Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Adat Perkawinan

Hal yang demikian telah melahirkan varian adat baru namun dapat dijalankan asalkan tidak mengubah prinsip-prinsip yang ada dalam upacara pernikahan adat itu sendiri. Demikianlah praktek yang terjadi di lapangan dan tidak akan sepenuhnya sama dengan apa yang penulis ungkapkan dalam karya tulis ini. Hal ini disebabkan karena adanya modifikasi akibat pengaruh lingkungan serta pola fikir masyarakat yang terus berkembang.

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Adat Perkawinan

Setidaknya faktor-faktor yang penulis temukan di lapangan dapat dikelompokkan menjadi dua garis besar, yakni faktor internal yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat. Adapun faktor-faktor tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Faktor Internal Faktor internal dari pemilihan adat perkawinan adalah mengenai masalah “identitas”, dimana kebanyakan alak Simpang Tonang sudah kurang memahami upacara adat perkawinan Mandailing yang relative lebih besar dan rumit. Hal ini disebabkan karena mereka telah lama tinggal di Simpang Tonang dan hubungan mereka dengan daerah asal dapat dikatakan telah terputus. Adapun yang termasuk ke dalam faktor internal ini ialah sebagai berikut: a. Adat Perkawinan sebagai Identitas Etnis Secara teoritis perubahan kebudayaan berkaitan erat dengan perubahan pola kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan itu. Hal ini disebabkan karena adanya modifikasi akibat pengaruh lingkungan serta pola fikir masyarakat yang Universitas Sumatera Utara terus berkembang. Alak Simpang Tonang dengan sistem perkawinan sumondonya merupakan sebuah identitas penegasan jati diri di tanah perbatasan tersebut. Suatu identitas yang lahir karena dominasi kultur Minangkabau yang menjadi patokan cara hidup di Simpang Tonang. Di dalam identias tersebut juga terdapat beberapa unsur dari identitas Mandailing yang masih dipertahankan karena dinilai masih bermanfaat dan beberapa unsur lainnya yang ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan kehidupan. Memang pada generasi awal sudah terjadi proses asimilasi, namun seiring berjalannya waktu muncul adanya suatu keinginan untuk kembali menggunakan adat-istiadat sebagaimana yang dibawa oleh nenek-moyang mereka dahulu. Pasca runtuhnya rezim orde baru, masalah identitas etnis ini kembali dihidupkan. Hal ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan Benda-Backmann dalam Ramsted, 2011:15-36. b. Sosialisasi dan Kadar Keetnisitasan Seseorang Kadar keetnisitasan seorang individu terbentuk dari proses sosialisasi nilai-nilai kebudayaan yang diberikan oleh orang tuanya. Menurut Koentjaraningrat 2002, sosialisasi merupakan proses belajar kebudayaan yang bersangkutan dengan sistem sosial, di mana seorang individu mempelajari pola- pola tindakan sehari-hari di dalam interaksi dengan individu lain yang memiliki bermacam-macam peranan sosial di dalam masyarakat. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa proses sosialisasi juga terkait dengan proses inkulturasi, yakni proses belajar menanamkan dan mengolah segala perasaan, hasrat, hawa nafsu, dan emosi yang diperlukan dalam pembentukan kepribadian dan enkulturasi, yakni pembudayaan dimana individu belajar menyesuaikan pola pikir dan perilakunya terhadap peraturan yang ada dalam kebudayaan. Universitas Sumatera Utara Latar belakang etnis suatu keluarga sangat berpengaruh dalam membentuk rasa kebanggaan seseorang terhadap etnisnya. Seorang anak dengan latar belakang keluarga perantau dan tidak pernah lagi berhubungan dengan sesama etnisnya secara intim maka hal ini jelas akan memicu memudarnya atau hilangnya nilai budaya. Sementara itu ketika kedua orang tua yang berasal dari suku atau etnis yang sama