlalu dijalankan
lagi, hanya tinggal simbol-simbol saja seperti pada baju pengantin dan pelaminannya. Pada acara perkawinan semacam ini biasanya dilakukan jamuan
makan di atas meja dan kursi dengan alasan lebih praktis. Model lain dari adat ranto ini adalah keluarga pihak laki-laki maupun
pihak perempuan hanya mengadakan upacara kenduri menurut agama Islam, membuat doa selamat dengan mengundang keluarga-keluarga dan jiran tetangga
dalam jumlah terbatas untuk memanjatkan upacara doa restu kepada kedua mempelai tanpa proses adat yang ada di Simpang Tonang. Model ini mulai
diminati pada zaman sekarang. Salah satu alasannya ialah keefisiensian waktu dan biaya.
Universitas Sumatera Utara
Variasi adat yang terus berkembang merupakan suatu gambaran yang nyata bahwa pola fikir masyarakat yang terus berkembang di era globalisasi.
Penyesuaian hukum adat perkawinan baru yang lebih fleksibel sesuai dengan nilai yang mereka anut dalam arena sosial mereka. Interaksi dan adaptasi hukum akan
mewarnai kehidupan mereka di kemudian hari. Pengaruh luar atau budaya kota serta kemajuan berfikir akan ikut mewarnai budaya baru tersebut, apalagi jika
dihubungkan dengan perkembangan arus informasi dan komunikasi, baik dalam skala nasional maupun internasional
3.4. Jenis-jenis Olek Pesta Peresmian Perkawinan di Simpang Tonang
Setidaknya ada tiga jenis olek yang berlaku di Simpang Tonang, yakni: olek meneng, olek manonga dan olek godang. Kategorisasi ini dilihat dari besar
kecilnya suatu pesta peresmian perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari jenis makanan yang dihidangkan, banyaknya undangan, hiburan yang ditampilkan dan
lain sebagainya. Hal ini tentu saja tergantung dari kemampuan finansial empunya pesta tersebut. Di samping itu berkembang juga pandangan yang menganggap
bahwa kemampuan seseorang untuk menyelenggarakan pesta yang besar merupakan sesuatu yang dianggap terpandang dalam masyarakat tersebut. Orang-
orang yang memeiliki pangkat dan mempunyai kedudukan yang terhorma dalam masyarakat tersebut biasanya akan marolek godang dengan menghabiskan dana
sekian juta, sementara orang biasa lebih memilih marolek meneng atau manonga untuk meresmikan perkawinannya. Untuk mengatahui perbedaan dari ketiga
kategorisasi olek tersebut, dapat dilihat dari paparan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara