ini sesuai dengan pepatah buek baiak dipacopek, buek buruak dipalambek kerja yang baik dipercepat, kerja buruk diperlambat.
Mengenai masalah tempat upacara pernikahan biasanya juga tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan finansial keluarga. Ada
yang melakukan akad nikah di rumah perempuan atau di masjid yang terdapat di sekitar rumah perempuan dan melanjutkannya dengan acara makan-makan
sederhana, namun ada juga yang melakukan pesta di kediaman keluarga perempuan terlebih dahulu baru dilanjutkan di kediaman laki-laki dan sebaliknya.
Hal ini sebagai bentuk rasa syukur dan senang hati seraya memberitahukan kepada jiran keluarga. Di Simpang Tonang pesta perkawinan masih dilakukan di
rumah keluarga besar, tidak di gedung-gedung serbaguna seperti di kota-kota besar. Makanan-makanan yang ada dihidang di atas tikar, laki-laki duduk bersila
dan perempuan duduk bersimpuh. Ada juga yang menambahnya dengan mendirikan tenda di halaman depan rumah dengan ala French manan
19
4.1.3. Beberapa Contoh Kasus Perkawinan Masyarakat Setempat
lengkap dengan hiburan keyboard atau orgen tunggal.
a. Perkawinan Ringga Ifandra dengan Alm Rina Vivian: Adat Sumando
Minangkabau Talu + Adat Sumondo Simpang Tonang Perkawinan ini terjadi antara mempelai pria dengan adat sumando
Minangkabau yang kental dengan mempelai perempuan dengan adat sumondo Simpang Tonang. Pada awalnya calon mempelai pria memiliki rasa kekhawatiran
akan membayar jujuran karena calonnya berbahasa Mandailing. Namun setelah ia
19
French Manan adalah istilah dalam pesta perkawinan dimana para tamu melayani dirinya sendiri mengambil makanan sesuai dengan yang diinginkannya. Menikmatinya dengan
duduk di atas kursi sambil menyaksikan hiburan orgen tunggal.
Universitas Sumatera Utara
selidiki ternyata adat perkawinan di Simpang Tonang adalah adat sumondo sebagaimana yang terdapat di daerah Minangkabau. Dalam hal ini tidak perlu
negosiasi adat apa yang mereka gunakan. Akan tetapi proses negosiasi antara keluarga kedua belah pihak masih tetap dilangsungkan. Hal yang dibicarakan
adalah mengenai pelaksanaan upacara, waktu dan tempat serta biaya perkawinan. Mereka akhirnya menggunakan adat sumando Talu yang kemudian dikolaborasi
dengan adat sumondo Simpang Tonang. Meski ada beberapa adat yang bertentangan namun mereka memakluminya dan berusaha untuk saling
melengkapi. Hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh Pak Velma kepada penulis: Song alai namulaon mon Tolu adatna marbeda dei, baen
naipasamoon do, pala diita on ken mananting tanda inda dohot adoboru i alaklai sude, mala di Tolu dadaboru do manukar cincin
ro tu on. Cuman sudena ijalasi jalan tengahna. Alai si adabaoru nai ro disambut dit adaboru alakali nai pe ro so disambut muse.
Lain mufoket inda dong be arana gakmu pak tuani manusia samufoket tua ni partaonan sarentak, tua ni binatang bosur.
nadiateh turun dibawah naiak di tangah batamu. Lalu juo kanen. Seperti mereka dulu dari Talu adatnya berbeda, karena disamakan,
kalau di sini apabila hendak mananting tanda perempuan tidak ikut semuanya laki-laki, kalau di Talu perempuan yang datang. Cuman
semuanya dicari jalan tengahnya. Mereka yang datang laki-laki dan perempuan dan disambut dengan laki-laki dan perempuan juga.
Selain mufakat tidak ada yang lain karena ‘tuahnya manusia serentak tuahnya pertahanan serentak tuahnya binatang kenyang.
Yang di atas turun di bawah naik di tengah bersua’. Jadi juga kawan.
Pada suatu malam yang pekat ditemani cahaya lampu dinding yang
remang itu uda Ringga mencoba mengingat kembali bagaimana urut-urutan prosesi yang ia dan keluarganya lalui ketika menikahi mendiang uni Rina kepada
penulis. Masih melekat erat di kepalanya peristiwa sakral tersebut. Sesekali mertuanya menambahkan hal-hal yang belum disampaikan oleh uda Ringga.