maka akan sangat mudah untuk mereka membimbing dan mengajarkan adat budaya daerah etnis pada anaknya sebaliknya jika seorang anak dilatrbelakangi dengan orang tua yang berasal dari etnis yg berbeda salah satu dari kedua etnis tersebut akan mendominsasi sehingga anak akan tumbuh dan akrab dengan budaya yg lebih dominan. Di Simpang Tonang kebudayaan Minang tampak lebih mendominasi. Tidak ada lagi orang tua yang paham betul akan adat- istiadat Mandailing sebagaimana mestinya. Hal ini tentu menyebabkan mereka tidak melakukan sosialisasi mengenai adat tersebut kepada anak-anaknya. c. Ekonomi Kendala ekonomi umumnya menjadi penyebab terjadinya keberagaman pemilihan pelaksanaan adat perkawinan. Ada yang sepakat dan mampu secara ekonomi, maka mereka menggelar perkawinan secara adat. Ada pula yang tidak mampu, sehingga mencoba menegosiasikan ulang ketentuan hukum adat dan hukum Islam. Perkawinan manjujur dinilai kurang sesuai dengan keadaan ekonomi masyarakat setempat. Hal ini mengingat banyaknya materi yang diminta oleh keluarga mempelai wanita. Tidak hanya uang tuhor yang diminta kepada pihak laki-laki melainkan barang keperluan rumah tangga, rumah, tanah, sawah dan Universitas Sumatera Utara emas. Apabila dibandingkan dengan adat sumondo tentu akan lebih hemat karena pihak laki-laki hanya menyiapkan mahar seperangkat alat sholat. Di samping itu diperlukan biaya ekstra untuk menyewa perlengkapan adat Mandailing yang harus didatangkan dari propinsi tetangga karena tidak ketersediaan perlengkapan tersebut di lapangan. a. Kedudukan Anak dalam Keluarga dan Gender Dalam adat istiadat perkawinan di Simpang Tonang sesorang diperbolehkan melakukan perkawinan manjujur apabila dia seorang anak laki-laki tunggal dan tidak ada saudara permpuan iboto yang akan merawat orang tuanya kelak. Namun dalam prakteknya hal ini tidak berlaku mutlak. Ada kalanya keluarga tersebut merelakan anak perempuannya untuk dijujur mengingat keluarga tersebut akan mendapatkan tuhor sebagai suatu bentuk balas jasa karena telah membesarkan anak tersebut. Di suatu sisi apabila anak laki-laki mereka yang menikah mereka cenderung menggunakan adat sumondo karena lebih praktis dan tidak memerlukan biaya sebesar adat manjujur. b. Status Sosial Keluarga Berbicara mengenai status sosial berarti berbicara mengenai pelapisan sosial. Pelapisan sosial muncul karena adanya pembedaan status dan peran terhadap individu satu dengan yang lain. Dan pembedaan tersebut tidaklah sama, ada yang berupa kekuasaan, kekayaan, kepandaian, tingkat umur yang senior, sifat keaslian, keanggotaan kaum kerabat kepala masyarakat, sifat pengaruh dan kekuasaan, pangkat, kekayaan harta benda, dan sebagainya. Adanya perbedaan yang amat mendasar dalam suatu tingkat pelapisan sosial dinamakan social Universitas Sumatera Utara classes atau sosial tak resmi. Penilaian tentang tinggi ataupun rendah pada suatu lapisan sosial takresmi oleh tiap warga tidaklah sama. Koentjaraningrat, 1967. Dalam beberapa masyarakat tertentu orang dengan latar belakang pendidikan tinggi bisa saja menjadi lebih tinggi tingkatannya dengan orang kaya. Di samping itu berbagai individu memiliki paradigma masing–masing yang bisa melihatnya dari berbagai perspektif, dengan kata lain sesuai dengan konteks dan konsep. Ada juga masyarakat yang lapisan dan kelas sosial itu sudah menjadi hal nyata, karena warga dari suatu lapisan atau kelas itu mendapat sejumlah hak–hak dan kewajiban–kewajiban ke dalam adat yang dilindungi oleh hukum adat atau hukum yang berlaku. Apabila keluarga tersebut berasal dari golongan bangsawan dan dihormati oleh masyarakat setempat biasanya mereka akan melaksanakan adat-istiadat secara besar-besaran. Semain besar pesta adat tersebut, maka semakin tinggi pula status sosial keluarga