2.2. Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang
Tak ada yang mengetahui pasti kapan pertama kali etnis Mandailing
13
13
Mandailing dalam kajian ini dikatakan sebagai suatu kelompok etnis atau suku bangsa. Bagi Barth 1988 kelompok etnis adalah suatu golongan sosial yang askriptif yang berkenaan
dengan asal-usul kelahiran dan daerah asal.
bermigrasi membuka nagari ini. Namun, salah seorang natobang atau tetua kampung setempat meyakini bahwa nenek moyang mereka sudah mendiami
Nagari Simpang Tonang jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Seperti yang dituturkan oleh Pak Velma, salah seorang natobang Ampung Parik kepada
penulis, yakni: “anyo sejarahna pak inda be diboto kok taon sadia, generasina pe
pak madung bahat. Ma udokon di ho marratus taon ma nari kiro- kiro mean ami di Pangtonang on, bahkan lobi mei arana jaman
Bolando sajo pak 350 taon di son. Sadangkon sabalun i pak madung i son mei alak Mandailing i. Ima so inda dapot dihita
taonna kalau sejarahnya sudah tidak diketahui lagi entah tahun berapa, generasinya pun sudah banyak. Seperti yang sudah saya
katakan pada anda, sudah beratus tahun kami mendiami nagari Simpang Tonang ini bahkan lebih karena jaman penjajahan
Belanda saja sudah 350 tahun. Jauh sebelum masa penjajahan itu orang Mandailing sudah mendiami wilayah ini. Itu lah kenapa kita
tidak tahu pasti menganai tahunnya”.
Ketika penulis berada di lapangan penulis menemukan versi lain dari sejarah terbentuknya kanagarian ini. Penulis menemukan penuturan sejarah yang
berbeda dari natobang Simpang Tonang. Penulis seperti menangkap ada suatu luka lama atau perselisihan di masa silam mengenai sejarah tersebut. Namun, di
sini penulis tidak akan mengoyak kembali luka lama itu. Penulis berusaha memahami kondisi masyarakat di lapangan dan tidak mempertentangkan dua
pendapat yang bertolak belakang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut informasi yang penulis dapat dari media internet bahwasanya Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak merupakan suatu wilayah ulayat di
bawah kepimpinan Rajo Sontang. Berbekal informasi tersebut, penulis bertolak ke Duo Koto pada akhir tahun 2012 lalu. Pada saat itu belum dilakukan
pengangkatan Rajo Sontang yang baru. Penulis hanya berhasil menemui salah seorang pahompu cucu Rajo Sontang sebelumnya. Beliau pun tidak begitu
paham akan sejarah terbentuknya nagari ini. Beliau merekomendasi kami untuk menjumpai orang yang lebih paham akan sejarah tersebut. Orang tersebut dikenal
sebagai ujung lidah Rajo Sontang sebelumnya. Penulis berhasil menjumpai beliau di kediamannya yang sederhana di jorong Sarasah. Beliau pun membenarkan
bahwasanya Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang ialah benar dalam satu tanah ulayat di bawah kekuasaan Rajo Sontang, sebagaimana yang dituturkannya
kepada penulis sebagai berikut: “nari do ntong ita na marnagori, najolo inda di bawah kekuasaan
ni Rajo Sontang. Harana pada jaman i inda pe ita mardeka. Unjung de Rajo Dubalang Pangtonang mangamuk tu au. Ulang ko
mangamuk ningku ho guru, oji, dung berpengalaman na bahat. Golarna ho berpendidikan inda dong dope raja dubalang,
dubalang ni raja adong tai harana hamu mambantu bolanda on mangalo bolanda sahinggo diangkat bolanda hamu Raja
Dubalang sekarang kita yang ber-nagari, dulunya semua di bawah kekuasaan Rajo Sontang. Pada masa itu kita belum merdeka.
Pernah Rajo Dubalang Simpang Tonang mengamuk pada saya. Jangan kau mengamuk kataku. Kau seorang guru, haji dan punya
pengalaman yang banyak. Kau orang yang berpendidikan. Tidak pernah ada Raja Dubalang, dubalang raja yang ada tapi karena
kalian memihak pada Belanda sementara kami di sini melawan Belanda, maka diangkat Belandalah kalian sebagai Raja
Dubalang”. Sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan, maka penulis
menemukan bahwa terdapat dua perbedaan pendapat dalam penentuan sejarah
Universitas Sumatera Utara
terbentuknya daerah tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang ialah tanah ulayat di bawah pimpinan
pucuk adat Rajo Sontang. Pendapat kedua menyatakan bahwa Nagari Cubadak di bawah kekuasaan Rajo Sontang sementara Nagari Simpang Tonang di bawah
kekuasaan Rajo Dubalang. Pun demikian penulis tidak akan mempertentangkan kedua perbedaan pendapat tersebut dengan membela kepada satu pihak. Penulis
pun baru tahu bahwa kedua nagari ini sebenarnya memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini juga dituturkan oleh Pak Velma, natobang Ampung Parik, sebagai
berikut: “jadi kiro-kiro hubunganna nari udokkon diho sebagai alak
sumondo-menyumondoi. Adong de bagas ni Rajo Sontang di Pangduku tapi kalo wilayatna wilayat Rajo Dubalang do. Kalo
bagas godang ni Rajo Sontang di Sontang dei atau Sibodak. Bukan nasodong bah tong hubunganna, contohna bahaso dot adatna
samo. Nari bolas idokon buriah tanah batas tanahna dot Cubadak inda jelas. Harana na sangkibul de mulai mon najolo. Jadi najolo
halai namardalan manjalasi daerah i namalua tu Sibodak aaa ime wilayah Rajo Sontang, kalo namalua tu Pangtonang on ime Rajo
Dubalang. Jadi kalo dianalisa diiba na Rajo Sontang Rajo Dubalang on inda marpisah tutu dabo jadi kira-kira hubanganya
sekarang ialah sebagai orang sumando-menyumandoi.Buktinya ada rumah Rajo Sontang di Simpang Duku meskipun berada di tanah
ulayat Rajo Dubalang. Rumah besar Rajo Sontang terdapat di Sontang atau Cubadak. Bukan tidak ada hubungan antara Simpang
Tonang dan Cubadak, misalnya saja persamaan adat dan bahasanya. Sekarang dapat dikatkan batas wilayah dengan
Cubadak tidaklah jelas. Karena dari dahulu kala merupakan satu kesatuan. Jadi dahulu kala mereka mencari berjalan mencari daerah
yang keluar ke Cubadak aaa itulah wilayah Rajo Sontang, kalau yang keluar ke Pangtonang ini itulah Rajo Dubalang. Jadi kalau
kita analisa, Rajo Sontang dan Rajo Dubalang ini tidak terlalu berpisah sekali”.
Untuk itu perlu kiranya penulis rasa menuliskan kembali bagaimana
sejarah Simpang Tonang versi alak Simpang Tonang. Berbicara mengenai Nagari
Universitas Sumatera Utara
Simpang Tonang tidaklah lengkap jika belum membahas mengenai sejarah asal- usul terbentuknya nagari tersebut. Sepotong kisah mengenai Raja Gumanti
Porang atau yang lebih dikenal dengan Rajo Dubalang merupakan suatu kisah asal-usul terbentuknya nagari Simpang Tonang yang masih melekat erat dalam
ingatan beberapa orang natoras natobang di bagasan ampung atau tetua kampung. Salah satunya adalah Pak Melan 74.
Beliau kemudian membuat salinan ringkas mengenai asal-usul nagari tersebut berdasarkan catatan tarombo yang beliau miliki. Menurut beliau, tidak
semua orang paham akan sejarah asal-usul kampung halamannya meskipun dia seorang sarjana berpangkat.
“dilehen pe na asli nai jo nda malo ho manarjemahkonsa i arana inda sarupo bahasona dohot bahaso ita nari diberikan pun yang
aslinya kepadamu tidak akan pandai kau menjelaskanya karena tidak serupa bahasanya dengan bahasa kita sekarang”.
Tarombo berjudul Sejarah Asal Usul Nagari Simpang Tonang tersebut dibuat dalam campuran bahasa Mandailing, Minangkabau, dan Bahasa Indonesia
dengan gaya bahasa serta ejaan lama. Adapun ringkasan isi tarombo tersebut
adalah sebagai berikut:
Pada zaman dahulu kala tersebutlah sejarah mengenai Raja Pidoli Mandailing Godang yang bergelar Rajo Gumanti Porang. Dari hasil
perkawinannya dengan isterinya yang bernama Mancuom Godang, beliau mempunyai tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Pada masa itu
kerajaan Pidoli diserang oleh orang dari Padang Gelugur. Kemudian Rajo Gumanti Porang dan perangkat kerajaan meninggalkan daerah tersebut menuju
tempat yang aman. Maka sampailah mereka ke Lubuk Aro Tarok di daerah Rao sekarang. Mereka pun berkembangbiak di sana.
Dimasa kepemimpinan Sutan Bandaharo dilakukankanlah suatu perundingan dengan segenap perangkat desa, anak, cucu beserta kemenakan.
Mereka merasa tidak enak terlalu lama menumpang di daerah orang. Atas dasar kesepakatan yang telah diperolah akhirnya Sutan Bandaharo memerintahkan
Universitas Sumatera Utara
seorang yang gagah berani bernama Dubalang Sirah Dado untuk untuk mencari tanah yang luas dan belum pernah dihuni orang lain.
Dubalang Sirah Dado memulai perjalanannya ke arah Barat dari Sontang Panjang. Dari perjalanan naik bukit turun bukit tersebut ia mendapatkan suatu
daerah yang berada di antara dua buah sungai batang air. Di sana ia mendirikan rumah tempat beristirahat. Kemudian ia melanjutkan kembali perjalanannya
tersebut. Perjalanan dimulainya dari Guo Balang Karau Pisang Hulu Air Papahan Tonang terus ke Bahudo Kariong lanjut ke Tinjawan Agam lalu ke Puncak
Gunung Kulabu dan dari Bukit Tinjowan Koto Rajo hulu Air Tangharang lalu ke Bukit Ulai dan terus kembali ke rumahnya.
