Pandangan Masyarakat Setempat tentang Sistem Perkawinan yang Berlaku

hiburan, kesenian ini juga sekaligus dapat mempererat rasa persaudaraan sesama alak Simpang Tonang. Upacara perkawinan diselenggarakan sesuai dengan ketentuan dan tata cara masing-masing adat atau berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Upacara perkawinan yang besar akan membuat semakin tinggi dan bermatabatnya keluarga tersebut. Namun tidak semua acara dan upacara tersebut akan dilaksanakan oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Hal ini tentu saja tergantung pada keadaan atau kemampuan para pihak dan masyarakat adat bersangkutan. Dewasa ini di Simpang Tonang hanya ada dua jenis olek saja, yakni olek meneng dan olek godang. Hal ini terjadi karena sudah sangat sulit bagi masyarakat untuk mendefinisikan bagaimana olek tersesbut dapat dikategorikan kepada olek manonga.

3.5. Pandangan Masyarakat Setempat tentang Sistem Perkawinan yang Berlaku

Menurut pandangan masyarakat setempat sistem perkwinan sumondo dan manjujur sama saja. Kedua sistem tersebut memiliki nilai plus dan minusnya masing-masing. Akan tetapi yang paling penting ialah dengan adanya kedua adat yang bertolak belakang ini tatanan masyarakat tidak terganggu. Semua tergantung kepada individunya masing-masing, bagaimana mereka mampu beradaptasi di daerah yang mereka tempati. Perbedaan kedua cara ini dalam pelaksanaanya tidak terlalu mempengaruhi kelangsungan pesta perkawinan, karena yang menentukan pelaksanaan pesta apakah menggunakan adat sumondo atau menggunakan adat Universitas Sumatera Utara jujuran adalah kesepakatan yang diambil melalui jalan musyawarah antara pihak laki-laki dan pihak perempuan bersama dengan sanak familinya masing-masing. Kemudian keputusan yang diambil melalui jalan musyawarah tersebut disampaikan kepada ninik mamak masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pak Velma: “Idokon najeges sumondo inda mungkin, idokon najeges manjujur inda mungkin. Harana nomor satu non mala manjujur mau tidak mau si dadaboru i non iba sude namangatur, mala diita on inda ken saizin ni alaklai nia muse anggo giot malehen. Mala pature ortu niba inda bisa mangecek alak bagas niba. Dibilang sumondo yang bagus tidak mungkin, dibilang manjujur yang bagus juga tidak mungkin. Karena yang pertama kalau manjujur mau tak mau si perempuan itu nantinya semua harus menurut pada apa yang kita katakan, kalau di kita ini tidak demikian harus seizin suaminya kalau perempuan mau memberi. Kalau mengurus orang tua kita pun tidak bisa orang rumah kita bersuara”. Menurut Aspon Y Nasution, Berubahnya adat manjujur ke sumondo di Duo Koto ialah semenjak Kerajaan Sontang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Pagaruyuang. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa adat di Duo Koto sekarang tidak murni mengadopsi adat Minangkabau semata karena masih banyak yang menerapkan adat dan cara hidup yang dibawa oleh nenek moyang dahulu dari Mandailing. Misalnya saja seperti: aturan tempat duduk dalam jamuan makan adat, yakni: barisan mamak mora, barisan iboto kahanggi dan barisan ibu-bapo anak boru yang menghidang makanan sipangkalan dan kegiatan memasak mardahan di belakang dilaksanakan oleh ibu-bapo anak boru yang perlengkapannya seperti: beras, ayam, kelapa dan perlengkapan lainnya disumbangkan oleh namborunya. Lebih lanjut, menurut beliau alangkah lebih baiknya jikata adat yang ada dikembalikan ke adat manjujur karena lebih sesuai Universitas Sumatera Utara dengan syariat Islam. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, mengingat masyarakat setempat sekarang sudah jarang dan bahkan tidak ada lagi yang melaksanakan adat tersebut. Sementara menurut Jonni Lubis, salah seorang pewaris natobang dengan gelar Sutan Guru dari Simpang Kuayan. Berdasarkan hasil pengamatannya selama tahun 2012 silam, ia menarik kesimpulan bahwa sebenarnya adat-istiadat yang diterapkan di Duo Koto telah “diselewengkan”. Adat tersebut sangat bertentangan dengan semboyan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Ia menegaskan kalau sumondo itu menyimpang dari ajaran Islam. Dalam sistem sumondo harta akan turun kepada anak peremuan dan hal itu menurutnya adalah harta yang tidak berkah karena tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Islam. Di samping menurutnya itu sistem sumondo akan menyebabkan banyak tanah kosong jadi terbengkalai karena orang sumondo akan malas mengolahnya sebab walaupun nanti mereka berhasil maka tidak akan di wariskan kepada anaknya melainkan kepada kemanakannya. Mengenai adat manjujur dia mengaku tidak paham betul akan hal tersebut. Ia pun dahulu tidak mengenakan adat sumondo maupun manjujur pada saat menikah di Jakarta karena menurutnya hukum agama lebih penting dari hukum adat yang dibuat oleh manusia. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PEMILIHAN ADAT PERKAWINAN SERTA KETERKAITANNYA

DENGAN UUD DAN HUKUM ISLAM

4.1. Proses Pemilihan Adat

Setiap masyarakat memiliki karakteristik adat perkawinannya masing- masing. Adakalanya di dalam perkawinan campuran, perbedaan-perbedaan adat tersebut saling berbenturan satu sama lainnya jika masing-masing pihak saling memaksakan ego atau keinginannya masing-masing. Perbedaan-perbedaan tersebut kemungkinan besar akan menimbulkan sutatu ketidaksesuaian yang berujung pada suatu konflik. Ketidaksesuaian tersebut harus diantisipasi dan dicarikan jalan tengahnya berdasarkan proses mufakat keluarga kedua belah pihak. “Nan dari ateh turun, nan di bawah naiak, tibo di tangah saiyo samufoket” yang dari atas turun, yang di bawah naik, tiba di tengah seiya semufakat. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai luhur alak Simpang Tonang yang tertuang dalam ungkapan adat: “tua ni manusia samupoket, tua ni partaonan sarentak, tua ni binatang bosur” tuahnya manusia semufakat, tuahnya pertahanan serentak tuahnya binatang kenyang. Oleh karena itulah suatu perkawinan hendaknya harus didasarkan pada kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing- masing belah pihak.

4.1.1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Proses Pemilihan Adat Perkawinan

Dalam sub-bab ini penulis akan akan menjabarkan siapa-siapa saja mereka yang menjadi tokoh penting dan bepengaruh dalam proses pemilihan adat Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Tinjauan hukum Islam terhadap peleksanaan walimah perkawinan adat Minangkabau di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

0 6 88

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

9 305 132

SUMPAH POCONG DALAM SENGKETA TANAH WARIS ADAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM.

0 1 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

View of HUKUM ISLAM DAN PERJANJIAN ADAT (Dampak Pemahaman Masyarakat Sumatera Barat tentang Inses Terhadap Adat Perkawinan)

0 0 16

ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

0 0 114

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

1 1 41

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

1 0 20