Universitas Sumatera Utara
Hingga berujung dengan perasaan sedih dengan air mata yang tertahan di ujung hati. Semua seolah masih belum percaya akan takdir Tuhan yang telah berlaku.
Begitu cepat uni Rina dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Uda Ringga mengenal almarhumah uni Rina pada saat mendiang bekerja
di suatu perusahan kredit barang-barang perlengkapan rumah tangga bernama Prioritas. Awalnya uda Ringga menyamar menjadi orang yang tertarik untuk
menjadi pembeli. Ia pun kemudian meminta nomor handphone almarhumah. Hubungan terus terjadi melalui telepon dan sms, hingga terjalin lah rasa suka
sama suka dan memutuskan untuk berpacaran. Mereka pun akhirnya berkomitmen untuk menempuh hubungan yang lebih serius, yakni ke jenjang pernikahan.
Mereka pun memberitahukannya kepada orangtua masing-masing. Pada mulanya uda Ringga datang ke rumah mendiang untuk menjalin
silaturahmi di hari lebaran seraya berkenalan dengan keluarganya. Pada pertemuan berikutnya uda Ringga membawa ibunya untuk berjumpa dengan
keluarga almarhumah dan menyampaikan maksudnya untuk meminang atau istilahnya adalah kato kaciak. Mereka kemudian disuruh datang beberapa hari
kemudian untuk berfikir kembali mengingat keadaan ekonomi keluarga perempuan yang demikian. Pada saat yang hampir bersamaan pihak keluarga
perempuan sendiri tengah mengadakan rapat dengan anggota keluarga atau karib- kerabatnya.
Pada hari yang telah disepakati bersama, dibuatlah suatu pertemuan antara keluarga kedua belah pihak. Pertemuan ini dalam istilah Simpang Tonang disebut
dengan mananting tanda atau di Talu dikenal dengan istilah maanta tando. Di
Universitas Sumatera Utara
Talu prosesi peminangan ini dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki, bukan wanita seperti umumnya di daerah Minangkabau lainnya. Ada yang unik dari adat
Talu dalam prosesi tersebut. Dalam prosesi tersebut kaum perempuan dari pihak laki-laki akan membawa pinang baukia beseta cincin sebagai tanda. Cincin
tersebut tidak mutlak emas, hal ini tergantung dari besarnya alek yang akan dilangsungkan. Apabila tanda tersebut dijujuang diletakkan di atas kepala, maka
menandakan pesta perkawinannya akan besar. Sementara apabila tanda tersebut dikapik atau didukuang digendong, maka bermakna bahwa perhelatan tersebut
kecil. Perhelatan uda Ringga adalah alek ketek, hal ini tergambar dari cincin perak yang diberikan dan membawanya dengan cara bakapik.
Ijab kabul dilakukan di rumah mendiang uni Rina. Setelah acara tersebut selesai maka diadakan jamuan makan sederhana seraya memberitahukannya
kepada niniak mamak setempat. Tidak ada persandingan di pelaminan dan pakaian adat di rumah perempuan. Perhelatan di lakukan di Talu tempat kediaman
laki-laki. Mereka mengenakan pakaian tradisional Minangkabau bernama saluak dan suntiang yang kemudian dilanjutkan dengan mengenakan jas dan slayer.
Sebelum pesta tersebut, pihak keluarga laki-laki melakukan sipangka rapek dan rapek ka baralek. Dalam rapat tersebut akan dibahas mengenai pelaksanaan alek
pesta serta pembagian tugas masing-masing. Pada setiap perhelatan selalu ada carano yang berisi pinang, sirih, gambia, tembakau dan sadah sebagai suatu
bentuk penghormatan.