Setelah menemukan wilayah tersebut maka ia kembali ke Sontang Panjang untuk memberitahukan hal tersebut kepada Sutan Bandaharo. Sutan Bandaharo
kemudian membawa perangkat kerajaan beserta anak cucu kemenakannya untuk melihat daerah tersebut. Mereka tinggal di rumah Dubalang Sirah Dado yang
dibangunnya saat itu. Setelah dinilainya bahwa daerah tersebut layak dijadikan suatu hunian, maka Dubalang Sirah Dado membawa mereka dan menunjukkan
bukit-bukit yang dilaluinya lebih dulu untuk dijadikan batas wilayah. Kemudian disaat mereka menjelajah daerah tersebut mereka menemukan sebuah sungai yang
airnya tenang, dari situlah asal kata Simpang Tonang diambil.
Pada awal kedatangannya hanya ada dua marga saja yang terdapat di daerah tersebut. Marga Nasution dari pihak Sutan Bandaharo sekarang dikenal
dengan nama Raja Dubalang dan marga Mais dari pihak Tompu Sereng sekarang bergelar Saheto Gading. Tidak beberapa lama kemudian datang pula
satu rombongan dari daerah Mandahiling bergelar sako Ajaran Tolang sekarang bergelar Panghulu Mudo bermarga Lubis. Mereka mendiami Kampung Tolang
Dolok. Kemudian datang lagi rombongan lainnya dari daerah Mandahiling juga bernama Raja Mondang Tahi marga Lubis dengan temannya bernama Malin
Mancayo marga Batubara.
Adapun orang-orang tersebut di atas disebut “Induk nan Barampek”, turun temurun sampai sekarang adalah:
1. Tompu Sereng gelar Saheto Gading sebagai manti; ujung lidah kapalo
sambah, anak kunci bilik dalam. 2.
Hajaran Tolang gelar Panghulu Mudo; nan akan mengambangkan Payung Rajo.
3. Rajo Mondang Tahi bergelar Sutan Parang; diakui sanak oleh Rajo.
4. Malin Mancayo gelar Gading Raja; nan mahatak manghidang nan
kamangagiohkan. Dengan demikian cukuplah syarat untuk mendirikan nagari yaitu: didiami
oleh empat suku Raja Dubalang dengan suku Nasution, Tompu Sereng dengan suku Mais dan Ajaran Tolang dan Raja Mondang Tahi dengan suku Lubis dan
Malin Mancayo dengan suku Batubara, ada tanah ulayat, ada pandam pakuburan dan ada sebuah pasar tempat berlangsungnya aktifitas perekonomian nagari.
Kemudian diangat pula beberapa orang sebagai pengembang ajaran Islam atau yang dikenal dengan istilah ampek di khitabullah yakni: Imam Khatib, Bilal dan
Malin.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya datang pulalah kaum-kaum lain yang kemudian diberikan suatu kampung dan diangkat pulalah penghulunya. Adat yang dipakai di Nagari
Simpang Tonang sesuai dengan adat Minangkabau yakni adat salingka nagari. Hak bamilik harto ba nan punyo, sako jawek bajawek, pusako turun-temurun.
Barajo bahakim, bapucuak bulek. Adat tersebut masih tetap dilestarikan sampai saat sekarang ini.
Dari uraian tarombo asal-usul terbentuknya Nagari Simpang Tonang tersebut, maka dapat dipahami bahwasanya nenek moyang alak Simpang Tonang
ialah para imigran yang berasal dari Mandailing Natal. Imigran tersebut datang secara mengelompok dalam beberapa tahap. Para pendatang tersebut berusaha
untuk menjadi “Minang” dengan mengganti adat-istiadat yang mereka bawa. Meskipun daerah ini termasuk wilayah rantau Minangkabau, pada saat itu belum
ada penduduk yang menghuninya. Jika ditelaah kembali sebenarnya tidak banyak perbedaan antara sejarah
Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak. Kedua Nagari ini merupakan daerah temuan baru dari Kerajaan Sontang Panjang. Batasan-batasan yang
terdapat di dalam tarombo tersebut bahkan dapat menjelaskan bahwasanya kedua nagari ini dahulunya merupakan satu kesatuan. Persamaan adat-istiadat dan
adanya bagas godang Rajo Sontang di Simpang Tonang adalah bukti lain bukti bahwa dahulunya nagari ini memiliki hubungan yang sangat dekat.
Dahulu memang belum ada istilah nagari. Istilah ini populer pasca runtuhnya rezim Soeharto, yakni dengan diberlakukannya Otonomi Daerah tahun
2001. Hal inilah mungkin yang menyebabkan seakan-akan ada dua versi sejarah antara Simpang Tonang dan Cubadak. Dengan adanya pemberian hak otonomi
daerah tersebut, akan memicu terjadinya penafsiran kembali sejarah kehidupannya
Universitas Sumatera Utara
untuk beragai kepentingan tertentu Benda-Backmann dalam Ramsted, 2011:15- 36.
2.3. Komposisi Penduduk