tersebut di mata masyarakat. Upacara perkawinan merupakan salah satu media bagi alak Simpang Tonang untuk menunjukkan posisinya di dalam masyarakat. Mereka biasanya melangsungkan alek godang dengan menganakan pakaian dan berbagai perhiasan. Begitu juga halnya dengan pemilihan adat perkawinan yang dipilih tentu harus sesuai dengan adat-istiadat masyarakat setempat. Perkawinan diperlukan untuk kebutuhan akan gengsi dan naiknya jenjang sosial di masyarakat, maka pelaksanaannya harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ada dalam adat-istiadat. Universitas Sumatera Utara d. Faktor Eksternal Faktor ini terjadi karena adanya pengaruh dari kebudayaan lain sebagai akibat dari interaksi sosial antara alak Simpang Tonang dengan etnis lainnya. Hal ini turut didukung oleh pengaruh globalisasi yang telah menghilangkan sekat- sekat dan batasan ruang kebudayaan. Dengan adanya globalisasi menyebabkan batas antara suatu hukum dengan hukum yang lainnya menjadi semakin kabur karena banyak adopsi, adaptasi, saling pengaruh di antara sistem hukum yang saling bertemu. Hal ini menyebabkan hukum berubah dinamis mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Salah satu penyebabnya adalah adanya migrasi dan perkawinan campuran Irianto, 2009. Adapun yang termasuk dalam faktor ini diantaranya: a. Perantauan Di Indonesia proses migrasi suatu kelompok etnik terjadi tidak saja didorong oleh latar belakang sosiokultural, melainkan juga ada misi-misi budaya yang mereka bawa. Misi migrasi budaya merantau bagi etnik Minangkabau ialah untuk memperkaya dan menguatkan alam Minangkabau, sementara etnik Mandailing misinya ialah untuk memperluas wilayah teritorial mereka Pelly, 1994:11-12. Proses migrasi tersebut akan berpengaruh terhadap tatanan sosial budaya, baik pada kelompok etnik pendatang maupun kelompok etnik lokal tuan rumah host population} . Tidak jarang setiap anggota kelompok etnik tertentu yang melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Akan tetapi mereka Universitas Sumatera Utara tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan orangtuanya keturunan dan pertalian darah dan juga tetap diakui oleh kelompok etniknya Masyarakat Simpang Tonang adalah perantau ulung, mereka merantau ke kota-kota besar seperti: Padang, Pekanbaru, Medan, dan lain sebagainya. Di perantauan mereka berkenalan dengan etnis Mandailing lainnya yang notabene masih mempertahankan adat-istiadat mereka. Mereka kemudian merasa berbeda dengan saudaranya tersebut sehingga terjadi kegalauan identitas. Akan tetapi, mereka cepat untuk beradapatasi. Terkadang dari hasil perantaunnya itu mereka merasa lebih paham dan pas mengenai adat tersebut daripada adat yang mereka pelajari selama ini. Ada juga yang menemukan jodohnya di perantauan sehingga mereka harus mengikuti adat-istiadat perkawinan setempat. . b. Kontak dan Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain Di era globalisasi sekarang ini, pengaruh kebudayaan masyarakat lain merupakan suatu hal yang tidak bisa dielakkan lagi. Adanya hubungan kerja sama antar-negara serta sarana komunikasi dan informasi yang semakin canggih, seperti : televisi, radio, dan internet memudahkan pengaruh kebudayaan masyarakat lain masuk dalam suatu negara. Akibatnya muncul perubahan pada masyarakat yang menerima pengaruh kebudayaan itu. Mengikuti pendapat Hoebel Ihromi, 2000:36-38, postulat hukum tersebut adalah hal-hal yang oleh para warganya dianggap baik, maka ia harus dikejar dan hal yang dianggap buruk harus ditinggakan. Postulat hukum berupa nilai-nilai inilah yang mendasari tingkah laku dan penerimaan nilai baru, norma hukum, dan lembaga hukum dalam masyarakat. Universitas Sumatera Utara Dengan adanya globalisasi, masyarakat Simpang Tonang tidak lagi memiliki batas-batas yang memisahkannya dengan dunia luar. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat pun tidak hanya dipengaruhi oleh kebudayaan Minangkabau yang lebih dominan, melainkan kebudayaan lain yang diperoleh dari berbagai sumber yang ada. Menurut Astuti dan Widiyanto 19981999:4, budaya masyarakat perbatasan diartikan sebagai budaya masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan budaya. Oleh karena itu, daerah ini merupakan pertemuan paling sedikit dua budaya atau lebih. Dengan adanya dua kebudayaan atau lebih yang tinggal di daerah tersebut berarti mereka mempunyai suatu kebudayaan umum lokal atau budaya pasar sebagai acuan guna berinteraksi atau menjalin hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan di lingkungan daerah tersebut. Masyarakat Simpang Tonang yang terletak di persimpangan jalan lalu lintas kebudayaan selalu menjadi pusat perubahan. Karena kebanyakan unsur budaya dari masyarakat lain masuk melalui difusi, maka masyarakat yang mengadakan hubungan dengan masyarakat lain itulah yang mudah atau cenderung mengalami perubahan terlebih dahulu. Sedangkan daerah yang terisolasi merupakan pusat kestabilan, konservatisme, dan penolakan terhadap perubahan. c. Faktor Komunitas Masyarakat Simpang Tonang dapat dikatakan sebagai suatu komunitas yang mayoritas berasal dari etnis Mandailing, namun adat-istiadat yang mereka gunakan ialah adat Minangkabau. Komunitas yang penulis maksud di sini ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Koentjaraningrat 1972 yakni suatu kesatuan hidup yang terjadi bukan karena adanya ikatan kekerabatan, tetapi karena ikatan Universitas Sumatera Utara lingkungan tempat tinggal. Masyarakat Simpang Tonang hidup bersama dalam suatu kesatuan wilayah nagari. Mereka terdiri dari etnis Minangkabau, Mandailing yang telah menjadi Minangkabau dan para pendatang yang datang belakangan. Mereka merupakan suatu kelompok kecil dimana warganya masih bisa saling mengenal dan solidaritas terjadi karena adanya prinsip timbal balik sebagai penggerak masyarakat yang disebabkan karena adanya rasa saling tolong menolong yang besar. Komunitas Mandailing yang ada di Simpang Tonang sangat berbeda dengan komunitas Mandailing yang berada di daerah Panti. Di Simpang Tonang adat-istiadat yang menjadi acuan ialah Minangkabau. Pengadopsian budaya yang lebih dominan ini menyebabkan terjadinya proses penyesuaian dan perubahan dalam etnis tersebut. Inilah yang terus mereka pertahankan sebagai suatu konsekwensi dari menjadi kemenakan dalam nagari. Banyak pendatang yang kemudian datang ke daerah Simpang Tonang karena adanya faktor perkawinan dan kemiripan budaya. Namun mereka harus manuang limbago dan mengikuti adat-istiadat setempat. Hal ini menciptakan suatu keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan komunitas tersebut. Di samping itu ada juga komunitas perantau yang juga turut serta mengubah pola fikir dan cara pandang anggotanya mengenai adat yang berlaku. Universitas Sumatera Utara

4.3. Alasan Pemilihan Adat Perkawinan

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Tinjauan hukum Islam terhadap peleksanaan walimah perkawinan adat Minangkabau di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

0 6 88

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

9 305 132

SUMPAH POCONG DALAM SENGKETA TANAH WARIS ADAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM.

0 1 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

View of HUKUM ISLAM DAN PERJANJIAN ADAT (Dampak Pemahaman Masyarakat Sumatera Barat tentang Inses Terhadap Adat Perkawinan)

0 0 16

ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

0 0 114

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

1 1 41

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

1 0 20