Universitas Sumatera Utara
b. Perkawinan Karman Lubis dengan Nursaida Hasibuan: Adat Manjujur
Tapanuli Adat manjujur merupakan pilihan pasangan Karman Lubis 56 dan
Nursaida boru Hasibuan 43 dahulu ketika meresmikan perkawinannya. Karman sendiri adalah alak Simpang Tonang dan ia menemukan pendamping hidupnya
yang berasal dari Tapus-Panti Pasaman. Adat istiadat Mandailing di Tapus masih bertahan sebagaimana yang dibawa para nenek moyang dahulu dari Bona Pasogit,
sangat berbeda dengan adat istiadat di Simpang Tonang yang lebih lentur. Kedua pasangan ini berasal dari keluarga sederhana dengan bertani sebagai usaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tinggal di desa Aia Angek, Talu, Pasaman Barat. Perkawinan ini telah berlangsung hingga beberapa tahun dan
melahirkan anak-anak yang sudah mulai tumbuh dewasa. 2 perempuan dan 2 laki. Menurut pengakuan Nursaida anak perempuan pertamanya tidak tinggal lagi
bersama mereka lagi, sebagaimana konsekwensi dari perkawinan manjujur maka mereka akan ikut dengan suaminya di Tanjung Aro. Sekarang di rumah tersebut
hanya tinggal anak lajang mereka yang usianya sebaya dengan penulis. Lebih lanjut marga dan boru yang diberikan kepada anak-anak mereka ialah Lubis
sebagaimana marga dari ayahnya. Pasangan ini kembali bernostalgia bersama penulis mengingat-ingat
kembali memori lama menganai bagaimana rentetan prosesi yang telah mereka jalani ketika perkawinan dahulu. Pada saat itu lamaran datang dari pihak keluarga
laki-laki kepada pihak perempuan di Tapus. Pihak keluarga perempuan meminta uang jujuran sebesar Rp.5.000.000. Mereka hanya berasal dari keluarga petani
Universitas Sumatera Utara
yang sangat sederhana. Pihak laki-laki merasa tidak sanggup apabila menyediakan sejumlah uang yang diminta oleh keluarga perempuan. Akhirnya dicarikan jalan
tengah yakni dengan maretong dan akhirnya uang tersebut berkurang dari Rp.5.000.000 menjadi Rp.1.500.0000 dan terakhir menjadi Rp.1.000.000. Sesuai
dengan kesepakatan yang telah dibuat di antara kedua belah pihak, uang tersebut harus diberikan paling lama dua sampai tiga hari sebelum pelaksanaan
perkawinan. Uang-uang tersebut nantinya akan dibelikan untuk alat-alat perlengkapan rumah tangga, seperti: kasur, lemari, barang pecah belah dan lain
sebagainya. Namun menurut pengakuan Nursaida, ia telah membelikan barang- barang tersebut terlebih dahulu sebelum uang dari pihak laki-laki datang. Di
samping memberikan uang kontan, Karman juga memberikan tambahan emas kepada Nursaida sebagai perhiasannya.
Pada hari yang telah ditentukan Karman beserta keluarga berangkat ke Tapus untuk melangsungkan perkawinan. Setelah akad nikah, mereka
disandingkan berdua dan diupa-upa mengenakan adat Mandailing agar kelak tegar dalam menghadapi segala permasalahan dalam biduk rumah tangga. Pesta adat ini
berakhir pada petang hari kira-kira pukul 18.00 WIB. Barang-barang kelengkapan yang telah dibelikan sebelumnya akan dikumpulkan di tengah-tengah ruangan.
Kemudian dilakukan perundingan antara hatobangon, pengantin, serta keluarga kedua belah pihak. Pada saat itu juga dibagikan kain panjang atau kain sarung
kepada pengantin perempuan, ibu, saudara-saudara ibu dan nenek dari pengantin perempuan. Setelah perundingan tersebut maka pihak perempuan akan
mampabuat anak gadisnya dengan tangisan dan ratapan sebagai bentuk ungkapan
Universitas Sumatera Utara
rasa kesedihan yang mendalam karena mereka akan berpisah. Pengantin perempuan akan dibawa ke rumah laki-laki pada hari itu juga. Selain itu barang-
barang yang tadi turut serta diangkut dan dinaikkan ke atas mobil. Lebih lanjut Karman mengungkapkan pendapatnya mengenai adat
manjujur dan sumondo. Adat manjujur yang ia lakukan adalah adat manjujur seperti yang lazim dilakukan di Tapanuli. Menurutnya apabila ada sawah, tanah
dan rumah akan lebih bagus lagi di samping pemberian uang. Manjujur di Tapus tidak perlu diketahui oleh datuk-datuk dan serumpunnya seperti yang berlaku di
Simpang Tonang. Adat manjujur ini lebih tepat dan sesuai dengan ajaran Islam karena mengambil pertalian darah dari ayah. Akan tetapi apabila dilihat dari segi
materi adat sumondo jauh lebih praktis jika dibandingkan dengan manjujur. Apalagi bagi kalangan dengan ekonomi menengah ke bawah seperti mereka.
