Menguak Kembali Sejarah Migrasi Etnis Mandailing ke Pasaman dan

angkutan umum yang tersedia. Setidaknya kita perlu merogoh kocek lebih kurang Rp.7.000 tergantung dari jarak yang akan ditempuh.

2.2. Menguak Kembali Sejarah Migrasi Etnis Mandailing ke Pasaman dan

Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang 2.2.1. Sejarah Singkat Migrasi Etnis Mandailing ke Daerah Pasaman Pasaman merupakan daerah teritorial dari Kerajaan Minangkabau. Pasaman merupakan wilayah rantau bagi orang Minang yang berasal dari luhak Agam. Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber pada tambo, dinyatakan bahwa daerah Minangkabau terdiri dari wilayah darek dan rantau. Wilayah darek merupakan wilayah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau, dimana daerah ini juga dikenal dengan sebutan luhak nan tigo, yang terdiri dari: Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Koto. Sementara itu, wilayah rantau merupakan daerah perluasan Kerajaan Minangkabau sehingga budaya dan tradisi di daerah ini tidak persis sama dengan daerah pusat budaya Minangkabau karena telah terjadinya akulturasi dan asimilasi kebudayaan. Bukan hanya etnis Minangkabau saja yang menganggap tanah perbatasan Pasaman ini sebagai daerah rantau. Bagi etnis Mandailing, wilayah ini merupakan bahagian dari wilayah harajaon kerajaan mereka. Hal ini sesuai dengan misi migrasi yang mereka bawa yakni perluasan daerah teritorial Pelly, 1994:11-12. Sangat sulit untuk menelusuri sejak kapan etnis Mandailing mendiami wilayah Pasaman, sebab kurang memadainya data yang menerangkan perihal tersebut. Universitas Sumatera Utara Namun, sebagian ahli sejarah meyakini bahwa hal ini tidak terlepas dari munculnya Gerakan Paderi 12 Rumusan yang hampir sama juga dinyatakan oleh Navis 1985:128 bahwa untuk menjadi orang Minangkabau diperlukan tata cara yang dinamakan di bawah pimpinan Tuanku Rao pada abad ke-19 di daerah Tapanuli Selatan. Etnis Mandailing yang telah diislamkan kemudian dibawa ke daerah Rao Pasaman untuk diserahkan tanah. Migrasi etnis Mandailing tidaklah dilakukan secara serentak, mereka datang secara bergelombang atau bertahap. Puncaknya terjadi pada tahun 1953, dimana mereka datang secara menyelundup dan mengambil tanah penduduk setempat dengan sewenang-wenang. Penduduk asli mengalami rasa kekhawatiran karena lahan hutan dan tanah mereka dikuasai oleh pendatang. Hal ini menyulut terjadinya konflik karena bertentangan dengan adat-istiadat setempat. Di daerah Pasaman terdapat suatu aturan mengenai masalah kepemilikan serta penguasaan tanah. Ketentuan adat tersebut harus dipatuhi oleh penduduk asli urang asa maupun bagi penduduk pendatang urang datang. Bagi penduduk pendatang jika ingin mendapatkan tanah ulayat terlebih dahulu ia harus menjadi kemenakan dari seorang ninik mamak dalam nagari dan harus disahkan oleh Kerapatan Adat Nagari KAN. Mereka harus bersedia mematuhi semua peraturan yang berlaku di nagari tersebut. Seperti ibarat pepatah, yakni: “adat diisi limbago dituang, dimano aia disauak di sinan rantiang dipatah, dimano bumi dipijak di sinan langik dijunjuang adat diisi lembaga dituang, dimana air disauk di sana ranting dipatahkan, dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung”. 