yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru sebagai pelanjut keturunan. Setelah kawin maka seorang lelaki Simpang Tonang akan
megalami suatu proses adaptasi untuk masuk ke lingkungan keluarga istrinya sebagai seorang sumando. Di samping itu perkawinan bukan saja mengikat antara
seorang pria dan wanita yang akan membentuk perkawinan tersebut, akan tetapi perkawinan tersebut juga mengikat keluarga dan kerabat kedua belah pihak.
Perkawinan bagi masyarakat Simpang Tonang bukan hanya bertujuan untuk melanjutkan atau meneruskan keturunan dalam rangka pertalian darah
secara matrilineal. Perkawinan merupakan suatu ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh agama Islam. Sebagai calon apak dan indek, perkawinan juga
menuntut adanya rasa tanggung jawab menyangkut nafkah lahir bathin, jaminan hidup dan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak yang dilahirkan
kelak.
3.2. Jodoh Ideal dan Perkawinan Pantangan
Dalam masyarakat adat yang sederhana soal memilih jodoh tidaklah semata-mata bergantung kepada kehendak dari mereka yang menikah saja. Soal
perkawinan ditentukan oleh sekurang-kurangnya dalam dan oleh setiap anggota keluarga; di samping itu setiap anggota keluarga terikat pada ketentuan-ketentuan
kawin yang diharuskan dan dihalalkan oleh golongannya secara khusus melalui nilai dan norma hukum adat.
Jodoh yang ideal menurut alak Simpang Tonang ialah menikahi boru atau puteri dari mamak kandungnya. Hal ini dilakukan agar hubungan kekeluargaan
Universitas Sumatera Utara
menjadi semakin dekat. Di dalam adat Minangkabau perkawinan semacam ini dikenal dengan istilah pulang ka mamak dan apabila perkawinan dengan
kemenakan ayahnya maka istilahnya ialah pulang ka bako. Yaswirman, 2011:135
Gambar 5. Perkawinan Ideal dengan Boru Mamak Namun seiring perjalanan waktu, terjadi pergeseran konsep mengenai
jodoh ideal. Dahulu orang tua selalu mewanti-wanti anaknya agar menikah hanya dengan sesama alak Simpang Tonang. Namun sekarang sudah banyak orang tua
yang mengawinkan anaknya dengan orang yang berbeda etnis. Mereka tidak mempermasalahkannya tapi tetap memengang prinsip harus beragama Islam.
Setidaknya ada dua jenis jodoh bagi alak Simpang Tonang, yakni: 1.
Jodoh Sendiri Seorang pria yang sudah dewasa akan berusaha untuk mencari pasangan
hidupnya. Jodoh ini merupakan pilihan sendiri melalui jalinan kasih sayang margandak yang sebelumnya telah mereka jalani. Hubungan tersebut kemudian
berlanjut ke jenjang yang lebih serius lagi yakni dengan memperkenalkan calonnya tersebut kepada orang tua. Dahulu sebelum listrik memasuki
Universitas Sumatera Utara
perkampungan Simpang Tonang, diterangi sinar rembulan maka seorang pemuda akan datang bertandang ke rumah perempuan untuk melakukan mangkusip.
Mereka menggunakan pantun-pantun dalam mengungkapkan isi hatinya. Namun pada jaman sekarang jodoh ini bisa saja didapat ketika seseorang tengah bekerja
atau merantau. Seperti kata pepatah Sadangkon unggeh lagi marjoli, konon hita manusia.
2. Dijodohkan
Pada zaman dahulu perjodohan ini kerap terjadi. Biasanya orang tua kedua calon pengantin yang memprakarsainya. Antara kedua keluarga tersebut bisanya
telah akrab semenjak lama sehingga mengetahui seluk-beluk keluarga kedua belah pihak. Hubungan ini kemudian mereka pererat dengan cara mengawinkan putera
dan puterinya. Di sisi lain, seorang gadis yang tak kunjung mendapatkan jodoh akan menimbulkan rasa khawatir dan aib bagi keluarganya. Untuk itu biasanya
orangtua dibantu dengan mamaknya biasanya mengusahakan sebagaimana mungkin agar anak kemenakan mereka tersebut menemukan jodohnya.
Perkawinan yang sangat dilarang bagi alak Simpang Tonang ialah perkawinan yang dilarang oleh syariat Islam, seperti menikahi ibu, ayah,
saudara, anak saudara seibu dan sebapak, dan lain-lain. Hal ini masih sangat dijunjung tinggi oleh
alak Simpang Tonang, karena menurut pemikiran mereka bahwasanya ajaran-ajaran yang terdapat di dalam
kitabullah merupakan
adat nan sabana adat.Menurut Yaswirman 2011:108-109, ada empat tingkatan adat yang terdapat di Minangkabau, yakni: 1.
Adat nan sabana adat, yakni kenyataan yang berlaku di dalam masyarakat sebagai
Universitas Sumatera Utara
hukum Tuhan sunnatullah; 2. Adat nan diadatkan, yakni yang dirancang
dan diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau dalam mengatur kehidupan masyarakat, khususnya bidang sosial, budaya, dan hukum; 3.
Adat nan taradat, yakni kebiasaan masyarakat setempat dan bisa jadi tidak ada di tempat lain; 4.
Adat istiadat, yakni kebiasaan yang berkaitan dengan tingkah laku dan kesenangan untuk menampung keinginan masyarakat.
Di samping itu, terdapat juga perkawinan yang dapat merusak sistem adat, yakni menikahi orang yang setali darah menurut garis ibu, orang
sekaum, atau orang sesuku. Orang yang tetap melakukan perkawinan terlarang ini akan diberi sanksi, misalnya membubarkan perkawinan itu,
diusir dari kampung, atau hukum denda dengan meminta maaf pada semua pihak pada suatu perjamuan dengan memotong seekor atau dua ekor ternak.
Koentjaraningrat 1967 menyebut larangan ini dengan istilah ini tabu incest yakni
melarang hubungan seksual dengan keluarga yang masih memiliki hubungan darah.
Setidaknya ada empat ketentuan adat yang tak boleh dilarang oleh masyarakat Simpang Tonang, apabila dilarang maka harus membayar sanksi yang
telah ditetapkan, yakni sebagai berikut: 1.
Sikunyik ayam panggang, yakni sanksi adat yang harus dibayarkan kepada niniak mamak berupa jambar seekor ayam. Hal ini terjadi apabila seseorang
melarikan seorang anak gadis, namun mereka tidak sempat melakukan perkawinan. Mereka mendapatkan hukuman adat ini setelah kembali pulang
ke kampung halaman. Jambar tersebut disuguhkan ke hadapan niniak mamak
Universitas Sumatera Utara
setelah keduanya meminta maaf kepada kedua orang tua, mamak dan niniak mamak itu sendiri.
2. Kuniong-kuniong topi ni kuali, yakni sanksi adat yang harus dibayarkan kepada
niniak mamak berupa jambar sebuah kepala kambing. Hal ini terjadi apabila seseorang melarikan anak gadis orang, mereka kemudian kawin lari ke luar
Nagari Simpang Tonang. Untuk itu mereka harus meminta maaf kepada semua pihak dan berjanji akan kembali ke pangkuan ninik mamak. Kepala
kambing tadi merupakan bagian yang harus dipersembahkan khusus kepada ninik mamak.
3. Kawin bayo, yakni kawin sesuku yang berasal dari satu niniak mamak yang
sama. Atas pelanggaran itu maka harus dibayar denda berupa seekor kambing. 4.
Haram kawin, yakni melanggar hukum-hukum siapa yang tak boleh dikawini sebagaimana yang terdapat di dalam al-qur’an. Tidak ada jambar yang harus
mereka bayarkan atas pelanggaran ini. Mereka akan disisihkan dibuang jauah digantuang tinggi.
3.3. Bentuk-bentuk Adat Perkawinan yang Berlaku di Simpang Tonang