c. Perkawinan Adly Lubis dengan boru Siregar: Adat Manjujur Tapanuli dan
Sumondo Simpang Tonang Boru Siregar adalah jodoh yang dipilih oleh Aldy Lubis sebagai ibu bagi
anak-anaknya kelak. Orang tua kedua belah pihak telah setuju dengan jodoh yang dipilih oleh putera dan puterinya tersebut. Pada kali pertama orang tua dari Aldy
datang ke rumah perempuan di Panti. Adapun maksud dan tujuannya tidak lain dan tak bukan ialah menyampaikan keinginan anak mereka untuk mempersunting
anak gadis yang ada di rumah tersebut. Jauh hari sebelum kedatangan keluarga Aldy, pihak keluarga perempuan telah melakukan perundingan dengan anak
perempuan dan kerabat dekat lainnya. Anggukan dari boru Siregar mengisyaratkan bahwa memang benar adanya ia hendak menjalin rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
bersama Aldy. Orang tua perempuan pun menerima pinangan yang disampaikan oleh pihak laki-laki tersebut.
Pada saat itu orang tua Aldy juga bertanya mengenai bagaimana jalan yang akan ditempuh nantinya. Pihak perempuan menetapkan sejumlah uang tuhor
ditambah dengan barang keperluan pengantin perempuan yang harus disediakan pihak laki-laki. Uang yang ditetapkan sangatlah tinggi, namun mereka berhasil
meminta pengurangan jumlah dengan kemampuan berkata-kata. Selain merundingkan tentang uang tuhor, dalam acara ini juga ditentukan waktu yang
baik untuk menikah dan bersanding serta hal lain yang penting demi berlangsungnya perkawinan tersebut. Acara tersebut kemudian ditutup dengan
makan bersama. Sesuai dengan kesepakatan, pihak kelurga mengantar uang tuhor beberapa
hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pada saat mengantarkan uang tersebut dibicarakan mengenai pelaksanaan perkawinan yang akan dilangsungkan apakah
horja biasa saja atau horja besar. Pada saat itu juga diadakan pembentukan panitia horja yang bertanggung jawab atas segala kelengkapan, seperti: mengundang,
mendirikan dapur, pelaminan, dan lain-lain. Hal yang sangat berbeda dengan di Mandailing dimana ini semua adalah tugas dari anak boru meskipun pesta
dilakukan di rumah perempuan, maka pada saat itu bukan keluarga Aldy lah yang menjadi parhobas melainkan pihak perempuan beserta masyarakat setempat.
Pada suatu pagi Aldy datang bersama keluarganya. Rombongan pihak keluarga laki-laki kemudian disambut oleh keluarga pihak perempuan di depan
pintu rumah. Setelah bertegur sapa dan berbalas kata-kata rombongan
Universitas Sumatera Utara
dipersilahkan masuk dan duduk di serambi depan. Setelah semua lengkap termasuk kehadiran dari petugas KUA, maka masuklah pengantin perempuan
dipapah oleh kaum ibu. Upacara ijab qabul pun dilakukan antara Aldy dan ayah kandung dari Boru Regar. Acara tersebut kemudian dilanjutkan dengan do’a
bersama. . Acara resepsi pernikahan horja dilaksanakan pada siang hari setelah
dilaksanakannya akad nikah. Horja ini dilangsungkan di kediaman pengantin perempuan. Ketika pengantin dipersandingkan maka dimulailah acara mangupa,
yakni memberikan makanan dan kata-kata sipaingot berupa nasehat dalam menjalani rumah tangga kepada kedua pengantin. Pada saat itu Aldy disarungkan
abit atau kain sarung oleh adik perempuan dari Boru Regar, sebagai penggantinya ia menyalamkan uang kepadanya. Kemudian dia disuruh duduk dan diberikan
minuman oleh seorang pemuda yang tak lain adalah anak namboru dari Boru Regar. Dia adalah jodoh ideal bagi Boru Regar menurut adat, namun Aldy lah
yang lebih dipilih oleh Boru Regar sebagai teman hidupnya, anak namboru tersebut disalamkan uang juga oleh Aldy.