12 Gerakan Paderi adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam kehidupan tatanan beragama dan kemasyarakatan di Minangkabau yang dimulai pada tahun 1803 hingga tahun 1821. Gerakan Islamisasi ini dimotori oleh Tuanku Rao, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai Universitas Sumatera Utara mengisi adat: cupak diisi limbago dituang. Maksudnya, ialah apabila seseorang ingin menjadi orang Minangkabau, maka terlebih dahulu ia harus memenuhi aturan-aturan dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam adat. Mereka diterima dan ditampung dalam struktur persukuan Minangkabau dan menjadi kemenakan di Minangkabau setelah membayar upeti adat dalam bentuk: uang, barang, hewan, atau tanda lainnya sesuai dengan kesepakatam masyarakat setempat. Kalau syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka sesuai dengan kewajiban terhadap kemenakan, si mamak akan memberikan tanah ulayat untuk digarap termasuk hutan dengan status hak pakai. Tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan, bila penduduk pendatang pindah dari nagari tersebut, tanah kembali menjadi hak nagari dan semua tanaman yang ada di atas tanah itu akan diganti oleh nagari. Atas dasar tersebut akhirnya dibuatlah suatu kesepakatan antara etnis Mandailing dengan etnis Minangkabau sebagaimana yang diilustrasikan dalam pepatah berikut: “Sasangka balam jo katitiran. Bacampua Melayu jo Mandailing. Angguak dibalam danguik dipuyuah. Balam maangguak didahan kayu. Puyuah mandanguik di alang laweh. Samo mangaluah di ateh bumi. Sando manyando kaduonyo. Bak aua jo tabiang Sesangkar burung balam dengan burung ketitiran. Bercampur Melayu dengan Mandailing. Angguk dibalam dengut dipuyuh. Balam mengangguk di dahan kayu. Puyuh mendengut di padang luas. Sama mengeluh di atas bumi. Sandar-menyandar keduanya. Seperti aur dengan tebing” Kesepakatan antara kedua etnis sebagaimana yang diungkapkan dalam ilustrasi di atas masih berlaku hingga sekarang. Adapun makna dari angguak dibalam, danguik dipuyuah adalah bagaimana pun tingginya adat Mandailing Universitas Sumatera Utara yang ada di daerah Minangkabau ini, harus tunduk pada panji-panji adat alam Minangkabau. Sedangkan sasangka balam jo katitiran maksudnya etnis Mandailing dan etnis Minangkabau boleh tinggal di daerah yang sama, dengan adat-istiadat yang berbeda. Mereka pada dasarnya diperbolehkan untuk menggunakan adat-istiadatnya masing-masing. Namun seperti terjadi dualisme dalam etnis Mandailing yang sudah menjadi kemenakan suatu niniak mamak, ada yang tetap menggunakan adat-istiadatnya dan ada juga yang mengikuti adat- istiadat Minangkabau. Mereka yang terakhir ini kemudian lebih suka disebut sebagai “urang Minang”. Etnis Mandailing tersebut kemudian tinggal secara mengelompok di beberapa daerah di Pasaman. Mereka mayoritasnya mendiami wilayah Sontang, Koto Nopan, Cubadak, Simpang Tonang, Rabi Jonggor dan lainnya. Masing- masing daerah tersebut mempunyai karakteristik kebudayaan tersendiri. Misalnya saja daerah Simpang Tonang dan Cubadak yang notabennya memang dihuni oleh etnis Mandailing, namun dalam kehidupan sehari-harinya mereka mengacu kepada adat istiadat Minangkabau berbeda dengan saudaranya di Rao dan Panti yang masih mempertahankan adat istiadat leluhur yang mereka bawa dari Tanah Mandailing. Universitas Sumatera Utara

2.2. Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Tinjauan hukum Islam terhadap peleksanaan walimah perkawinan adat Minangkabau di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

0 6 88

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

9 305 132

SUMPAH POCONG DALAM SENGKETA TANAH WARIS ADAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM.

0 1 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

View of HUKUM ISLAM DAN PERJANJIAN ADAT (Dampak Pemahaman Masyarakat Sumatera Barat tentang Inses Terhadap Adat Perkawinan)

0 0 16

ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

0 0 114

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

1 1 41

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

1 0 20