sepasang suami isteri sebelum dilaksanakannya upacara perkawinan secara adat dipabotoon tu niniak mamak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Identitas sosial diartikan sebagai suatu penamaan terhadap suatu kelompok masyarakat sebagai sesuatu kebutuhan agar bisa beradaptasi dengan
lingkungannya. Penamaan yang diberikan kepada masyarakat oleh lingkunganya tersebut akan menambah suatu kepercayaan diri bagi masyarakat tersebut karena
secara tidak langsung keberadaan mereka diakui oleh kelompok mayarakat lainnya. Alak Simpang Tonang dapat dikatakan sebagai suatu identitas, dimana
masyarakatnya lahir dari proses pembauran antara etnis Mandailing dan Minangkabau dalam waktu yang relatif lama.
Pada awal kedatangan etnis Mandailing di Simpang Tonang, mereka sudah menjadi “Minang’’ dengan menompang ninik mamak dan berjanji untuk
mengikuti adat-istiadat setempat. Hanya bahasa Mandailing sajalah yang masih bertahan. Bahkan walaupun memiliki marga seperti etnis Mandailing yakni:
Nasution dan Lubis, marga tersebut hanya sebagai simbol semata. Tidak banyak lagi mereka yang paham akan adat Mandailing di tanah perbatasan ini.
Kebudayaan Minangkabau tampak lebih mendominasi dalam kehidupan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bahasa yang lebih sederhana sebagai pendatang etnis Mandailing di perbatasan Pasaman khususnya Simpang Tonang telah melakukan proses adaptasi
terhadap lingkungan sosial sangat berbeda kebudayaannya. Percampuran dan modifikasi antara kebudayaan masyarakat setempat dengan kebudayaan etnis
pendatang ini bertujuan untuk menjalin terjadinya keseimbangan dan stabilitas sosial yang dengan sendirinya mencegah terjadinya konflik. Salah satunya dapat
kita lihat dari perubahan adat perkawinan manjujur ke sistem sumondo. Penelitian ini telah menjawab kelima pertanyaan penelitian yang telah
dituangkan di dalam rumusan masalah. Pertanyaan pertama dapat dijawab bahwasanya terdapat tiga varian adat perkawinan di Simpang Tonang, yakni:
sumondo, manjujur, dan adat ranto. Suatu perkawinan dapat dikatakan sebagai perkawinan sumondo apabila tidak adanya pembayaran sejumlah uang maupun
benda kepada pihak perempuan dan setelah perkawinan tersebut, seorang laki-laki akan tinggal dan menetap di lingkungan kerabat isterinya uxorilokal. Sementara
yang dikatakan dengan perkawinan manjujur ialah apabila pihak laki-laki memberikan sejumlah uang, tanah, sawah, rumah dan berbagai barang lainnya
kepada pihak wanita untuk melepaskannya dari kerabatnya dan setelah perkawinan perempuan tersebut akan tinggal di lingkungan kerabat suaminya
virilokal. Varian adat terakhir bernama adat ranto, yakni percampuran kedua adat atau bahkan tanpa menggunakan adat sama sekali hanya sebatas hukum
Islam dan undang-undang yang berlaku. Adat perkawinan yang penulis sebutkan terakhir merupakan suatu bentuk penyesuaian hukum adat perkawinan baru yang
Universitas Sumatera Utara
lebih fleksibel sesuai dengan nilai yang mereka anut dalam arena sosial yang semakin kompleks
.
Pertanyaan kedua dapat dijawab yaitu ada beberapa faktor dan alasan yang mempengaruhi pemilihan adat perkawinan di Simpang Tonang. Faktor-faktor
tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Secara garis besar yang menjadi faktor internal dari pemilihan adat perkawinan adalah
mengenai masalah “identitas”. kebanyakan alak Simpang Tonang sudah kurang memahami upacara adat perkawinan Mandailing yang relative lebih besar dan
rumit. Mereka tidak bisa disalahkan dan dipaksa untuk kembali menganut adat Mandailing sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena mereka telah lama
tinggal di daerah Pasaman dan hal tersebut menjadi suatu bentuk strategi adaptasi mereka dengan lingkungan yang baru. Sementara yang menjadi garis besar dari
faktor eksternal yakni pengaruh dari kebudayaan lain karena terjadinya saling kontak dan interaksi antara suatu etnis dengan etnis lainnya. Biasanya alak
Simpang Tonang yang merantau ke daerah Medan atau Pekanbaru akan bertemu dengan etnis Mandailing yang notabenenya masih mempertahankan adat-istiadat
mereka, mereka merasa terasing dan menganggap kebudayaan saudaranya itu lah yang lebih benar dan mereka pun mengadopsi adat tersebut terutama bagi mereka
yang menemukan jodoh yang berasal dari etnis tersebut. Di samping itu terdapat juga faktor ekonomi dan agama Islam tidak dapat kita kesampingkan. Seseorang
memutuskan untuk memilih menggunakan suatu adat perkawinan karena alasan lebih sesuai dengan ajaran agama Islam yang mereka anut, merawat orangtua dan
adanya berbagai stereotype.
Universitas Sumatera Utara
Pertanyaan ketiga dapat dijawab yakni tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses pemilihan adat tersebut ialah: calon pengantin perempuan dan pengantin
laki-laki, orang tua dan keluarga kedua belah pihak, ninik mamak dan natobang nadipatobang di bagasan ampung. Bagi alak Simpang Tonang, perkawinan
merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam siklus kehidupan sesorang dan menjadi urusan dari keluarga atau kerabat kedua belah pihak. Setiap
unsur kerabat dan tetua adat sangat dibutuhkan dalam setiap prosesinya. Kedua belah pihak keluarga akan memulai prosesi perundingan itu pada saat mananting
tanda. Dalam acara yang lazimnya diprakarsai oleh pihak keluarga peremuan itu, akan dibicarakan mengenai beberapa hal yang perlu diklarifikasi kedua belah
pihak, yaitu: menentukan hari dan tempat, adat apa yang digunakan, besarnya biaya yang dibutuhkan, siapa saja yang diundang, dan siapa yang bertanggung
jawab mengurus peralatan dan perlengkapan pesta, dan lain hal sebagainya. Pertanyaan keempat dapat dijawab yaitu proses-proses yang harus dilalui
seseorang apabila hendak menikah baik secara adat sumondo, manjujur, maupun adat ranto, yaitu mulai dari prosesi manyungkun, mananting tanda, pabotoon tu
niniak mamak, akad nikah, marolek hingga mangulaki langka. Rentetan prosesi tersebut tidak jauh berbeda antara adat perkawinan sumondo, manjujur, dan adat
ranto. Pertanyaan kelima dapat dijawab yakni penerapan hukum lainnya seperti
Undang-Undang Perkawinan dan agama Islam. Seseorang yang hendak menikah harus mengikuti ketentuan yang diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Uniknya di Simpang Tonang, mamak si perempuanlah biasanya yang
Universitas Sumatera Utara
sibuk dalam mengurus segala hal mengenai surat-menyurat dan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk melakukan pencatatan perkawinan secara sah di mata
hukum negara. Undang-undang tersebut hanya mengatur mengenai dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya
perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak,
perwalian, ketentuan lain. Sedangkan mengenai bentuk perkawinan, acara peminangan,pelamaran, upacara perkawinan lainnya masih dalam ruang lingkup
hukum adat. Pada umumnya acara perkawinan adat telah meresepsi hukum perkawinan berdasarkan ketentuan agama. Adanya peran antara adat dan agama
Islam di Simpang Tonang membawa konsekwensi sendiri. Dalam pelaksanaan perkawinan misalnya, kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan
cara serasi, siring dan sejalan. Pelanggaran dan pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat agama islam dalam masalah perkawinan akan berlanjut pengucilan
dari pergaulan masyarakat. Dalam tradisi perkawinan di Simpang Tonang setidaknya ada dua tahap yakni perkawinan menurut syara’ dan perkawinan
menurut adat. Perkawinan menurut agama adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan mengucapkan akad nikah ijab dan qabul di hadapan qadhi. Menurut
konsep berfikir alak Simpang Tonang mereka belum boleh hidup berumah tangga layaknya sepasang suami isteri sebelum dilaksanakannya upacara perkawinan
secara adat dipabotoon tu niniak mamak. Dari berbagai jawaban di atas maka dapat disimpulkan bahwa proses
pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang Kabupaten Pasaman
Universitas Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Barat alak Simpang merupakan suatu proses negosiasi antara kedua belah pihak keluarga beserta tetua kampung. Mereka cenderung untuk
memilih adat perkawinan yang sesuai dengan berbagai kepentingan mereka. Proses pemilihan adat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor dan alasan
tertentu. Adat sumondo, manjujur, dan adat ranto ialah berbagai varian adat yang dapat mereka pilih. Namun uniknya perbedaan adat tersebut tidak menimbulkan
perpecahan di tengan masyarakat. Hal tersebut telah diantisipasi dengan saiyo samufoket di antara kedua belah pihak sebelum diselenggarakannya suatu
perkawinan. Pada dasarnya melaksanakan perkawinan secara adat atau tanpa adat
merupakan pilihan dari masing-masing mempelai itu sendiri . Dalam hal ini terlihat, bahwa seseorang dapat memilih hukum mana yang ia kehendaki untuk
selanjutnya digunakan sesuai dengan kepentingan pribadinya, tentunya dengan pertimbangan rasional hukum mana yang dianggap paling menguntungkan bagi
diri si pelaku sendiri. Benda-Backman 2000:64-66 mengistilahkannya dengan forum shopping, dimana orang-orang yang terlibat dalam suatu sengketamasalah
hukum lainnya dapat memilih berbagai lembaga hukum untuk menyelesaikan kasusnya atas dasar orientasi kepentingan.
Meskipun terdiri atas beragam hukum adat yang mampu menjadi landasan bentukan hukum di masa yang akan datang, namun dalam praktiknya justru terjadi
perubahan di sana-sini terkait dengan kondisi masyarakat. Perubahan ini akan mempengaruhi penerapan dan eksistensi hukum-hukum adat yang ada. Hamzah
1960:16, menyebutkan bahwa hukum adat berubah karena dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
pengaruh dari dalam dan luar karena keadaan sosial juga berubah. Kelakuan- kelakuan manusia dalam masyarakat berubah juga yang mengakibatkan
perubahan dalam hukum adat.
6.2. Saran