Petang pun menjelang dan horja harus diselesaikan karena pada hari itu juga pengantin harus bertolak dari Panti ke Duo Koto. Maka dilakukanlah acara
mebat atau pabuat boru memberangkatkan pengantin perempuan. Semua barang keperluan rumah tangga yang telah dibeli dengan uang tuhor dari Aldy diletakkan
di tengah-tengah ruangan. Acara tersebut dipimpin oleh salah seorang
Universitas Sumatera Utara
hatobangon
20
Menurut Aldy ia melakukan perkawinan manjujur supaya ada yang merawat kedua orang tuanya. Lebih lanjut adat manjujur yang ia langsungkan
. Adapun inti dari pembicaraan tersebut ialah ucapan terimakasih kepada segenap pihak atas partisipasinya mulai dari awal acara perkawinan
hingga hari ini dan sekaligus memberikan nasehat kepada pengantin perempuan agar pandai-pandai hidup berumah tangga dan menyesuaikan diri dengan keluarga
suaminya. Acara tersebut berlangsung dengan penuh rasa haru dan suasana kesedihan karena sebentar lagi pengantin perempuan akan berpisah dengan
keluarganya. Pengantin perempuan pun mengungkapkan sepatah dua patah katanya berupa ucapan terimakasih kepada kedua orang tuanya dan para
kerabatnya serta memohon agar mereka mendoakan keselamatan baginya dalam hidup berumah tangga.
Sesampainya di Duo Koto kedatangan mereka akan disambut dengan maroban marambit menggunakan kain panjang oleh kaum ibu-ibu setempat
sebagai bentuk ungkapan rasa suka cita akan perkawinan yang telah berlangsung. Boru Regar pun mengapit seekor manuk bujing-bujing atau ayam betina yang
belum bertelur sebagai simbol bahwa ia masih gadis. Pengantin pun didudukkan di rumah. Di rumah tersebut telah hadir niniak mamak setempat. Pada saat itu lah
dilangsungkan pabotoon tu niniak mamak sebagai syarat syahnya perkawinan menurut adat di Duo Koto. Mereka kemudian melanjutkannya dengan acara doa
dan makan bersama.
20
Hatobangon bagi masyarakat Mandailing memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam hukum adat paradaton. Setiap upacara adat akan terlebih dahulu
dimusyawarahkan dengan pihak hatobangon dan disetujui, baru acara tersebut dapat dilaksanakan. Hal ini merupakan wujud rasa hormat terhadap tetuas suatu daerah huta.
Universitas Sumatera Utara
tidak seperti apa yang ada dan menjadi momok dalam pikirannya selama ini. Adat tersebut menurutnya bisa disederhanakan karena dahulu syaratnya harus ada
tanah, rumah dan sawah. Lebih lanjut ia mengaku bahwa orang tua masing- masing belum melangsungkan acara kunjungan keluarga pasca perkawinan
tersebut. Akan tetapi ia beserta Boru Regar sudah melakukan acara martandang tolu hari tepat sepekan setelah perkawinan mereka. Di sana orang tua Boru Regar
akan memberitahukan kepadanya mengenai usaha yang menghidupi keluarga mereka selama ini. Ketika hendak kembali ke Dua Koto pun mereka akan
membawa silua atau oleh-oleh untuk orang tua Aldy. Dari berbagai contoh kasus perkawinan campuran antara adat
Minangkabau dan Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang di atas, setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran bagaimana varian-varian adat tersebut dipilih
dan digunakan oleh seseorang yang hendak melangsungkan perkawinan karena sesuai dengan kebutuhannya. Perkawinan uda Ringga Ifandra dengan Alm uni
Rina Vivian misalnya yang mengenakan adat sumando Minangkabau Talu yang dipadankan dengan adat sumondo Simpang Tonang, perkawinan Karman Lubis
dengan Nursaida Hasibuan yang mengenakan adat manjujur Tapanuli dan Perkawinan Adly Lubis dengan boru Siregar yang menggunakan adat manjujur
Tapanuli yang dikolaborasikan dengan sumondo Simpang Tonang. Contoh-contoh tersebut hanyalah sebagian kecil yang dapat dipelajari. Bagaimana proses
dominasi suatu kebudayaan dalam adat pernikahan atau terjadinya suatu proses penyesuaian atau perpaduan berupa: proses penyederhanaan, pengurangan atau
proses penambahan dalam urutan tahapan upacara pernikahan adat yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Hal yang demikian telah melahirkan varian adat baru namun dapat dijalankan asalkan tidak mengubah prinsip-prinsip yang ada dalam upacara pernikahan adat
itu sendiri. Demikianlah praktek yang terjadi di lapangan dan tidak akan sepenuhnya sama dengan apa yang penulis ungkapkan dalam karya tulis ini. Hal
ini disebabkan karena adanya modifikasi akibat pengaruh lingkungan serta pola fikir masyarakat yang terus berkembang.
4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Adat Perkawinan