dengan prasangka bahwa boru Batak itu orangnya suka ceplas-ceplos, kasar, tidak pandai memasak dan tidak bisa mengurus diri. Begitu juga halnya dengan
stereotype yang santer berkembang di kalangan etnis Mandailing bahwa gadih Minang itu tukang mengatur suami, suka menguasai dan
membantah perkataan suami. Prasangka-prasangka demikan tentu akan membuat seseorang
menjadi berfikir berkali-kali untuk melangsungkan perkawinan campuran antara kedua etnis tersebut.
Di samping itu, tingginya nilai tuhor yang ada juga dipandang negatif oleh orang luar yang seolah-olah melahirkan jual beli dalam perkawinan. Begitu juga
dengan adanya anggapan bahwa pihak laki-laki tidak mau bekerja sebagai pelayan atau parhobas di rumah perempuan ketika melangsungkan upacara adat. Mereka
memiliki harga diri yang tinggi dan harus dipandang sebagai tamu terhormat. Dari berbagai faktor dan alasan yang telah penulis ungkapkan di atas maka
jelaslah bahwasanya pemilihan suatu adat perkawinan tergantung dari berbagai kepentingan pihak. Di samping itu, faktor ruang dan waktu juga tidak dapat
dikesampingkan karena mempunyai pengaruh terhadap perubahan adat yang ada. Adat manjujur seperti sudah dilupakan, begitu juga halnya dengan adat sumondo
yang suatu waktu bisa kalah eksis dari adat ranto dan adat-adat lainnya yang kelak akan lahir sesuai perkembangan pola fikir masyarakat.
5.4. Kaitan Antara Proses Pemilihan Adat Perkawinan dengan UUD dan Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
Proses pemilihan adat perkawinan tentu erat kaitannya dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga hukum Islam. UU tersebut menjadi
landasan perkawinan bagi masyarakat setempat. UU tersebut juga telah diredupsi dari berbagai hukum agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Bagi
masyarakat Simpang Tonang, ketika melangsungkan perkawinan harus melaksanakan ijab qabul terlebih dahulu sebelum diresmikan secara adat. Saat
itulah ditandatangani berbagai dokumen-dokumen penting terkait perkawinan tersebut. Secara sederhana sebenarnya tidak dapat lagi dipilah-pilah mana ranah
hukum negara, hukum agama dan hukum adat. Dalam kasus pemilihan adat perkawinan ini ketiga hukum ini saling memiliki keterkaitan antara satu dengan
lainnya. Sebagai Warga Negara Indonesia, alak Simpang Tonang tentu harus
berpedoman kepada UU yang berlaku. Di dalam perkawinan hukum yang menjadi landasannya adalah UU No.1 Tahun 1974: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumahtangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Lebih lanjut di dalam Pasal 2 dinyatakan “1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. 2. tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pada umumnya acara perkawinan adat telah meresepsi hukum perkawinan berdasarkan ketentuan agama. Adanya peran antara adat dan agama Islam di
Simpang Tonang membawa konsekwensi tersendiri dalam pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
perkawinan. Bagi alak Simpang Tonang juga memiliki beberapa kriteria apabila hendak melangsungkan perkawinan, yakni: kedua mempelai harus beragama
Islam, tidak sedarah atau mempunyai suku sama, kecuali dari nagari atau luhak lain apabila udah beda ninik mamak dan harus mampu bertanggung jawab
menafkahi keluarganya. Dalam tradisi perkawinan di Simpang Tonang setidaknya ada dua tahap
yakni perkawinan menurut syara’ dan perkawinan menurut adat. Perkawinan menurut agama adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan mengucapkan aqad
nikah ijab dan qabul di hadapan qadhi. Acara ini biasanya dilangsungkan di masjid atau rumah perempuan. Sebelum acara ini biasanya mamak si perempuan
akan mengurus segala hal berkenaan dengan surat-surat di Kantor Urusan Agama setempat. Acara ini dihadiri oleh masing-masing utusan kedua mempelai dan wali
yang menikahkan beserta para saksi. Wali pernikahan selain orang tua dari bapakayah pengantin perempuan, bisa juga diwakilkan kepada Qadhi sebutan
orang yang bertugas sebagai wali pernikahan. Qadhi didampingi oleh dua orang saksi disamping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian
mahar diperlihatkan kepada majelis dan hadirin untuk diketahui bahwa mahar tersebut sudah lunas. Selanjutnya dimulai dengan khutbah nikah oleh Qadhi lalu
membaca do’a nikah serta lafadz akad nikah dengan fasih yang diikuti oleh pengantin laki-laki. Kemudian ditutup dengan do’a. Setelah melangsungkan akad
nikah ini maka telah syahlah perkawinan tersebut, baik secara administratif, secara agama dan juga secara adat yang berlaku. Namun dalam konsepsi berfikir
alak Simpang Tonang mereka belum boleh hidup berumah tangga layaknya
Universitas Sumatera Utara
sepasang suami isteri sebelum dilaksanakannya upacara perkawinan secara adat dipabotoon tu niniak mamak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Identitas sosial diartikan sebagai suatu penamaan terhadap suatu kelompok masyarakat sebagai sesuatu kebutuhan agar bisa beradaptasi dengan
lingkungannya. Penamaan yang diberikan kepada masyarakat oleh lingkunganya tersebut akan menambah suatu kepercayaan diri bagi masyarakat tersebut karena
secara tidak langsung keberadaan mereka diakui oleh kelompok mayarakat lainnya. Alak Simpang Tonang dapat dikatakan sebagai suatu identitas, dimana
masyarakatnya lahir dari proses pembauran antara etnis Mandailing dan Minangkabau dalam waktu yang relatif lama.
Pada awal kedatangan etnis Mandailing di Simpang Tonang, mereka sudah menjadi “Minang’’ dengan menompang ninik mamak dan berjanji untuk
mengikuti adat-istiadat setempat. Hanya bahasa Mandailing sajalah yang masih bertahan. Bahkan walaupun memiliki marga seperti etnis Mandailing yakni:
Nasution dan Lubis, marga tersebut hanya sebagai simbol semata. Tidak banyak lagi mereka yang paham akan adat Mandailing di tanah perbatasan ini.
Kebudayaan Minangkabau tampak lebih mendominasi dalam kehidupan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara